Cerpen
Disukai
46
Dilihat
3,461
ARWAH-ARWAH KORBAN ERUPSI SEMERU
Horor

Masih diingat Mujadi akan pengalaman seramnya empatpuluh tahun silam. Pengalaman dari alumni salah satu SMA di Lumajang itu kembali diceritakan pada Ratmono. Kawan mahasiswanya sewaktu kuliah di salah satu perguruan tinggi terkenal di Malang, Jawa Timur

Karena berprofesi sebagai penulis, Ratmono yang mendapatkan pesanan penerbit untuk menulis cerita seram itu merekam cerita Mujadi dari awal hingga akhir. Cerita seram tentang penghuni gaib pada bekas bangunan sekolah SMP sewaktu mengikuti kegiatan jurit malam.

Bangunan sekolah SMP yang tidak digunakan lagi sebagai tempat belajar mengajar itu mengalami rusak berat akibat tertimbun lahar Gunung Semeru. Sewaktu gunung yang berada di daerah Lumajang dan Malang itu meletus, terdapat beberapa warga sekolah menjadi korban. Mereka meninggal ketika tidak dapat menyelamatkan diri dari gilasan lahar panas.

Dari kisah Mujadi sewaktu berkemah di dekat bekas bangunan sekolah SMP itu dikisahkan kembali oleh Ratmono. Sebelum menyimak kisah seram tersebut, hendaklah para pembaca untuk mempersiapkan nyalinya. Bagi yang tidak memiliki nyali besar hendaklah tidak membaca kisah ini.

***

           

Ujian akhir SMA kelas 12 telah dilaksanakan. Sebagai siswa yang mengikuti ekstrakurikuler Pramuka, Mujadi diwajibkan mengikuti kemah. Kegiatan itu dipusatkan di area kaki Gunung Semeru yang semula sebagai perkampungan. Sesudah dilanggar lahar Semeru, perkampungan itu tidak berpenghuni. Mereka yang selamat, bertempat tinggal di wilayah lain. Mereka yang meninggal, menjadi arwah-arwah gentayangan.

Bukan hanya rumah-rumah warga yang tertimbun lahar panas Gunung Semeru. Beberapa banguan lain seperti pasar dan sekolah turut terkubur pasir. Salah satu bangunan yang mengalami kerusakah parah adalah sekolah SMP yang tidak jauh dari area kemah Mujadi.

Sejak tenda-tenda didirikan pada ambang siang, Mujadi dan tujuh temannya dalam satu regu Kuda mengikuti berbagai kegiatan Pramuka. Ketika memasuki waktu istirahat pada jam 5 sore, mereka meninggalkan area perkemahan. Jalan-jalan untuk menikmati udara sambil menyaksikan bekas bangunan-bangunan di perkampungan mati itu.

Sungguhpun bekas bangunan-bangunan itu tak dihuni manusia, namun Mujadi merasakan adanya arwah-arwah yang tinggal di dalamnya. Mereka meninggal sesudah tertimbun magma Semeru yang muluncur dari puncaknya. Kematian yang menimpa mereka dirasa teramat pedih.

“Sejak tadi kenapa kau hanya terdiam, Di?” Dibyo yang merupakan salah seorang kawannya bertanya. “Apa yang tengah kamu pikirkan?”

Mujadi yang tidak melontarkan jawaban hanya sekilas memandang Dibyo. Sejurus kemudian, pandangannya diarahkan pada bangunan sekolah yang sudah tidak beratap. Namun, tiang bendera yang sudah berkarat masih terpancang di depan bangunan itu.

“Di!” Yanto yamg merupakan teman lain Mujadi membentak. “Jangan melamun! Tempat ini gawat. Nanti kamu bisa kerasukan!”

Mujadi tak menghiraukan kata-kata yang meluncur dari mulut Yanto. Karena dia tiba-tiba merasakan kepedihan sebagaimana yang dirasakan oleh arwah-arwah di dalam bekas bangunan sekolah. Terlebih kepedihan arwah-arwah yang semula masih berstatus siswa.

“Matahari hampir terbenam.” Santo, teman Mujadi yang lain lagi memperingatkan. “Saya sudah merasakan arwah-arwah mulai terbangun dari tidur. Kita harus segera kembali ke tenda.”

Sebagaimana tujuh teman lainnya, Mujadi kembali ke tenda. Sesampai lokasi perkemahan, dia masih hanyut dalam bayangan arwah-arwah di dalam bekas bangunan sekolah. Arwah-arwah itu semakin tampak menari-nari di pelupuk matanya.

Di saat semua anggota Pramuka makan malam di tendanya masing-masing, dua anggota pembina Pramuka – Daljono dan Darusman – meninggalkan lokasi perkemahan. Dengan baterai di tangan, mereka berjalan ke arah bekas bangunan sekolah yang bermandikan cahaya purnama. Di salah satu ruang bangunan itu, mereka meletakkan lencana perak yang akan dicari oleh semua peserta kegiatan jurit malam.

***

 

Jarum jam pendek dan panjang menunjuk titik 10. Semua regu Pramuka telah membentuk formasi lingkaran. Dari Pak Darmaji sang ketua pembina Pramuka, mereka mendapatkan informasi bahwa acara Jurit Malam akan segera dilaksanakan. Bagi regu penemu lencana perak di suatu tempat yang diarahkan dengan tanda anak panah akan mendapatkan hadiah.

Manakala Pak Darmaji mengelebatkan bendera kuning, satu persatu regu yang tidak diperbolehkan membawa baterai itu meninggalkan area perkemahan. Sepanjang jalan, para anggota Pramuka itu melantunkan lagu-lagu yang ditujukan buat membakar semangat dalam mencari lencana perak.

Setiba di pertigaan jalan, semua regu yang berarak rapi itu menghentikan langkah. Mereka menangkap keanehan pada dua tanda anak panah berukuran besar, satu ke arah kanan dan satunya lagi ke arah kiri. Di saat semua regu mengambil jalah ke kiri, regu Kuda di bawah kepemimpinan Mujadi berjalan ke kanan.

Semakin jauh berjalan, regu-regu yang mengambil arah kiri tidak menemukan tanda panah. Sebagian regu memutuskan untuk berbalik arah. Namun sebagian regu lainnya melanjutkan perjalanan. Di antara anggota regu-regu itu saling menyalahkan antara satu dengan lainnya. Terlebih ketika perjalanan mereka terbentur pada jalan buntu.

Di saat anggota-anggota regu itu dalam perselisihan, seorang di antara mereka melihat ratusan pocong tengah berkerumun di tanah lapang. Karena selalu gagal menakhlukkan rasa takutnya, dia berteriak lantang, “Lihat di sana! Di tanah lapang itu!”

Dengan serempak semua anggota Pramuka mengarahkan pandangnya ke tanah lapang. Mereka yang menyaksikan pocong-pocong sedang meangguk-anggukan kepala seperti melakukan ritual itu bergegas mengambil langkah seribu. Mereka berlari tunggang langgang. Meninggalkan tempat itu dengan membawa rasa ketakutan luar biasa.

Sesampai di pertigaan jalan, semua anggota Pramuka itu bertemu dengan anggota Pramuka lain yang semula berbalik arah. Mereka tidak berani untuk berspekulasi mengambil jalan ke kanan atau ke kiri. Mengingat tanda anak panah yang menjadi pedomanan mereka raib dari tempat itu.

Di saat semua anggota Pramuka tidak tahu jalan mana harus ditempuh, seorang mengusulkan pada mereka agar tetap berada di tempat itu sampai pagi. Usulan itu diterima oleh anggota semua regu. Tetapi ketika mendengar erangan, jeritan, dan tangisan arwah-arwah gentayangan dari empat penjuru, mereka serasa menghadapi pilihan dilematis. Mereka tetap berada di tempat itu sambil berjuang melawan rasa takut. Atau, mereka meninggalkan tempat itu dengan risiko tersesat hingga tak dapat kembali ke lokasi perkemahan.

***

 

Perjalanan Regu Kuda yang sewaktu di pertigaan jalan mengambil jalan ke kanan tidak disesatkan oleh arwah-arwah korban lahar panas Gunung Semeru. Perjalanan Mujadi dan kawan-kawannya hampir mendekati tempat lencana. Sesampai titik tujuan, mereka terkejut karena lencana itu diletakkan di dalam bekas banguan sekolah SMP.

Kepada kawan-kawannya, Mujadi meminta agar tidak gegabah memasuki bangunan sekolah itu. Mengingat aura negatif yang mula dirasakan membikin bulu kuduknya meremang. Bau bangkai manusia yang mulai menyengat hidung membuatnya ingin muntah.

Di depan gawangan tanpa pintu, Mujadi belum memutuskan apakah memasuki bangunan itu atau kembali ke lokasi perkemahan tanpa lencana. Ketika menghadapi masalah dilematis itu, dia melihat kelebat bayangan putih di dalam ruangan. “Apakah teman-teman melihat apa yang aku barusan?”

“Ya. Aku melihat.” Dibyo memberikan jawaban setengah berbisik. “Sepertinya tadi bayangan pocong.”

“Benar. Bagaimana sekarang? Lanjut atau kembali ke lokasi perkemahan?”

“Bagaimana kata orang kalau kita kembali ke lokasi perkemahan dengan tangan kosong?” Santo nyeletuk lantang. “Kita harus mendapatkan lencana itu. Apapun risikonya, kita harus memasuki bangunan ini.”

“Bagaimana teman-teman?” Mujadi bertanya pada seluruh anggotanya. “Apakah kalian setuju dengan pendapat Santo?”

“Setuju.”

Mendengar jawaban dari seluruh anggotanya, Mujadi yang diikuti ketuju temannya memasuki bekas bangunan sekolah itu. Selagi hendak melewati pintu penghubung antar ruangan, mereka melihat puluhan anak berseragam SMP dengan wajah berlumuran darah. Sontak, mereka menghentikan langkah. Tak lama kemudian, mereka berlari keluar. Meninggalkan ruang dalam bangunan itu.

Agak jauh dari bekas bangunan sekolah itu, Mujadi dan teman-temannya masih terengah-engah. Santo yang sangat ketakutan dengan tiga sosok hantu siswa SMP itu diam-diam terkencing di celananya. Sementara, Dibyo yang terkenal berani menghadapi hantu masih merinding bulu kuduknya.  

Belum reda dari rasa takut, Mujadi dan teman-temannya mendengar suara geraman dari dalam bangunan. Tak lama kemudian, mereka menyaksikan dua sosok lelaki yang melompat keluar lewat jendela. Sambil menggeram-geram, mereka berjalan merangkak seperti hewan.

Mujadi dan teman-temannya waspada ketika dua sosok lelaki merangkak ke arah mereka. Sebagaimana seluruh anggotanya, dia berlari menjauh. Bukan berarti takut pada dua sosok lelaki itu, melainkan mereka hendak kembali ke lokasi Perkemahan. Melaporkan pada Pak Darmaji kalau Pak Daljono dan Pak Sudarisman kerasukan di area bekas bangunan sekolah.

Melalui Pak Darmaji, Pak Daljono dan Pak Sudarisman yang bertugas menggoda peserta jurit malam itu berhasil diselamatkan dari pengaruh arwah-arwah korban lahar panas Semeru.  

Ambang fajar, Mujadi beserta seluruh anggota regu Kuda kembali ke perkemahan. Demikian pula, seluruh peserta Jurit Malam yang semula berkumpul di pertigaan jalan.

Pada malam kedua, gangguan dari arwah-arwah korban erupsi Semeru semakin berat. Banyak anggota Pramuka yang kerasukan. Banyak pula siswa yang tengah tertidur lelap dipindah dari tenda ke dalam bangunan-bangunan bekas. Karena alasan itulah, acara kemah ditutup sebelum waktu yang sudah diputuskan.[] 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)