Masukan nama pengguna
Serigala itu melangkah di tengah pekatnya malam. Menyusuri tanah berembun berteman balutan hembusan angin malam. Menapaki hutan sendirian tanpa kawan. Langkahnya lunglai tanpa tujuan yang pasti.
Pandangan matanya nanar kadang tertunduk, seolah malu namun rindu akan pelukan hangat Sang Purnama.
Sesekali terdengar jeritan tangis hatinya yang terpendam. Memecah kesunyian. Pilu dan menyayat hati bagi yang mendengar. Kemana langkah akan membawanya?
Tak pernah ada yang tahu. Bahkan dirinya sendiri pun tak tahu kemana ia akan berakhir. Ia hanya tahu akan satu hal. Mengikuti apa yang hatinya katakan lalu mengikuti arus kemana sang hembusan angin akan menuntunnya.
Sunyi sendiri, berbalut sepi berkawan rindu dan pilu tak ia rasakan. Dalam hatinya ia selalu mengatakan bahwa aku memiliki langit dan purnama yang akan menemaniku melangkah. Di atas sana selalu ada langit yang senantiasa akan mengawasiku.
Dari sela-sela mantel langit yang tebal menghitam terkadang sang purnama mengintip, melihat dan menuntun menerabas pekatnya malam dengan daun-daun yang berserakan.
“Lihat itu! Serigala kesepian yang malang. Berjalan sendirian tanpa peduli akan tujuan,” seru rumput dan ilalang.
“Kasihan, kelompoknya pasti meninggalkannya karena ia tidak berguna,” timpal rerumputan lainnya.
Serigala itu terus berjalan. Melangkahkan kaki-kakinya, menundukkan pandangannya, menyembunyikan cakar dan taring serta menahan lolongan teriakkannya.
“Kasihan, tapi kenapa ia tidak memiliki kelompok. Naas sekali nasibnya” Timpal Burung Hantu dari atas pepohonan.
“Sudah! Lupakan saja serigala menyedihkan itu. Mungkin ia dicampakkan kawanannya, atau ia sendiri yang memisahkan diri dari kelompoknya. Lekas kita mencari makan!” seru Burung Hantu lainnya.
Sesaat malam tak lagi sunyi. Suara kelepar burung hantu dan kepakan sayap para kelelawar yang beterbangan di atas serigala itu memecah heningnya malam.
Tanpa mempedulikan apa yang ia dengar, serigala itu tetap berjalan. Kaki-kaki yang kini penuh semangat menyusuri dingin dan basahnya sang Bumi pertiwi. Menyingkap rerumputan dan ilalang yang menyeruak dihadapannya. Ia terus melangkah dan melangkah. Pikirannya terus melayang dan mengembara.
“Aku memang tidak memiliki kelompok. Tidak memiliki kawanan yang dinamakan sebagai keluarga serigala. Aku memiliki duniaku sendiri.”
“Kini, menyendiri adalah bagian dari duniaku. Namun aku tidak akan pernah benar-benar sendiri. Ketika aku melihat ke langit, begitu banyak bintang-bintang yang menunjukkan senyum ramahnya kepadaku. Mengusir sepi dan pilu. Aku tahu bintang-bintang itu menyapaku. Namun jarak ribuan tahun cahaya menghalangi.”
“Terkadang purnama pun tersenyum dan berbicara padaku. Ia ceritakan kisah-kisah yang indah dan menggugah asa. Ia ceritakan dunia-dunia yang indah di luar sana. Ia ceritakan mimpi-mimpi luar biasa. Dan ia menyinari mimpi-mimpi itu dengan cahayanya yang hangat dan menyejukkan.”
“Mengapa aku harus merasa sendiri? Tapi terkadang aku heran, mengapa langit begitu sedih ketika melihat aku seorang diri melangkahkan kaki menyusuri dinginnya Bumi pertiwi?”
“Terkadang ia menangis. Bukan hanya menitikkan air mata sehingga sedikit membasahi wajah sang empu Bumi. Tapi terkadang ia memekik, meluapkan amarah dengan gelegarnya, melecut mencari sasarannya di bumi, dan menangis sejadi-jadinya, seolah ingin menumpahkan seluruh air matanya. Itu membuatku menjadi basah kuyup dan tak ada tempat untuk berlindung.”
“Namun aku justru merasa senang ketika langit begitu menangis. Aku bisa bersenang-senang. Berlari kesana dan kemari, membiarkan tubuh dan bulu-bulu ku menjadi basah. Aku melompat kesana kemari, ku kibaskan bulu dan ekorku yang penuh dengan air dan itu akan membuatku melupakan akan kesendirianku, kesepianku.”
“Terima kasih sahabatku langit, maafkan aku jika membuatmu bersedih dan menangis. Tapi aku merasa senang ketika kau menangis. Mungkin kau menangis untuk menghibur dan membasahi jiwaku yang sepi dan kering ini.”
Perlahan sang purnama mulai beranjak semakin meninggi. Sang Mega hitam seolah mempersilakannya untuk bergilir menemaniku. Cahayanya penuh menyeruak menembus ranting dan dahan pepohonan. Memantul di dedaunan yang basah. Membias di bulir-bulir tetesan pada ujung dedaunan yang seolah enggan jatuh. Menyinari sisi-sisi gelap yang membalut duniaku. Memberikan sedikit kehangatan dan kelembutan. Menggugah asa kembali. Membuatku merasa tenang bila aku melihatnya.
Sirius adalah kisah yang paling aku suka dari semua kisah-kisah yang pernah diceritakan oleh purnama sepanjang perjalanan ku. Sirius selalu terlukis dalam benak ku.
Entah mengapa, aku menjadi lebih sering untuk melihat ke langit dan berharap akan muncul Sirius yang diceritakan oleh sang rembulan. Aku ingin melihat serigala langit yang legendaris itu.
“Wahai Sirius. Purnama pernah mengatakan padaku, kau adalah serigala langit yang legendaris. Apakah aku juga bisa menjadi serigala yang legendaris? Apa aku bisa menjadi salah satu legenda yang akan tertulis di langit dan dikenang oleh para penghuni Bumi?”
Sejenak ia menghentikan langkah saat kaki-kakinya menapak di batu besar. Mendongak ke langit. Menatap pada Sang Purnama. Pandangannya menyimpan sejuta tanya dan keheranan. “Kenapa kau tidak lagi menceritakan kisah-kisah yang indah padaku wahai Purnama?,” Gumam Sang Serigala.
Sunyi membalut, menyelinap di antara ruang keduanya. Tak sepatah kata pun Sang Purnama bergumam. Jangankan untuk mengungkap sepatah kata, tersenyum pun ia enggan.
“Ada apa purnama? Apa engkau tidak mau lagi menjadi pelitaku dalam mengarungi gulitanya duniaku? Apa aku terlalu hina dan menjadi beban untukmu?”
Lagi-lagi hanya hembusan angin yang terdengar. Menyelinap di antara keduanya yang sedang terpaku saling menatap.
Tatapan kerinduan antara keduanya. Sejenak sunyi menyelimuti keduanya. Tak henti Sang Serigala itu menatap Purnama yang hanya diam seribu bahasa.
Serigala itu melompat meninggalkan onggokan batu dan sekuat tenaga ia berlari. Derap kakinya memecah keheningan dan kesunyian. Menyibak barisan rerumputan yang sedang memadu kasih menikmati rembulan purnama.
Mengoyak dedaunan dan ranting kering yang berserakan. Ia hanya terus berlari dan berlari. Mencari puncak tertinggi untuk semakin dekat dengan sang rembulan. Sesampainya di tempat tertinggi, ia tetap merasa bahwa rembulan masih begitu jauh.
“Rembulan tidak mau berbagi kisah lagi denganku. Mungkin aku harus berjalan tanpa kisah-kisahmu yang membangkitkan asa dan mimpi lagi.”
Serigala itu berdiri. Dengan dada membusung ia melolong. Lolongan yang panjang. Lolongan tanda kesepian dan kerinduan. Lolongan yang terdengar menyayat hati dan mengoyak sepi. Bahkan seluruh penghuni hutan pun akan luruh hati mendengar lolongan Sang Serigala.
Namun rembulan tetap terpaku dan terdiam. Semakin ia kuat melolong, semakin rembulan terpaku dan membisu. Lolongan Serigala itu tidak pernah sampai kepada rembulan. Ia terus melolong. Setiap malam dan setiap purnama datang, ia akan berlari mencari tempat yang tinggi.
Di tempat itulah ia akan melolong. Berteriak. Meneriakkan kesepian dan kerinduan pada sang rembulan. Namun naas bagi serigala penyendiri itu, rembulan tidak pernah lagi mendengar apa yang menjadi teriakan dan jeritan hatinya.
Meskipun begitu, lolongan serigala kesepian nan menyayat itu akan senantiasa terdengar saat-saat purnama datang. Lolongan tanda jeritan kesepian. Lolongan kerinduan akan kawan-kawannya.
Selesai