Masukan nama pengguna
Seorang kurir berdiri dengan helm setengah terbuka.
“Mas Dimas, paketnya.”
Dimas menerima paket itu. Ringan. Tak ada nama pengirim.
Dia buka perlahan. Isinya sebuah alarm kecil dan secarik kertas.
‘Kebosanan adalah jeda sebelum makna ditemukan. Jangan buru-buru menutup jeda itu.’
Dimas menatap alarm itu. Tak ada tombol. Tak bisa diatur. Tapi jamnya berjalan.
***
Pagi yang biasa. Sinar matahari menyusup malu-malu lewat celah tirai jendela. Dimas duduk di lantai ruang tamu dengan punggung bersandar ke sofa, memandangi serbet kotor di atas meja. Di dapur, piring dan gelas kotor menumpuk, sebagian sudah mulai berjamur. Ember cucian di kamar mandi penuh seperti perut yang tak bisa mencerna lagi. Dan jam dinding terus berdetak, menghitung waktu yang tak bergerak ke mana-mana.
Dimas menghela napas panjang. Dia tahu ada banyak hal yang bisa dilakukan, bahkan harusnya dilakukan. Tapi tak satu pun dari semuanya terasa seperti sesuatu yang layak dilakukan. “Kalau aku mencuci piring, lalu apa? Pakaian? Lalu apa? Nonton film? Baca buku? Lalu apa?” pikirnya. Semua jalan seperti buntu.
Dia ambil ponsel. Scrolling. Tidak ada notifikasi berarti. Tidak ada pesan baru. Dunia digital pun sedang tidak menarik baginya.
“Ngopi, deh,” gumamnya.
Dia bangkit melangkah malas menuju dapur. Tapi begitu melihat tumpukan cangkir kotor langkahnya pun surut. Rencana ngopi pun batal, dikalahkan oleh jejak-jejak kemalasan yang ditinggalkan hari-hari sebelumnya.
Dia kembali ke ruang tamu, menjatuhkan diri di sofa. Terlentang, diam, memandangi langit-langit rumah seperti anak kecil yang menunggu hujan turun. Ada bercak kecil di pojok langit-langit, bentuknya mirip peta. Kadang dia membayangkan itu adalah negeri tak bernama. Hari ini, negeri itu pun kehilangan pesonanya.
“Kenapa aku sepi?” tanyanya dalam benak.
Sebuah dialog batin muncul, samar tapi keras:
“Karena kau tidak melakukan apa pun.”
“Tapi aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.”
“Karena kau tidak melakukan apa pun.”
Lingkaran itu menutup dirinya. Spiral. Semakin dipikirkan, semakin dalam dia terjerembab.
Ketukan pintu memutus renungannya.
Tok. Tok. Tok.
Dimas diam. Siapa juga yang datang pagi-pagi begini? Ketukan itu datang lagi. Tiga kali, pelan tapi konsisten.
Dia bangkit, sedikit ragu.
Membuka pintu.
Seorang kurir berdiri di ambang, helmnya setengah terbuka. Wajahnya tidak asing, tapi juga tak bisa diingat.
“Mas Dimas?” tanyanya.
Dimas mengangguk.
“Ini paketnya.”
Dia menerima paket kecil itu. Tanpa label pengirim. Ringan seperti kotak perhiasan. Kurir itu tersenyum sekilas, lalu pergi begitu saja. Tak sempat Dimas mengucapkan terima kasih.
Dia menutup pintu. Sambil duduk di sofa dia embuka paketnya. Di dalamnya, ada alarm kecil tanpa tombol dan secarik kertas dengan tulisan tangan.
“Kebosanan adalah jeda sebelum makna ditemukan. Jangan buru-buru menutup jeda itu.”
Jam pada alarm itu berjalan, tetapi tak bisa diatur. Waktu yang berjalan tanpa campur tangan manusia.
Hari itu, Dimas tak mencuci piring. Dia hanya duduk dan menatap alarm kecil itu. Dia merasa diawasi. Bukan oleh kamera, bukan pula oleh manusia, tapi oleh waktu itu sendiri. Benda itu berdetak tanpa suara dan tanpa getar. Hanya saja detiknya terasa merasuk ke dalam kepalanya.
Malamnya, Dimas tertidur di sofa. Tanpa niat, hanya tertutup mata. Dalam tidur itu dia bermimpi berada di lantai putih polos, tak berdinding, tapi juga tak berbatas. Di hadapannya berdiri seorang pria tua berjubah hitam, memegang alarm yang sama.
“Selamat datang di Zona Interval,” kata pria itu.
“Di mana ini?”
“Di antara waktu yang kamu tolak dan waktu yang kamu lewatkan.”
Dimas memandang sekeliling. Tak ada apa-apa, tapi dia bisa merasakan jutaan orang berdiri tak jauh darinya, semua dalam posisi diam, menunduk, seolah sedang menunggu giliran bicara.
“Apa alarm ini?”
“Itu kunci,” jawab si pria. “Setiap manusia mendapatkannya saat waktunya tiba. Tapi tak semua bisa mendengar dentingnya.”
“Aku tidak mendengarnya.”
“Kau sudah cukup bosan untuk mendengar diamnya.”
Seketika Dimas terbangun. Keringat dingin membasahi wajah hingga dadanya. Napasnya tersengal pendek. Dia menoleh pada alarm yang menyala. Bukan lampu, bukan bunyi, tapi semacam cahaya samar seperti embun pagi. Di permukaannya terukir angka baru.
`00:00:01`
Satu detik. Seolah-olah waktu baru saja dimulai.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Notifikasi baru. Aplikasi aneh muncul. Dia tak ingat pernah mengunduhnya. Ikonnya berbentuk jam pasir terbalik. Namanya "Interval"
Dimas menyentuh aplikasi itu. Dalam sekejap layar ponsel berubah menjadi hitam. Lalu muncul satu pertanyaan "Apakah kamu siap menghadapi detik yang kamu lewatkan?”
Tanpa sadar dia menekan YA.
Layar berubah. Tampilan seperti peta otak muncul. Puluhan titik menyala. Satu per satu memperlihatkan adegan dari hidupnya. Semua momen ketika dia menunda, membatalkan, atau mengabaikan.
Ketika dia hampir menelepon seseorang yang sudah lama menunggunya, tapi memilih scroll Instagram.
Ketika dia duduk di halte dan seorang perempuan di sebelahnya ingin bicara, tapi dia malah menancapkan earphone.
Ketika dia bisa bilang “maaf” tapi memilih “nanti saja.”
Dimas gemetar.
Setiap pilihan kecil itu membentuk pola. Pola itu membentuk peta. Dan peta itu ternyata bukan peta hidupnya.
Tapi, peta sebuah pintu.
Alarm berdetik. Satu kali.
Tiba-tiba seluruh ruangan bergetar. Dinding rumahnya, lantai, plafon, jendela, semuanya berdenyut seperti bernapas. Dari balik retakan kecil di dinding muncul celah cahaya.
Seseorang, atau sesuatu, mengetuk dari sisi lain celah itu.
Tok. Tok. Tok.
Suara yang sama seperti pagi tadi.
Tapi kali ini, bukan kurir.
Dan kali ini Dimas berdiri.
Celah itu terbuka perlahan, bukan seperti pintu, tapi seperti luka yang merobek ruang. Dari dalamnya menguar cahaya yang tak menyilaukan, tapi cukup untuk memperlihatkan bayangan sesosok makhluk tinggi berjubah kelabu, wajahnya tertutup topeng hitam mengkilap tanpa lubang mata.
Dimas hanya bisa berdiri. Tubuhnya gemetar, tapi tak bisa bergerak menjauh. Alarm di tangannya bergetar pelan, menuntunnya mendekat seperti kompas menuju kutub.
Makhluk itu mengangguk pelan. Seolah berkata sudah waktunya.
Dimas melangkah masuk.
Dia tiba di lorong tak berujung. Dindingnya terdiri dari layar-layar kecil, berjuta-juta jumlahnya, masing-masing memutar adegan yang berbeda. Semua tampak seperti kejadian biasa, seseorang duduk melamun, seseorang berdiri di antrian lalu membatalkan niat, seseorang ingin bertanya arah tapi membatalkannya karena malu. Semua adalah momen-momen ketika seseorang hampir melakukan sesuatu… tapi tidak.
Di tengah lorong berdiri meja panjang, di belakangnya para Penjaga Interval, makhluk berjubah hitam kelam dengan pena bercahaya biru. Mereka menulis tanpa henti di buku catatan besar, menyalin kejadian-kejadian dari layar ke halaman. Tiap huruf berdenyut seperti urat hidup.
Salah satu penjaga menghampiri Dimas. Dia berbicara tanpa suara, langsung ke dalam pikirannya.
“Setiap manusia diberi waktu. Tapi tidak semua manusia tahu bahwa waktu bisa dibuang, dan yang dibuang kami jaga.”
"Apa artinya ini?” tanya Dimas.
“Kau telah memasuki ‘Zona Interval’. Tempat ini adalah museum detik-detik tak terpakai. Semacam purgatorium bagi tindakan yang tak pernah jadi.”
Dimas menatap ke sebuah layar. Di sana dia melihat dirinya sendiri, lima tahun lalu, duduk di bangku taman. Di sebelahnya duduk seorang lelaki tua yang ingin mengajaknya bicara. Tapi Dimas hanya menunduk, bermain HP. Layar itu berhenti tepat ketika lelaki tua itu berdiri, berjalan pergi, dan menghilang.
"Itu… Ayah…” bisik Dimas.
Penjaga hanya menunduk.
Mereka terus berjalan. Hingga mereka tiba di aula besar, dan di tengah aula ada jam raksasa. Tapi bukan jam biasa. Jarumnya tidak menunjukkan pukul, melainkan… NAMA.
Nama-nama manusia.
Nama-nama orang yang waktunya nyaris habis tapi belum sadar.
Dan nama Dimas ada di urutan berikutnya.
"Tunggu… apa maksudnya ini?”
Penjaga itu berhenti menatap Dimas.
"Kau diberi kesempatan karena kau mendengarkan diamnya waktu. Itu langka. Tapi kau harus memilih, terus di sini dan menjadi Penjaga… atau kembali ke dunia dan menebus detik-detik yang pernah kau buang.”
Dimas menggenggam alarm di tangannya. Detiknya berhenti.
Dia teringat piring kotor. Cucian. Wajah ibunya. Pesan yang belum dikirim. Pekerjaan yang selalu ditunda. Hidup yang dia gantung terlalu lama.
Dia menatap Penjaga itu dan berkata pelan, “Aku… mau kembali.”
Penjaga mengangguk.
Lorong itu berputar. Dunia sekitar mulai retak dan remuk. Cahaya mencuat dari segala arah.
Dimas terbangun. Masih di sofa. Alarm di tangannya meledak menjadi abu. Tapi suara detiknya masih ada di telinga.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia berdiri. Benar-benar berdiri.
Dia mencuci piring.
Dia mencuci dan menjemur baju.
Dia menelepon ibunya.
Dia membuka laptop, mulai menulis novelnya yang tertunda.
Dan entah bagaimana di layar monitor muncul tampilan "museum waktu yang terbuang", salah satu adegan berhenti. Nama Dimas pelan-pelan menghilang dari jam raksasa.
Dia telah memilih. Memilih untuk tidak menunda.
Selesai