Cerpen
Disukai
5
Dilihat
6,909
Praecognitif Somnium
Drama


Luna duduk di sebuah bangku kayu ungu keemasan di tengah taman. Matahari perlahan tenggelam di balik pohon-pohon tinggi, menyisakan semburat jingga yang menyapu langit senja. Angin dingin berhembus pelan membawa aroma tanah basah dan bunga melati yang samar.

Dari kejauhan di seberangnya, seorang laki-laki muncul dari balik kabut. Dia melangkah ringan, wajahnya teduh namun samar, seperti lukisan yang belum selesai. Luna menatapnya lama, merasakan ada sesuatu yang sangat akrab dari sosok itu.

“Hai,” katanya lirih, suaranya nyaris tersapu angin.

Laki-laki itu tersenyum dan membalas, “Aku sudah menunggumu di sini, seperti biasa.”

Luna mengangguk, jantungnya berdetak cepat. “Kita sudah pernah bertemu, kan? Di tempat ini… atau di mana...”

Wolfgang mengangguk pelan, “Tapi aku selalu lupa siapa kamu saat aku bangun.”

“Kau juga,” kata Luna, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku hanya ingat rasanya. Rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar hilang.”

Mereka diam, menatap langit yang semakin gelap. Di dunia yang hanya ada di antara tidur dan terjaga itu, mereka adalah satu-satunya yang mengerti bahwa pertemuan mereka selalu sementara dan selalu hilang saat pagi menyapa.

“Aku ingin kita menemukan jalan,” ujar Wolfgang. “Entah di mana, entah kapan.”

Luna menunduk kemudian menatap kembali wajah lelaki itu. “Jika ini mimpi, biarkan aku mengingatmu, sekali saja. Lagi.”

Wolfgang meraih tangan Luna yang hangat. Sebuah sentuhan yang takkan mereka rasakan di dunia nyata.

Kabut menghilang. Senja pun lenyap.

Luna membuka mata di kamar kecilnya yang dipenuhi lukisan-lukisan belum selesai. Cahaya pagi menembus tirai tipis, menggoreskan bayangan samar di lantai kayu. Dia menghela napas panjang, menatap sketsa wajah laki-laki dari mimpinya yang tergeletak di meja.

Sosok itu terasa dekat namun jauh. Di dunia nyata, Luna jarang bertemu orang. Teman-temannya sibuk, dan dia lebih sering menghabiskan waktu dengan cat, kuas, dan imajinasinya sendiri. Namun malam tadi, di taman kabut itu, dia merasa seolah telah bertemu sahabat lama yang mengerti dirinya tanpa kata.

Di kota yang sama, sepuluh tahun sebelumnya, Wolfgang terjaga dari tidurnya di kamar kecil yang penuh buku filsafat dan jurnal mimpi. Dia merogoh meja, membuka buku catatan dengan tulisan tangan rapi. Di sana tertulis, "Mimpi tentang perempuan di taman kabut. Dia tersenyum, tapi aku lupa namanya saat terjaga."

Wolgang menulis lagi, “Setiap malam, dia datang. Seperti arwah yang merindu masa depan.”

Keduanya hidup dalam waktu yang berbeda, namun dunia mimpi mereka bertemu di ruang yang tak terikat waktu.

Luna menyentuh sketsa itu pelan, berharap bisa mengingat lebih banyak.

Wolfgang menatap catatannya, berharap bisa menemukan petunjuk dari masa depan.

Mereka terjebak dalam misteri yang mengikat dua jiwa di dua dunia berbeda, dengan satu harapan yang sama.

Malam itu, kembali di dunia mimpi, Luna dan Wolfgang berdiri di tepi danau berkilauan yang memantulkan cahaya bulan. Suara angin membawa desiran halus, seolah alam pun mendengarkan janji mereka.

“Kita tak bisa terus begini,” kata Luna. “Jika kita ingin benar-benar bertemu, kita harus menemukan caranya di dunia nyata.”

Wolfgang mengangguk. “Aku setuju. Tapi bagaimana? Kita bahkan hidup di waktu yang berbeda.”

Luna mengambil sebuah pensil dari sakunya dan mulai melukis sebuah simbol kecil di tanah berpasir, sebuah lingkaran dengan garis silang di tengahnya, dan inisial NI. “Ini simbol kita, sebuah tanda yang hanya kita mengerti.”

“Bagus,” kata Wolfgang. “Aku akan menulis sebuah puisi, aku taruh di perpustakaan tua. Mungkin kau akan menemukannya.”

Luna tersenyum. “Aku akan menggambar sketsa wajahmu dan meninggalkannya di toko buku bekas. Kalau kau melihatnya, itu aku.”

Mereka saling bertukar benda kecil, seperti pesan rahasia antar dimensi yang hanya bisa diterima di dunia nyata.

---

Luna meninggalkan sketsa wajah Wolfgang di toko buku kecil yang sering dia kunjungi. Pemilik toko hanya tersenyum aneh, tak paham dari mana asalnya.

Wolfgang menaruh puisi dengan kalimat samar tentang ‘wanita di taman kabut’ di antara buku-buku usang di perpustakaan kampus.

Luna juga menulis sebuah catatan di belakang lukisan kecil bertuliskan: “Jika kau menemukanku, jangan ragu.”

Sedikit demi sedikit, tanda-tanda itu menjadi jembatan yang menghubungkan dua dunia mereka yang terpisah waktu.

Mereka percaya, suatu saat jembatan itu akan mengantar mereka pada pertemuan yang tak terlupakan.

Hari demi hari, taman kabut di mimpi mereka perlahan berubah. Warna ungu keemasan memudar menjadi abu-abu, danau yang berkilauan mulai surut hingga hanya tersisa tanah retak dan debu. Angin yang dulu berbisik lembut berubah menjadi hembusan dingin yang menusuk tulang.

Luna mulai merasakan kegelisahan yang aneh saat membuka lukisan-lukisannya. Sketsa Wolfgang tampak seperti kabur, seolah-olah warnanya mulai hilang dari kanvas dan ingatannya. Di dunia nyata, dia menemukan sebuah buku harian tua di toko loak yang tak sengaja dibelinya. Di halaman-halaman pudar itu, ada tulisan tangan yang mirip dengan catatan Wolfgang. Puisi tentang seorang perempuan di taman kabut.

Sementara itu, Wolfgang menemukan sebuah buku di perpustakaan kampus yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Di dalamnya ada catatan tentang peristiwa yang belum pernah terjadi di masanya, tanggal, nama, dan lukisan yang persis menggambarkan Luna. Dia membaca dengan tak percaya, merasakan jantungnya berdegup keras.

Tiba-tiba, beberapa halaman dalam jurnalnya menghilang tanpa jejak. Waktu di sekelilingnya terasa aneh. Jam berdetak tidak beraturan, hari-hari berulang, dan realita seperti bergeser.

Keduanya semakin sadar bahwa usaha mereka untuk bertemu justru membuat dunia mereka runtuh perlahan, dan ada kekuatan tak terlihat yang menentang pertemuan mereka.

Di sebuah sudut taman kabut yang kini berubah menjadi padang tandus berdebu, Luna dan Wolfgang bertemu lagi untuk terakhir kalinya. Mereka saling menatap dengan penuh harap dan duka, mengetahui bahwa waktu dan dunia telah memisahkan mereka lebih dalam dari yang bisa mereka bayangkan.

“Aku tahu siapa engkau sekarang,” ujar Luna pelan, suaranya bergetar. “Aku… kau pernah mati sebelum aku lahir.”

Wolfgang menatapnya, wajahnya tersenyum getir. “Dan… kau belum ada di masa hidupku. Aku hanya mencintaimu dalam mimpi.”

Mereka berpelukan erat, merasakan kehangatan yang tak pernah ada di dunia nyata. Saat itu juga, kabut yang menyelimuti mereka mulai menghilang. Suara angin berganti menjadi gemuruh yang menakutkan, dan dunia di sekitar mereka runtuh seperti kaca pecah.

Luna terbangun di sebuah rumah tua yang asing, dikelilingi oleh dinding yang retak dan lukisan yang pudar. Dia menatap kosong, merasakan kehampaan yang mendalam.

Sementara itu, Wolfgang terbangun di kamar kecilnya. Semua catatan dan jurnal mimpi yang selama ini dia tulis telah hilang, kecuali sebuah lukisan samar seorang perempuan dengan tatapan yang menyimpan rindu.

Mereka terpisah kembali, dengan hanya kenangan samar dan rasa kehilangan yang abadi. Selamanya.

*****

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)