Masukan nama pengguna
Mat Toyib dan orang-orang di dalam masjid
hanya saling melemparkan pandang.
Mereka tampak heran dengan perilaku Hardi yang aneh itu.
Namun di tahun-tahun kemudian, mereka
mendapatkan jawabannya. Hardi yang
selalu mengirimkan uang korban
pada mereka setiap tahunnya itu telah menjadi
pelukis kaya dan tersohor di Jakarta.
LELAKI paruh baya berpakaian lusuh menenteng lukisan terbungkus koran dan menggendong tas parasut di punggungnya. Dialah, Hardi yang berjalan di trotoar di antara jubelan orang-orang akan berbelanja di mal atau supermarket. Menuju Stasiun Tugu yang telah dipadati calon penumpang kereta. Sesudah membeli tiket di loket, Hardi duduk di kursi ruang tunggu di samping perempuan muda.
Sambil mengisap sigaret, Hardi mencuri-curi pandang pada wajah perempuan muda yang mengingatkan wajah Miranda. Sephianya sewaktu Hardi menjalani hidup di Jakarta sebagai pelukis pada lima belas tahun silam. Janda beranak semata wayang yang telah banyak berjasa demi impiannya sebagai pelukis kaya dan tersohor.
Baru setengah batang segaret terbakar, Hardi beranjak dari ruang tunggu itu. Menginjak siusa sigaret dengan sepatu bututnya, sebelum Hardi memasuki gerbong ke tiga. Seusai meletakkan lukisan dan tas parasutnya di lantai kereta, Hardi duduk di kursi 3 A. Di samping perempuan muda itu.
Selepas senja, kereta meninggalkan Stasiun Tugu. Dari balik jendela kereta, pandangan Hardi diarahkan ke luar. Tampaklah lampu-lampu berkejaran seperti waktu yang terus menggerus usianya. Merampok miliknya yang berharga dalam hidupnya. Isteri dan ketiga anaknya yang tewas terbakar bersama rumahnya.
Dalam diam, Hardi mengutuk dirinya sendiri. Hidup sebagai suami jahat yang telah mengkhianati cinta isterinya, berselingkuh dengan Miranda. Hidup sebagai lelaki brengsek yang telah meninggalkan Miranda sesudah perempuan itu berjasa besar demi uang dan nama harum yang didambakan Hardi sejak berhelat dengan kuas, kanvas, dan cat.
“Apa yang tengah Bapak pikirkan?” tanya perempuan muda sambil menguaskan ujung lipstik pada setangkup bibirnya. “Tampaknya Bapak tengah menanggung beban hidup yang sangat berat?”
“Benar, Nak.” Wajah Hardi serupa langit malam tak berbintang. “Sebulan silam, aku mendapatkan cobaan dari Tuhan. Isteri dan ketiga anakku tewas terbakar bersama rumah dan sebagian besar isi di dalamnya.”
“Bersabarlah, Pak!” Perempuan muda mengalihkan pembicaraan. “Maaf, Pak! Sesungguhnya Bapak ini mau pergi kemana?”
“Jakarta.”
“Ke tempat saudara?”
“Bukan!” Hardi tak menjawab dengan jujur. “Aku hanya ingin jalan-jalan di Jakarta sembari berusaha meringankan beban di benak kepala.”
“Oh…. Begitu ya?” Perempuan muda meraih kotak kartu nama dari dalam dompet kulitnya. Mengambil selembar kartu nama dari kotak itu. “Kalau berkenan, mampirlah ke rumah, Pak! Ini kartu namaku.”
Tanpa membacanya, Hardi memasukkan kartu nama itu ke dalam saku bajunya yang kumal. Sebelum Hardi mengucapkan kata terima kasih dari mulutnya yang bau tembakau, perempuan muda telah beranjak dari kursinya. Pergi ke toilet untuk buang hajat kecil.
***
BAGAI naga raksasa, kereta menyelasak di rimba dengan moncong bercahaya. Menembus desa demi desa yang pulas tertidur dalam kelam. Melintasi kota demi kota yang berjaga sembari memamerkan lampu warna-warni. Menuju Stasiun Senin yang masih jauh dari pandangan mata.
Sebelum lampu di dalam gerbong kereta padam, Hardi yang mulai bosan dengan perjalanan jauh itu telah mendengkur seperti babi. Tak lagi memperhatikan tas parasut dan lukisannya.Tak lagi merasakan kehangatan tubuh perempuan muda yang pulas tertidur dengan menyandarkan kepala di pundaknya.
Di Stasiun Senin, kereta berhenti. Sebagaimana penumpang lain, Hardi yang telah terbangun itu turun dari kereta dengan lukisan dan tas parasutnya. Namun saat sejenak duduk di kursi ruang tunggu, Hardi heran. “Kemana perginya perempuan muda itu? Ah…. Masa bodoh!”
Matahari setinggi tombak. Hardi keluar dari Stasiun Senin. Dengan Kopaja, Hardi pergi menuju Kampung Rambutan. Tak ada tempat yang bakal dituju, selain rumah Miranda. Sephianya yang pernah berjasa besar demi impian Hardi sebagai pelukis kaya dan tersohor.
Di halaman rumah yang suasananya sudah banyak berubah, Hardi melangkah ke pintu coklat tua. Memencet tombol bel di samping kanan pintu yang kemudian terbuka dari dalam. Bersama munculnya seorang perempuan tambun dan bawel. “Rumah ini tak menerima pencari sumbangan! Sebaiknya Bapak mencari sumbangan ke lain rumah.”
“Aku tak sedang mencari sumbangan,” jawab Hardi dengan nada santun. “Aku ingin bertemu dengan tuan di rumah ini. Miranda.”
“Lancang benar kamu, Pak!” Perempuan tambun yang bekerja sebagai babu di rumah itu berlagak sok. “Sudah empatbelas tahun, rumah ini menjadi milik sah Tuan Hendra. Sesudah beliau membeli dari Miranda yang terlilit banyak hutang itu.”
Sebelum Hardi menanyakan keberadaan Miranda, babu itu menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Tanpa dendam di hatinya, Hardi meninggalkan rumah itu. Menyusuri tepian jalan beraspal yang padat dengan mobil-mobil mewah. Di samping ujung kaki jembatan penyeberangan, Hardi menghentikan langkah. Duduk di bawah akasia yang sedikit meredam terik matahari. Sambil mengisap sigaret terakhir, Hardi membaca kartu nama dari perempuan muda yang pernah ditemuinya di kereta itu. Tak tahu apa alasannya, Hardi ingin datang ke alamat yang tertulis di kartu nama itu.
***
DI HALAMAN rumah perempuan muda, Hardi terperangah. Berdiri sebagaimana patung batu setinggi tiga meter di halaman rumah bertembok marmer. Dalam hati, Hardi berhasrat mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu berukir gaya Jepara itu. Namun sebelum melangkah pergi, telinganya menangkap suara. “Akhirnya Bapak sudi mampir di rumahku. Mari masuk!”
“Terima kasih, Nak.” Dengan tas parasut dan lukisannya, Hardi memasuki ruang tamu rumah itu. Duduk di kursi kayu jati berukir yang berseberangan meja dengan kursi perempuan muda itu. Meletakkan lukisan dan tas parasutnya di lantai marmer warna jamrud. “Tak aku sangka. Bila Jakarta masih seperti dulu. Masih ada orang baik seperti anak ini.”
“Jangan memujiku, Pak! Nanti kepalaku jadi besar.” Perempuan muda tertawa renyah. “Oh ya, Pak. Apakah Bapak sudah puas jalan-jalan di Jakarta?”
“Sesungguhnya kedatanganku di Jakarta bukan sekadar ingin jalan-jalan. Tapi, ada tujuan utamanya. Selain ingin bertemu dengan seseorang, aku ingin menjual lukisanku. Satu-satunya barang yang masih aku miliki ini.”
“Boleh aku melihat lukisan itu?”
“Silakan!” Hardi memberikan lukisan yang masih terbungkus kertas koran itu pada perempuan muda. “Silakan dilihat, Nak!”
“Ya, Pak.” Perempuan muda membuka kertas koran yang melindungi lukisan itu. Manakala menyaksikan lukisan tentang lelaki yang mempersembahkan domba di bawah lingkaran cahaya berkilauan, ia sontak teringat kisah dari ibunya. “Lukisan yang menakjubkan! Lukisan yang mengingatkanku tentang kisah cinta Ibrahim pada Tuhan. Kisah yang selalu diceritakan mendiang Mama Miranda saat aku masih tinggal di Kampung Rambutan. Lukisan ini mengingatkanku pada Mama yang telah meninggal setahun silam karena kanker di rahimnya.”
“Jadi….” Lidah hardi sejenak tercekat. “Anak adalah Santhi?
“Benar, Pak.” Santhi sekilas menatap tai lalat Hardi yang melekat di atas bibirnya. “Ehm…. Bukankah Bapak adalah Om Hardi? Kawan Mama yang sering mengantarkan dan menjemputku dari sekolah pada limabelas tahun silam?”
“Tak salah, Nak.” Hardi melelehkan air mata di wajahnya yang mulai berkeriput. “Tak aku sangka, bila Tuhan kembali mempertemukanku dengan Nak Santhi. Aku pun tak menyangka, bila kehidupan Nak Santhi akan sebaik ini.”
“Aku dapat hidup seperti ini, karena suamiku. Putera dari kolektor Hong Jian yang pernah membeli lukisan Om Hardi itu.”
“Syukurlah! Aku turut bahagia.”
“Terima kasih.” Santhi mengalihkan pandangannya pada lukisan lelaki yang mempersembahkan domba. “Berapa harga lukisan ini, Om? Aku ingin membelinya.”
“Buat Nak Santhi, lukisan itu tak aku jual. Ambil saja!”
“Tidak, Om! Aku harus membelinya. Paling tidak sekadar ongkos ganti uang cat, kanvas, dan bingkai. Sebentar, Om!” Santhi beranjak dari kursi. Selang beberapa saat, Santhi kembali ke ruang tamu dengan membawa amplop besar berisi seratus lembar uang ratusan ribu. “Terimalah uang yang tak seberapa ini, Om!”
“Terima kasih.” Dengan tangan gemetar, Hardi menerima amplop besar berisi uang sepuluh juta dari Santhi. Memasukkannya amplop itu ke dalam tas parasut yang berisi pakaian-pakaian kumal. “Karena tujuanku untuk menjual lukisan itu telah terpenuhi, aku mohon pamit, Nak.”
“Tinggallah barang sehari atau dua hari di sini, Om!”
“Tidak, Nak. Karena ada satu panggilan hidup yang belum aku penuhi.”
“Baiklah, Om! Selamat jalan!”
Seusai saling berjabatan tangan, Hardi beranjak dari kursi. Meninggalkan Santhi yang telah mengantarkannya sampai halaman rumah itu. Dengan Kopaja, Hardi menuju Stasiun Senin. Dengan kereta senja, Hardi pulang ke Jogja. Setiba di Stasiun Tugu pagi itu, Hardi bergetgas pulang ke kampungnya dengan taksi.
Dari taksi yang berhenti di pertigaan jalan, Hardi melangkahkan kaki ke satu-satunya masjid di kampungnya. Kepada Mat Toyib si ketua panitia korban, Hardi menyerahkan seluruh uang hasil penjualan lukisannya. “Harap saudara Toyib bersedia menerima sumbangan korbanku yang tak seberapa ini!”
“Maaf, Pak Hardi! Bukankah Bapak sedang kesusahan sesudah rumah Bapak terbakar bersama isteri dan anak-anak? Sebaiknya uang sepuluh juta ini untuk membuat rumah sederhana sebagai tempat tinggal Bapak.”
“Tidak, Saudara Toyib. Karena penyebab petaka yang telah menimpa diriku, lantaran aku tak pernah berkorban selama mendapatkan rizeki berlimpah dari Tuhan. Semoga dengan korbanku ini, aku mendaptkan ampunan-Nya.”
Sebelum Mat Toyib melontarkan sepatah kata, Hardi keburu keluar dari masjid. Meninggalkan kampungnya dengan tas parasut di punggungnya.
Sepeninggal Hardi, Mat Toyib dan orang-orang di dalam masjid hanya saling melemparkan pandang. Mereka tampak heran dengan perilaku Hardi yang aneh itu. Namun di tahun-tahun kemudian, mereka mendapatkan jawabannya. Hardi yang selalu mengirimkan uang korban pada mereka setiap tahunnya itu telah menjadi pelukis kaya dan tersohor di Jakarta.