Cerpen
Disukai
0
Dilihat
568
ARWAH NONI BELANDA & BONEKA UNGU
Horor

Pemerintahan Hindia Belanda berakhir sesudah Jepang berhasil menduduki Indonesia pada tahun 1942. Kedatangan pasukan Nippon menjadi bencana bagi orang-orang Belanda, terutama mereka yang tinggal di Jawa. Banyak orang Belanda yang melawan pasukan kerdil dari Jepang itu dihabisi dengan bom, granat, dan peluru-peluru yang dimuntahkan dari moncong senapan.

Konon, di daerah tepian Yogyakarta terdapat rumah keluarga Belanda. Ketika rumahnya dihujani peluru oleh pasukan Jepang menjelang subuh, sepasang suami-istri dapat meloloskan diri. Karena panik, mereka lupa bahwa anak perempuan semata wayangnya yang masih berusia tujuh tahun tertinggal di rumah.

Seusai serangan pasukan Jepang reda, sepasang suami-istri itu pulang ke rumahnya. Betapa mereka serasa disambar petir di siang bolong ketika melihat anaknya terkapar bersimbah darah di teras rumah sambil memeluk boneka plastik Putri Ungu. Dengan wajah basah air mata, mereka menguburkan anak beserta boneka kesayangannya itu di samping rumah.

Peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Belanda pada masa awal penjajahan Jepang di Indonesia tidak diketahui banyak orang. Orang-orang di sekitar bekas rumah keluarga Belanda seusai tahun 70-an hanya sering mendengar nyanyian seorang anak kecil pada malam hari, terlebih ketika bekas rumah itu diratakan dengan tanah sebelum dibangun sekolah pada awal tahun 2000-an.

Lantaran kemajuan zaman menuntut adanya pekerja-pekerja profesional, jumlah Sekolah Menengah Kejuruan ditingkatkan. Untuk menunjang program itu, dibangunlah sekolah SMK swasta di area yang semula merupakan tempat tinggal keluarga Belanda—tempat peristiwa terbunuhnya Noni Kecil Belanda di tangan pasukan Jepang.

Sewaktu awal digunakan untuk proses belajar mengajar, sekolah itu belum menunjukkan keangkerannya. Namun tiga tahun kemudian, hantu Noni Kecil Belanda beserta boneka plastik Putri Ungu mulai usil. Mereka sering menampakkan sosoknya pada anak-anak yang sedang melamun dan kosong pikirannya. Mereka juga sering mendengar suara anak kecil yang merintih kesakitan.

Seorang siswa yang pertama kali mendengar rintihan arwah Noni Kecil Belanda adalah Bella, siswi kelas 12 yang duduk semeja dengan Novi.

Semula, Bella mengira bahwa rintihan itu adalah suara Novi yang sedang ke toilet. Tetapi sesudah teman semejanya itu kembali ke tempat duduk, dia mengaku tidak merintih di toilet. Memang, dia sedang menstruasi, namun perutnya tidak merasa sakit. Dia pun tidak mendengar suara rintihan itu.

Mendengar jawaban Novi, Bella yang sedang mengalami stres berat karena perselisihan kedua orang tuanya merasa heran. Karena penasaran, dia meminta izin pada Bu Guru Lenny untuk pergi ke toilet dengan alasan mau buang air kecil. Seusai mendapat izin, dia pun berjalan bergegas menuju toilet yang berdampingan dengan ruang UKS.

Tiba di depan toilet, Bella mendengar anak kecil sedang melantunkan lagu Nina Bobo. Karena ingin tahu siapa yang melantunkan lagu itu, dia mengetuk pintu toilet.

“Hallo… siapa di dalam? Kalau menggunakan toilet cepat sedikit. Aku sudah kebelet mau pipis.”

Lantaran lantunan lagu Nina Bobo itu mendadak senyap, Bella mendorong pintu sekuat tenaga. Terperangah wajahnya ketika tidak melihat sesosok manusia di dalam toilet dengan pintu yang tidak terkunci. Melihat keanehan itu, sekujur tubuhnya merinding. Tanpa menoleh ke belakang, dia bergegas kembali ke ruang kelas.

Sejak mengalami peristiwa mistik di toilet sekolah, Bella makin percaya bila kabar tentang hantu Noni Kecil Belanda bukan isapan jempol. Sungguhpun merasa takut, dia masih penasaran. Dia ingin melihat hantu itu beserta boneka Putri Ungu kesayangannya—boneka jadul berbahan plastik yang tidak dapat ditemukan pada era Gen-Z ini.

Belum lama duduk kembali di kursinya, Bella menceritakan peristiwa mistik yang baru saja dialami di toilet pada Novi dengan setengah berbisik. Hal itu dilakukan agar Bu Guru Lenny yang tengah menulis di papan tulis tidak terganggu.

“Jangan suka mengarang cerita, Bell! Aku percaya kalau hantu itu ada di sekolah kita. Tetapi belum pernah ada ceritanya kalau hantu beraksi di siang hari. Konon, siangnya manusia adalah malamnya hantu. Maka pada siang hari, hantu tidak beraksi. Mereka takut pada sinar matahari. Bisa jadi kamu sedang berhalusinasi, Bell.”

“Sumpah demi Allah, Vi. Telingaku tadi mendengar suara anak kecil tengah melantunkan lagu Nina Bobo di dalam toilet.”

“Sudah, sudah! Jangan ngacau. Aku mau fokus mengikuti pelajaran Tata Boga dari Bu Guru Lenny. Lihat, beliau sudah selesai menulis resep masakan Padang Jawa istimewa di papan tulis.”

Bella pun berhenti berbicara ketika Bu Guru Lenny sudah membalikkan badannya ke arah semua siswa. Manakala semua temannya menaruh perhatian pada penjelasan Bu Guru Lenny tentang cara mengolah masakan Padang Jawa istimewa, dia melihat seorang anak kecil. Wajahnya cantik, berkulit bule, dan berambut pirang berombak sebahu tengah mengemban boneka plastik di depan pintu kelas yang terbuka.

“Hei… siapa yang bernyanyi?” tanya Bu Guru Lenny dengan suara lantang. “Saya sedang menjelaskan pengetahuan baru pada kalian. Kalian harus fokus pada pelajaran, bukannya bernyanyi. Kalau ingin bernyanyi keluar dari kelas ini! Cepat!”

“Maaf, Bu.” Novi memberanikan diri menanggapi perkataan Bu Guru Lenny. “Saya tidak mendengar salah seorang teman yang bernyanyi. Semua fokus pada pelajaran yang Ibu berikan pada kami.”

“Tapi, aku tadi mendengarnya. Lantas, siapa yang bernyanyi tadi ya?”

“Itu, Bu.” Bella menunjuk ke arah pintu kelas. “Gadis kecil yang menggendong boneka plastik itu yang bernyanyi.”

“Jangan ngacau, Bel!” Novi membentak Bella dengan suara keras. “Sama sekali aku tak melihatnya.”

“Jangan begitu, Vi!” Bu Guru Lenny menyambung. “Bisa jadi apa yang dilihat Bella benar. Sungguhpun aku tak bisa melihat sosok gadis itu, tapi aku merasakan keberadaannya di pintu itu.”

“Dia sudah pergi, Bu.”

“Benar, Bell. Aku merasakan bahwa aura di dalam kelas ini sudah kembali netral.” Bu Guru Lenny menghirup napas dalam-dalam sebelum dihembuskannya. Tubuhnya yang semula merinding berangsur-angsur normal kembali. “Semoga dia tak datang lagi.”

Suasana di dalam kelas senyap sementara. Sesudah suasana menjadi kondusif, Bu Guru Lenny kembali mengajar semua siswanya. Lima belas menit kemudian, bel tanda istirahat berdering. Sebagaimana guru itu, semua siswa kelas 12 meninggalkan kelas. Sebagian duduk-duduk di taman, sebagian lainnya mengisi perut di kantin sekolah.

Saat istirahat, tak ada tema pembicaraan yang menarik di antara para siswa jurusan Tata Boga kelas 12 selain penampakan Noni Kecil Belanda yang menggendong boneka plastik Putri Ungu di depan pintu kelas. Lambat laun pembicaraan tentang hantu korban keganasan pasukan Jepang itu kian hari kian meluas ke semua warga sekolah.

***

Apa yang dikisahkan di muka terjadi setahun silam, sewaktu Bella masih duduk di bangku SMK. Sesudah lulus dan bekerja di sebuah kafe, dia tidak lagi bersentuhan dengan hantu Noni Kecil Belanda dan Boneka Putri Ungu. Dia hanya sering mendengar cerita dari Salsa, adiknya yang masih belajar di SMK itu.

Salsa tinggal bersama ibunya sesudah perceraian dengan ayahnya enam bulan silam. Di SMK tempat Bella semula bersekolah, Salsa belajar Tata Rias dan Kecantikan. Sekalipun masih kelas 10, keahliannya dalam bidang tata rias cukup mumpuni. Tidak aneh bila sewaktu sekolahnya mengadakan gelar seni siswa pada Malam Peringatan Hari Kemerdekaan RI, dia diminta oleh Bu Guru Mila untuk merias para penari.

Di ruang rias yang disediakan panitia di kelas 12, Salsa sibuk merias tujuh penari untuk tampil. Seusai seluruh penari Gambyong diriasnya, dia didatangi gadis kecil yang mengenakan busana penari Golek. Mengira gadis yang membawa boneka plastik itu anak dari seorang guru, dia pun meriasnya.

Selepas gadis kecil itu keluar dari ruang rias, Salsa yang sudah mengemasi seluruh alat rias segera pergi ke panggung kesenian di halaman sekolah. Dia sangat puas ketika menyaksikan hasil riasan pada tujuh penari Gambyong tampak sempurna. Dia pun tampak sangat bahagia ketika Bu Guru Mila memberikan selamat padanya.

Pentas tari Gambyong sudah selesai. Sebagaimana para penonton lain, Salsa turut bertepuk tangan. Semakin keras dia bertepuk tangan ketika Bu Guru Lenny selaku Master of Ceremony menyampaikan bahwa sajian seni selanjutnya adalah Tari Golek. Mendadak wajahnya terperangah ketika mengetahui bahwa penarinya bukan gadis kecil yang diriasnya, melainkan siswi kelas 11 yang merias sendiri di ruang guru.

Melihat bahwa penari Golek bukan gadis kecil yang diriasnya, Salsa mendatangi Bu Guru Lenny yang sedang duduk di samping tukang sound system.

“Maaf, Bu. Boleh aku tanya?”

“Tanya apa?”

“Apakah sesudah Tari Golek yang tengah dipanggungkan itu masih ada Tari Golek selanjutnya?”

“Tidak, Sa. Sesudah Tari Golek, acara dilanjutkan dengan Fashion Show.”

“Oh….” Wajah Salsa terperangah. Dia berpikir keras tentang siapa gadis kecil yang membawa boneka untuk diriasnya. “Ya sudah, Bu. Makasih atas informasinya.”

“Sama-sama, Sa.”

Salsa kembali ke tempat duduk semula. Di antara para penonton, dia yang masih penasaran tentang siapakah gadis kecil pembawa boneka plastik yang minta diriasnya itu hanya terdiam. Dia pun tidak turut bertepuk tangan sebagaimana semua penonton sesudah Tari Golek itu sempurna dibawakan. Ketika amat memikirkan keanehan yang dialami, Salsa tidak menyadari kedatangan Bu Guru Mila.

“Acara tari sudah selesai, Sa. Tugas kita juga sudah selesai. Apakah alat rias sudah kamu beresi tadi? Kalau sudah, kita bisa pulang duluan.”

“Apa, Bu?” Salsa yang teramat larut dengan pengalaman anehnya tidak menangkap seluruh perkataan Bu Guru Mila. “Maaf, Bu. Tadi… Bu Mila bilang apa ya?”

“Apakah alat rias sudah kamu beresi?”

“Sudah, Bu.”

“Kalau sudah, kita tinggal memberesi busana tari. Kalau semuanya sudah beres, kita bisa pulang. Ayo, kita ke ruang rias!”

Salsa beranjak dari kursi, berjalan di antara orang-orang yang akan menyaksikan Fashion Show. Dia mengikuti Bu Guru Mila memasuki ruang rias. Baru selangkah melewati pintu, dia amat terkejut melihat gadis kecil yang mengenakan busana dan berias penari Golek itu duduk bersimpuh sambil mendekap boneka plastiknya.

“Kasihan dia, Bu.” Salsa menunjuk ke arah gadis kecil itu. “Kenapa dia yang sudah mengenakan busana dan berias penari Golek tidak dipentaskan?”

“Dia? Dia siapa? Jangan menakutiku, Sa! Di ruangan ini hanya ada kita. Semua penari sudah pulang.”

Dengan rasa takut luar biasa, Salsa yang menyaksikan gadis kecil mengucurkan air mata darah di pipinya itu tak mampu mengucapkan sepatah kata. Bulu kuduknya meremang. Sekujur tubuhnya menggigil seperti terkena serangan demam sewaktu menyaksikan tubuh gadis kecil penuh luka tembak.

“Hei, Salsa!” Bu Guru Mila kebingungan ketika melihat siswi kesayangannya ketakutan. “Apa yang kau lihat, Sa?”

Rasa ketakutan Salsa sampai ke puncak hingga mulutnya seperti terkunci ketika akan menjawab pertanyaan Bu Guru Mila. Keringat dingin mengucur dari tubuhnya yang serasa tak bertulang. Kedua matanya terpejam. Dia terjatuh lunglai di lantai ruang rias itu.

Menyadari Salsa jatuh pingsan, Bu Guru Mila berteriak, “Tolong! Tolong! Tolong…!”

Datanglah beberapa guru ke ruang rias itu. Bersama Bu Guru Mila, mereka membawa Salsa ke ruang UKS untuk diberi pertolongan. Sesudah sadar dari pingsan, Salsa menceritakan tentang sosok gadis kecil dengan boneka ungu yang disaksikannya di dalam ruang rias.

Mendengar cerita yang dituturkan terbata-bata oleh Salsa, beberapa guru hanya saling melemparkan pandang. Di dalam hati mereka berkata bahwa apa yang disaksikan Salsa itu tak lain hantu Noni Kecil Belanda dan Boneka Putri Ungu-nya, hantu yang masih menjadi penghuni gaib di area sekolah itu.

***

Selain Bella dan Salsa, masih banyak siswa di SMK itu bersentuhan langsung ataupun tidak dengan hantu Noni Kecil Belanda dan Boneka Putri Ungu-nya. Bahkan beberapa guru, karyawan, tukang kebun, penjaga malam, dan Kepala Sekolah pernah melihat sosoknya. Hantu itu tidak hanya menampakkan diri di toilet, tetapi juga di ruang kelas, ruang guru, ruang TU, ruang UKS, ruang Kepala Sekolah, halaman sekolah, dan kantin.

Pengalaman mistik bersentuhan dengan keberadaan hantu Noni Kecil Belanda dan Boneka Putri Ungu dari sebagian warga SMK menarik perhatian Silvia, siswi kelas 12 yang ingin mengabadikan cerita itu ke dalam bukunya Cerita Seram Noni Bule dan Boneka Putri Ungu.

Sesudah mempersiapkan mental sebelum menulis buku horor itu, Silvia mulai mewawancarai beberapa narasumber dari warga SMK. Mula pertama, dia mewawancarai Kepala Sekolah. Kepala Sekolah menuturkan bahwa dia sering mencium bau amis darah sewaktu berada di toilet. Penuturan itu sama dengan yang diceritakan Bu Guru Lenny dan Bu Guru Mila.

Mbok Sum, yang membuka usaha kantin di sekolah, memiliki cerita berbeda. Seusai salat Subuh, dia datang ke kantin untuk memasak, menanak nasi, dan merebus air. Sewaktu memasak, dia didatangi seorang anak kecil yang menggendong boneka plastik untuk membeli nasi dan sayur. Selepas anak kecil itu pergi, dia mengalami keanehan: uang yang diterimanya berubah menjadi lembaran-lembaran daun.

Kisah yang tidak kalah seram datang dari Pak Parjan, karyawan TU yang sedang kerja lembur di sekolah. Dia menceritakan pada Silvia dengan menahan rasa takut: “Bertepatan pada malam Jumat Kliwon, saya mendengar erangan seorang anak kecil. Awalnya, saya mendengar erangan itu di ruang Kepala Sekolah. Sesudah saya ke sana, suara itu berpindah ke ruang karyawan. Dari ruang karyawan, suara itu berpindah ke toilet. Karena meyakini bahwa suara itu bersumber dari hantu Noni Kecil Belanda, saya berhenti memburunya. Sampai Subuh saya tak bisa tidur. Setiap akan memejamkan mata, saya mendengar suara erangan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain.”

Pengisahan pengalaman bertemu dengan hantu Noni Kecil Belanda paling seram bersumber dari Pak Misbun, penjaga malam sekolah. Hampir setiap malam, dia mendengar suara erangan dan permintaan tolong dari seorang anak kecil. Dia juga pernah melihat hantu itu tengah berayun-ayun di taman sekolah, melantunkan lagu Nina Bobo untuk boneka yang digendongnya.

Dalam waktu tiga bulan, beberapa cerita tentang Noni Kecil Belanda dan Boneka Putri Ungu dari warga sekolah berhasil dituang Silvia ke dalam manuskripnya. Sesudah terbit, buku horor itu laris manis di pasaran. Akibat banyak orang tahu, SMK yang menjadi sarang hantu anak perempuan Belanda itu semakin lama semakin berkurang siswanya. Hanya orang tua yang anaknya tidak diterima di sekolah lain yang terpaksa menyekolahkan anaknya di SMK itu.

 



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)