Masukan nama pengguna
Di depanku, Mad mengeluhkan nasib cintanya.
Baginya cinta telah menyerupai
lengkungan bianglala. Satu ujung di puncak
gunung. Satu ujung lainnya di pusar telaga.
Namun sewaktu Mad mengendap-endap
seperti harimau lapar atas rusa muda,
bianglala itu lenyap dari pandangannya.
AKULAH lelaki bayangan. Berumah kaca. Nasibku seburuk Rahwana di penjara gunung Somawana. Tinggal sendirian. Tak ada perempuan sebagai istri, pacar, atau sepia. Tak ada anak-anak selucu malaikat bersayap perak saat bermain bebintang di langit lepas. Tak ada kerabat. Saudara kembarku tak pernah berkunjung lagi. Dialah, Mad. Penyair sunyi yang pernah lepas dengan laptop dan androidnya.
Kepada Mad, aku sangat iba. Nasibnya lebih buruk dariku. Puisi-puisinya yang dicipta hanya menjadi sampah. Setiap perempuan yang didambakan sebagai istrinya selalu meninggalkan. Hingga Mad tak percaya lagi dengan keberadan cinta yang selalu dipuja-puja serupa dewa bagi sekelompok manusia purbani. Perempuan-perempuan yang dikontak lewat WhatsApp-nya hanya orang-orang sakit. Tak butuh cinta, selain syahwat.
Dyan. Demikian Mad menyebut nama pacar pertamanya yang tengah sibuk mengurus perceraian dengan suaminya. Semula Mad percaya kalau kata-kata Dyan yang bakal setia mendampingi perjalanan hidupnya hingga batas usia hanya bualan seorang pemabuk. Dyan bukan malam yang selalu menepati janji untuk mempersembahkan matahari pada fajar. Dyan bukan pohon flamboyan yang merekahkan bunganya saat kemarau panjang. Dyan hanyalah mawar berduri bagi Mad. Kupu tolol yang terluka sesudah Dyan minggat tanpa diketahui di mana alamatnya.
Selepas Dyan dari ruang cintanya, Mad tidak pernah bersentuhan dengan laptop dan androidnya. Berhari-hari Mad selalu mengunjungiku. Sebagai saudara sejiwa, aku hanya memberi saran agar Mad tidak percaya pada semua perempuan. Bukankah Adam yang dipenjara Tuhan di bumi jahanam lantaran mulut manis perempuan?
Tak lama kemudian, Mad kembali pada laptop dan androidnya. Setiap hari Mad selalu mencipta puisi cinta. Setiap hari Mad mengirim pesan WA dan bercallingan dengan Aryn. Perempuan kesepian karena suaminya telah enam bulan tidak pernah pulang. Perempuan yang selalu minta didengar kata-katanya. Perempuan lapar asmara yang selalu minta disuapi.
Sebagaimana Dyan, Aryn pun tak ada kabar lagi. Sesudah mengobral janji kosong kepada Mad akan membelikan printer bekas buat laptopnya saat menerima uang bulanan dari suaminya. Developer yang konon berselingkuh dengan sekretarisnya.
Di depanku, Mad mengeluhkan nasib cintanya. Baginya cinta telah menyerupai lengkungan bianglala. Satu ujung di puncak gunung. Satu ujung lainnya di pusar telaga. Namun sewaktu Mad mengendap-endap seperti harimau lapar atas rusa muda, bianglala itu lenyap dari pandangannya. "Sudaraku, aku telah lelah memburu cinta. Hanya menghabiskan sisa usia percuma. Apakah Tuhan tak menciptakan seorang perempuan sebagai pasangan hidupku?"
Aku hanya menatap matanya yang berlinang air mata. Mad ternyata lebih cengeng dari perempuan. Jiwanya yang pernah setegar pengembara sunyi di padang karang di naungan panggangan matahari musim kemarau kini lebih hina dari sesobek kapas yang diterbangkan angin. "Air mata tidak menyelesaikan masalah, Mad?"
"Lantas aku harus bagaimana, saudaraku? Aku lelah mendatangi makam-makam. Meminta restu kepada para leluhur yang bersemayam di alam keabadian. Bibirku telah kelu berdoa setiap tengah malam, agar aku cepat mendapatkan seorang istri yang setia. Sebagimana Setyawati bagi Narasoma. Surtikanthi bagi Suryatmaja. Subadra bagi Arjuna. Apakah Tuhan sudah bosan mendengar keluh kesahku?"
"Hanya Tuhan yang tahu."
"Tidak adakah lagi jalan lain yang harus kutempuh?"
"Pergilah ke timur! Di mana ibumu disemayamkan."
"Kapan aku berangkat?"
"Tak perlu menunggu hari kiamat."
Tanpa permisi, Mad meninggalkanku. Sebelum matahari muntah dari rahim malam, Mad tak agi duduk di depan laptopnya. Sas-sus yang aku dengar dari tetangga-tetangga kiri-kanannya, Mad pergi hanya dengan andoridnya. Tanpa bekal pakaian. Tanpa membawa sepeser uang. Sungguh kasihan kalau aku merasakan nasib saudaraku itu. Mad serupa kapas yang terombang-ambingkan angin di langit lepas.
***
HAMPIR sebulan Mad telah meninggalkan rumah. Aku kembali kesepian. Tinggal sendirian di rumah kaca. Namun aku tidak pernah menduga sebelumnya, kalau rumah yang dibiarkan tidak terkunci itu telah menerima tamu tak diundang. Dia bukan pencuri, melainkan seorang perempuan. Fafa, demikian namanya.
Fafa memang cantik. Anggun tepatnya. Wajahnya menyiratkan sifat keibuan. Binar matanya melukiskan kecerdasan di dalam berpikir. Rambutnya lurus sampai ke pinggang. Hingga suatu pagi, aku dapat bertemu dengan Fafa. Saat perempuan yang tak suka merokok itu membersihkan cermin. Tempat Mad sering berkaca. Tempat di mana aku tinggal di dalamnya.
"Sampai kapan kau setia menunggunya, Fa? Mad tak pasti kapan pulangnya."
"Sampai kapan pun, aku akan menunggunya."
"Luar biasa! Kau telah lama mengenalnya?"
"Aku telah mengenal pribadinya lewat karya-karyanya yang dimuat di koran. Aku sangat mengaguminya."
"Apa maksudmu datang ke rumah ini?"
"Aku ingin berguru kepadanya."
"Tentang sastra?"
"Tentang kehidupan. Kau siapa? Rumahmu di dalam kaca. Kau tampan seperti Begawan Ciptaning."
"Aku saudara kembar Mad."
Fafa terdiam. Namun wajahnya yang sontak menyerupai telaga berwarna zamrud berkilauan karena matahari itu menyiratkan persoalan besar. "Aku harus meninggalkanmu sejenak. Pakaian kotor Mad banyak menimbun di ember. Aku harus mencuci, mengeringkan, dan menyeterikanya."
Sebelum meninggalkanku, Fafa tersenyum tipis. Luar biasa! Senyum itu melampaui flamboyan di musim kemarau panjang. Aku turut berbahagia, apabila Fafa tidak hanya menjadi murid Mad. Namun istri yang selalu setia hingga usia di batas senja. Teratai yang selalu anggun di kolam berlumpur.
***
DARI ruang sunyi aku terbangun. Mendengar kaca diketuk-ketuk. Ia bukan Fafa. Melainkan, Mad. Tubuhnya basah-kuyup karena peluh. Wajahnya diselimuti debu jalanan. Tak seperti biasanya, Mad yang cepat pulang dari berpergian itu hanya diam di depanku. "Mengapa kau cepat pulang, Mad? Kau sudah sampai di makam ibumu?"
"Belum. Di tengah jalan, pesan WA nyasar ke androidku. Baca ini! ‘Aku lama menunggu di rumahmu. Bukan untuk apa. Hanya menyampaikan pesan mendiang ibumu. Nomer ini aku dapat dari koran pusat yang memuat biografi di bawah puisi-puisimu.’ Kau tahu siapa yang datang di rumah kita?"
Fafa memasuki ruangan. Membawa segelas teh. "Lihat ke belakang! Kau akan tahu siapa tamu istimewa di rumah kita."
"Siapa dia?"
Sebelum kata-kata meluncur dari muluku, perempuan itu memberi jawaban, "Namaku, Fafa. Tinggal di ibukota. Putri tunggal Pak Darmawan. Mantan pacar ibumu yang harus berpisah lantaran tak mendapatkan restu orang tua. Tapi cinta ayah dengan ibumu tak pernah berakhir. Mereka bersepakat untuk menjodohkan kedua anaknya bila sudah dewasa. Sebelum ayah meninggal menyusul ibuku di alam keabadian, dia berpesan agar aku menemuimu di Jawa. Sekarang terserah kepadamu. Apakah kau mau menerimaku sebagai calon istrimu, Mad?"
Aku menahan napas. Jantungku berhenti detaknya. Merasakan kecemasan luar biasa. Manakala Mad meminta kepada Fafa untuk segera pulang ke ibukota! Menyampaikan pesan Mad: "Atas nama mendiang ibuku, lamaranmu aku terima!"
Wajah Fafa yang secerah udara di luar itu setengah diangkat. Matanya yang berkaca-kaca bersua dengan mata Mad. Keningnya terbuka untuk kecupan Mad. Kepalanya melekat hangat di dada Mad. Di depanku, mereka berpagutan. Serupa sepasang pengantin sesudah mengucapkan sumpah sakral di depan meja penghulu. Namun sesudah keduanya memasuki kamar, aku merasakan rumah kacaku sesunyi penjara di Gunung Somawana.[]