Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,325
Pussy dan Fuso
Drama


Langit kampung sore itu memerah seperti arang yang tersisa di tungku dapur. Matahari turun perlahan, menyentuh ujung padi yang bergoyang diterpa angin. Di antara deretan rumah panggung sederhana yang berdiri di atas tiang kayu lapuk, terdapat sebuah rumah yang catnya telah mengelupas dan gentengnya pucat termakan hujan dan tahun.

Di rumah itu, tinggal seorang pemuda kampung bernama Rimba, dan seekor kucing kampung yang sudah bertahun-tahun menemaninya. Kucing itu berwarna abu-abu kehitaman dengan belang tak beraturan, ekornya tegak dan berbadan tegap. Rimba menamainya Fuso.

“Fuso, ayo makan dulu,” panggil Rimba dari dapur kecil yang hanya dipisahkan selembar tirai dari ruang utama.

Fuso menyusup keluar dari kolong ranjang, melenguh pelan, lalu melompat ke atas bangku pendek di dekat dapur. Di sana, seperti biasa, ada piring seng berisi nasi dingin sisa pagi, ditaburi teri goreng dan kepala bandeng goreng. Tak ada ayam suwir, tak ada kaldu lezat, tapi bagi Fuso ini adalah jamuan surga.

Rimba duduk bersila di lantai, mengunyah perlahan. Tubuhnya kekar dan kulitnya gelap karena matahari. Tangan kasarnya terlihat lelah, tapi sorot matanya selalu hangat jika memandang Fuso.

“Besok aku kerja bantu bangun kandang kambing di rumah Pak Kades,” ucap Rimba sambil menyeruput teh manis dari gelas retak. “Dapet upah seratus dua puluh ribu, lumayan buat beli ikan pindang”

Fuso mengeluarkan suara pendek, seakan menjawab, tapi diam-diam dalam hatinya ia tak peduli soal ikan. Ia lebih senang mendengar suara Rimba, walau kadang hanya gumaman atau nyanyian sumbang di pagi hari.

Malam turun perlahan. Angin dari sawah membawa aroma tanah basah dan suara jangkrik. Rimba telentang tiduran. Bolang melingkar di dekat kaki Rimba, tubuhnya menyatu dalam kehangatan manusia yang mencintainya.

“Kalau aku kaya, Fus… aku bangunin kamu rumah yang ada bantal empuk. Ada piring porselen. Makanannya tiap hari ikan bakar,” gumam Rimba setengah mengantuk. “Tapi kamu nggak perlu itu semua, ya?”

Fuso membuka matanya setengah, lalu mengeong pelan.

“Haha… iya, iya. Kamu cukupin aku aja, ya?”

Dan malam pun menutup mereka dalam keheningan yang hangat. Di luar rumah, bulan sabit menggantung miring seperti senyum kecut nasib. Tapi di dalam rumah itu, ada cinta yang tak butuh kata, hanya butuh keberadaan.

Esok hari, hidup akan kembali keras. Rimba akan kembali bekerja dengan tangan kotor, dan Fuso akan mengais sisa di jalanan.

Tak ada yang tahu, bahwa tak jauh dari sana, di tengah kampung, akan datang dunia yang berbeda. Dunia dengan pagar besi, mobil mewah, dan bulu putih yang semerbak. Dunia yang akan mengguncang hidup sederhana Fuso, dan menaruh hatinya di tempat yang tak bisa ia gapai.

---

Pagi itu, langit kampung tak secerah biasanya. Awan bergulung seperti kain putih yang digulung buru-buru oleh tangan langit. Tapi suasana kampung justru ramai. Ibu-ibu berbisik di teras, anak-anak berlarian sambil menunjuk-nunjuk ke ujung jalan yang kini berdebu oleh deru mobil.

“Mobilnya bagus, kayak yang di film!” teriak seorang bocah, matanya membelalak penuh kagum.

Sebuah SUV putih mengilat berhenti di depan rumah besar yang baru jadi dibangun tiga bulan lalu. Rumah itu berdiri mewah di tengah sawah yang dibeli dari lima keluarga kampung. Dindingnya putih bersih seperti susu, jendelanya tinggi menjulang, dan pagarnya terbuat dari besi tempa berukir bunga.

Dari mobil itu turun seorang wanita muda, Nadia, dengan kacamata hitam besar dan pakaian serba putih. Ia tak berkata banyak, hanya mengangguk pada sopir dan berjalan masuk ke dalam rumah sambil membawa carrier khusus yang berlubang di sisinya.

Dan dari dalam carrier itu… keluarlah seekor kucing yang langsung menyita perhatian siapa pun yang memandang.

Pussy.

Seekor kucing Persia berbulu putih salju, panjang, halus, dan tampak selalu bersih seperti baru keluar dari salon hewan mahal. Matanya biru terang seperti danau yang tenang di pagi hari. Langkahnya lembut, seolah setiap sentuhan kaki kecilnya di lantai adalah irama dari tarian klasik yang tak sembarang mata boleh lihat.

Para tetangga tak bisa menahan rasa kagum.

“Lihat, kucingnya cantik. Bulunya aja lebih lembut dari kapas,” celetuk Bu Imah dengan nada separuh bercanda, separuh jengkel.

“Denger-denger harganya belasan juta… itu kucing, lho. Bukan sepeda motor.”

Sementara itu di balik jendela Rumah, Pussy berdiri di atas kursi empuk, memandangi dunia luar yang tak ia kenal. Matanya tak bisa menyembunyikan rasa asing itu. Dunia yang sekarang ia lihat tak seperti di kota tempat ia dibesarkan. Ada suara ayam. Ada anak kecil bertelanjang dada. Ada ibu-ibu menjemur pakaian. Ada aroma daun jati dan kayu terbakar.

Tapi yang paling membuatnya penasaran adalah suara-suara kehidupan. Kehidupan yang tampak bebas.

Pussy menatap ke luar lebih lama. Matanya membelalak melihat seekor kucing kampung melompat dari pagar ke genteng rumah sebelah. Berbulu kusut, tapi bergerak lincah. Ia tampak tertawa bersama teman-teman sesama kucing, atau setidaknya seperti itu yang tampak dari jauh. Dunia luar tampak seperti dunia yang penuh kemungkinan, penuh jejak tanah dan aroma ikan sungai yang tak pernah Pussy cium di dalam rumah kaca ini.

“Pussy, ke sini, sayang,” panggil Nadia dari dalam, suaranya lembut tapi dingin. Seperti teh susu tanpa gula.

Pussy turun perlahan dari kursi, menghampiri wanita itu. Nadia menyambutnya dengan senyum tipis, lalu menggendongnya sambil menatap ponsel. Di dalam rumah, semuanya rapi dan harum. Mangkuk makan Pussy terbuat dari keramik bermotif, ada dispenser otomatis untuk air, dan tempat tidur khusus berbentuk igloo.

Tapi tak ada suara jangkrik. Tak ada angin dari sawah. Tak ada aroma nasi dari dapur kayu. Tak ada siapa pun selain pelayan yang datang pagi dan pergi sebelum senja.

Hari-hari Pussy diisi dengan duduk di balik kaca, menonton kehidupan seperti menonton pertunjukan. Tak bisa ikut, hanya bisa melihat. Di balik jeruji besi halus, yang tak tampak seperti jeruji tapi membuat langkahnya terhenti begitu ia mencoba melompat keluar. Malam-malamnya sunyi.

Kadang ia merindukan tumpukan baju di mesin cuci tempat ia biasa tidur di apartemen lama. Tapi di sini, tak ada suara mesin, tak ada debu, tak ada celoteh pengantar makanan. Hanya lantai yang selalu mengilap dan waktu yang selalu berjalan pelan.

Pussy tak tahu apa yang ia rindukan. Tapi hatinya seperti ditarik keluar setiap kali ia melihat langit jingga dari sela-sela gorden yang jarang terbuka.

Sore itu, untuk pertama kalinya, Pussy tak sengaja mendorong jendela kecil di loteng rumah. Ternyata tidak terkunci. Angin menerobos masuk, membelai bulunya, dan membawa aroma asing yang segar, bau kayu, asap tipis, dan suara kucing mengeong dari kejauhan.

Pussy memanjat pelan ke ambang jendela, menatap dunia di luar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dunia itu tampak liar, kotor, berantakan, dan justru karena itulah, ia merasa ingin tahu lebih jauh.

Dari balik genteng rumah tetangga, di kejauhan sepasang mata cokelat mengawasinya dalam diam.

---

Senja hari itu datang lebih cepat, seolah langit enggan menunggu lama untuk menurunkan malam. Udara lembap sehabis hujan siang tadi masih mengambang di antara genteng-genteng kampung. Warna oranye memancar di balik awan, menimpa perkampungan seperti selimut lembut yang menenangkan.

Di atas salah satu rumah, Fuso menyusuri genteng dengan lincah. Ia baru saja selesai "berburu", atau lebih tepatnya mencuri sisa ikan dari piring yang ditinggal terbuka di warung Mak Ningsih. Perutnya sudah tidak lapar lagi. Tapi entah mengapa sore ini, kakinya menuntunnya naik lebih tinggi, lebih jauh, ke arah rumah besar yang baru.

Ia pernah mendekat ke rumah itu sebelumnya, tapi hanya sampai pagar. Hari ini, entah ada dorongan apa ia melangkah lebih jauh. Melompati tembok tetangga, menyusuri atap yang lebih bersih dari biasanya, lalu sampai di sebuah jendela loteng yang setengah terbuka.

Dan di sana…

Ia melihat seekor kucing putih. Duduk diam seperti boneka tapi hidup. Sangat hidup. Mata birunya menatap ke arah langit yang memerah. Angin sore menerbangkan sedikit bulu halusnya, membuatnya tampak seperti mimpi.

Fuso menghentikan langkah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Lehernya ditegakkan. Matanya memandang tak berkesip. Ia ingin mendekat, tapi tubuhnya kotor. Bulunya lengket lumpur dan jelaga. Kakinya bau minyak bekas ikan.

"Aku mah apa atuh?" Benaknya.

Namun saat kucing putih itu menoleh ke arahnya… dunia seakan meluruh.

Untuk sesaat, keduanya hanya saling menatap. Waktu menjadi pelan. Angin mendesah lirih seperti suara anak kecil tertidur. Tak ada suara selain detak jantung masing-masing.

Kucing putih itu menyipitkan mata, lalu mengeong “Kamu dari luar pagar?”

Fuso terdiam, lalu mengangguk sambil mengeong. “Iya. Aku… biasa di atas genteng.”

“Genteng?” tanya kucing itu, suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. “Apakah di luar sana… hangat?”

Fuso berpaling ke langit. “Kadang panas, kadang hujan, kadang menyakitkan.”

Kucing putih itu, Pussy, turun dari kusen dan duduk lebih dekat ke jendela. “Aku selalu melihat kalian dari dalam. Kalian terlihat bebas…dan seru.”

“Kami juga kelaparan,” Fuso mengeong kecut. “Tapi kami bisa berlari. Lompat. Bergumul. Terperosok. Kamu?”

Pussy diam. Pandangannya melayang ke langit yang mulai gelap. “Aku punya piring cantik. Tempat tidur hangat. Dan sepi.”

Fuso menatapnya lebih dalam. Untuk pertama kalinya ia melihat kucing yang begitu cantik, namun sorot matanya seperti milik Rimba saat hujan datang dan tak ada yang bisa ia makan.

“Aku Fuso,” ia mengeong. “Bukan nama yang indah. Tapi itu nama keren pemberian dari manusia yang mencintaiku.”

Pussy tersenyum. Senyumnya halus, nyaris tak tampak. “Aku Pussy. Nama pemberian manusia yang jarang pulang.”

Hening.

Fuso melangkah lebih dekat ke jendela. Hanya sejengkal dari wajah Pussy. Angin membawa aroma debu dari bulunya, bercampur dengan wangi lavender dari tubuh Pussy.

“Bolehkah aku datang lagi besok?” Fuso mengeong lirih.

Pussy menatapnya lama, seolah ingin menyelami siapa sebenarnya makhluk belang dekil ini. Lalu ia mengeong singkat.

“Datanglah. Tapi pelan-pelan.”

Fuso mengeong sambil melirik. “Aku sudah biasa menyelinap.”

Pussy mengeong kecil. Suaranya seperti denting sendok di cangkir keramik.

Dua dunia yang tak seharusnya bersentuhan, kini duduk bersebelahan, di ambang jendela rumah megah. Matahari jatuh perlahan menyisakan semburat emas yang membungkus tubuh mereka.

Di bawah sana, kehidupan berjalan seperti biasa. Rimba sedang merapikan halaman. Nadia masih sibuk dengan panggilan video dari laptopnya. Tapi di tempat sunyi itu, dua ekor kucing berbagi senja bukan dengan kata-kata, melainkan dengan keheningan yang saling mengerti.

Hari-hari setelah senja pertama itu menjadi semacam perayaan rahasia bagi Fuso dan Pussy Setiap sore, setelah Rimba selesai bekerja dan mencuci tangan di belakang rumah, Fuso akan berpura-pura tidur di dekat karung goni. Tapi begitu suara sandal Rimba menjauh, ia melompat naik ke genteng, menyusuri jalur biasa, lalu berhenti di jendela kecil di loteng rumah Nadia.

Dan di sana selalu ada Pussy. Menunggu sambil duduk manis, kadang menjilati bulu di kakinya sambil melirik ke arah luar, seolah berharap dunia akan datang mengetuk.

Namun dunia itu tidak pernah mengetuk. Dunia itu melompati pagar, berbulu belang dan berjalan pelan.

Di atas jendela itu, mereka bercerita. Tentang hari-hari. Tentang manusia mereka. Tentang makanan, tentang bintang, tentang hujan dan mimpi.

“Aku pernah ke pasar,” Fuso mengeong suatu sore sambil membersihkan sisa karak yang menempel di kumisnya. “Tempatnya ramai, bau ikan dan ayam. Tapi juga penuh ancaman. Pernah aku hampir digebuk cuma karena mencuri kepala ikan.”

Pussy mendengarkan dengan penuh minat. “Aku bahkan tak tahu bau pasar itu seperti apa. Tapi… aku membayangkan hangat. Riuh. Hidup.”

“Kadang menyebalkan,” sahut Fuso. “Tapi tak pernah sepi.”

Pussy tersenyum, namun di balik senyum itu ada sesuatu yang mulai terasa aneh, rasa rindu pada hal-hal yang belum pernah ia miliki.

Namun, seperti semua hal indah yang tak pernah bertahan lama, kebersamaan itu mulai retak.

Sore itu, Nadia masuk ke loteng. Ia jarang ke sana. Tapi hari itu, entah karena angin atau firasat, ia menaiki tangga kayu sambil membawa secangkir kopi. Dan ia melihat sesuatu yang membuat wajahnya mengeras. Bulu putih Pussy kotor. Ada bekas lumpur di kakinya. Sedikit debu di ekor. Tak seperti biasanya.

“Pussy?” Suaranya pelan namun penuh penekanan. “Apa kamu… keluar rumah?”

Pussy berdiri kaku, tak mengerti bahasa manusia secara penuh, tapi ia tahu dari nada suaranya ia sedang dihakimi.

Nadia memeriksa jendela dan menyadari bahwa lubangnya cukup besar untuk seekor kucing menyelinap. Ia langsung memanggil pelayan. “Tutup ini dengan kawat. Jangan sampai dia keluar lagi.”

Pussy menatap jendela yang perlahan ditutupi jeruji besi halus. Pandangannya kosong. Seperti anak yang baru saja kehilangan pintu menuju taman rahasianya.

Senja Fuso kali ini datang tanpa Pussy. Ia mondar-mandir di atap, bahkan sempat menengok ke jendela, tapi tak ada wajah putih yang menyambut. Tak ada mata biru. Tak ada senyum tipis yang menenangkan.

Ia menunggu sampai langit gelap dan kunang-kunang keluar. Tapi Pussy tak datang.

Malam itu, ia kembali ke rumah dengan langkah lesu.

“Kemana saja kamu tadi?” tanya Rimba, duduk di lantai sambil membersihkan luka kecil di kakinya. “Kamu makin sering hilang, Fus.”

Fuso tak menjawab, tentu saja. Ia hanya duduk di pojok, menatap kosong pada kursi meja, seakan mencoba menerjemahkan rasa rindu ke dalam bahasa yang tak bisa keluar lewat mulutnya.

“Kamu bukan kucing orang kaya, Fus,” gumam Rimba, nyaris seperti menegur dirinya sendiri. “Kamu cuma kucing kampung. Seperti aku… orang kampung.”

Ada keheningan panjang di antara mereka.

Sementara di rumah megah, Pussy mendekam di sudut ruangan. Ia menolak makan malam. Makanan basah impor di piring porselen itu tak menarik sama sekali malam ini. Ia mencoba menatap langit lewat celah ventilasi, tapi tak ada apa-apa selain langit kosong.

Ia memejamkan mata, membayangkan Fuso duduk di atap. Mata cokelatnya yang redup tapi hangat. Ekor belangnya yang berkibas saat bercerita. Suaranya yang berat tapi jujur. Dunia yang terasa nyata.

Dan ia mulai menangis.

Bukan karena luka. Tapi karena kesadaran yang pelan-pelan mencuat bahwa mereka hidup di dunia yang tak sama. Dunia yang dipisahkan oleh pagar besi, jendela, dan status manusia yang memelihara mereka.

Ia cantik, tapi dikurung. Ia dicintai, tapi tak pernah benar-benar disentuh jiwanya. Sedangkan Fuso bebas, kotor, dan miskin. Tapi ceria.

Dan semakin ia menyadari itu, semakin ia sadar bahwa hatinya mulai menginginkan sesuatu yang tak bisa dimiliki.

Kebebasan, dan...

---

Hari itu, awan menggulung seperti amarah yang sedang menahan tangis. Langit kelabu menggantung di atas kampung, menggiring angin dingin yang berembus dari barat. Daun pisang di kebun belakang mulai mengayun tak sabar, seperti tahu bahwa sesuatu akan jatuh dari langit, sesuatu yang tak bisa dihindari.

Dan benar saja, menjelang sore, hujan turun. Pelan-pelan lalu deras. Membasahi genteng, pohon jambu, bahkan burung-burung pun terpaksa menyusup ke dalam rerimbunan dedaunan, mencari perlindungan.

Di bawah atap rumah Rimba, Fuso duduk meringkuk. Tubuhnya gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena gelisah.

Sudah lima hari Pussy tak muncul. Lima sore ia menunggu di atap, dan lima kali juga ia pulang dengan perasaan hampa. Tak ada putih yang menyembul di balik jendela loteng. Tak ada mata biru. Tak ada suara bisikan halus yang membuat dunia terasa lebih ringan.

Rimba yang menyadari perubahan tingkah laku Fuso hanya bisa menghela napas panjang.

“Kamu masih mikirin dia, ya?”

Fuso melirik tapi tak bereaksi. Ia bahkan tak menjilat bulunya sendiri malam itu. Nafsu makannya turun. Ia menjadi pendiam, dan sering memandangi langit, seakan berharap angin membawa kabar baik.

Hujan semakin deras. Petir mengguntur di kejauhan. Dan entah apa yang merasukinya, Fuso tiba-tiba bangkit. Ia menatap Rimba sejenak lalu berlari keluar rumah.

“Fuso! Hujan, Fus! Kamu mau kemana?” seru Rimba dari ambang pintu.

Tapi Fuso tak peduli. Kakinya menjejak tanah becek, tubuhnya diterpa hujan, dan matanya tertuju hanya pada satu titik, rumah megah di tengah kampung. Tempat di mana jendelanya pernah terbuka. Tempat di mana ia pernah merasa dunia yang berbeda.

Air hujan mengalir di bulunya, membuat tubuhnya berat. Tapi ia tetap melompat dari pagar ke pagar, menyeberangi selokan, dan akhirnya sampai di atas atap. Angin menerjang tubuh kurusnya, tapi ia bertahan. Napasnya terengah, namun matanya bersinar. Ada nyala yang belum padam.

Ia mendekati jendela loteng. Masih tertutup. Jeruji besi sudah dipasang. Tapi dari dalam, Pussy sudah berdiri.

Ia menunggu.

Mereka bertatapan lagi, untuk pertama kalinya setelah lima hari yang seperti seumur hidup. Mata mereka berkaca-kaca, oleh hujan dan oleh hal-hal yang tak bisa diucapkan.

“Kenapa kamu datang?” Pussy mengeong lirih dari balik jeruji.

“Karena aku harus tahu… kamu masih di sini atau tidak.”

Pussy menunduk. “Aku selalu di sini. Tapi aku… terkurung.”

Fuso ikut menunduk. “Aku tahu.”

Mereka terdiam. Hanya hujan yang bicara, mengetuk-ngetuk atap seperti ingin menyampaikan pesan yang tak dimengerti siapa pun.

“Aku takut,” lirih Pussy. “Takut kalau kamu tak datang lagi. Takut kalau aku harus melupakanmu. Tapi yang paling aku takutkan…”

“…aku takut mencintaimu lebih dari seharusnya.”

Fuso menyipitkan mata. Jantungnya berdebar. Hujan tak mampu menyamarkan suara hatinya kini.

“Aku juga. Aku takut. Tapi bukan karena mencintaimu. Aku takut karena aku tahu… aku tidak bisa bersamamu.”

Air mata Pussy tak terbendung lagi. Tangis yang sunyi, tak terdengar oleh manusia. Tapi langit tahu. Karena saat itu juga, petir menyambar jauh di ujung sawah.

“Aku kucing kampung,” lanjut Fuso “Aku tidur di karung goni. Aku makan dari sisa di lantai. Aku bukan untuk kamu.”

Pussy menggeleng. “Tapi kamu membuatku merasa hidup. Dan hangat. Sesuatu yang bahkan kasur mahalku tidak pernah bisa lakukan.”

Jeruji itu memisahkan mereka, tapi rasa yang lahir tak bisa dipenjara. Fuso mendekat, menempelkan kepalanya ke besi dingin. Pussy membalas, menempelkan wajahnya dari sisi sebaliknya.

Dan untuk sesaat… dunia runtuh.

Tak ada rumah megah. Tak ada pagar. Tak ada hujan. Hanya ada dua makhluk yang saling mencintai, dalam diam, dalam rasa, dalam ketidakmungkinan yang pilu.

Hingga dari dalam rumah, suara Nadia terdengar, memanggil nama Pussy.

Fuso segera mundur. Napasnya tersengal. Sorot matanya berubah. Ia tahu, ini adalah perpisahan yang tak pernah sempat dijanjikan.

“Pergilah, Fuso,” lirih Pussy. “Kamu harus pergi. Aku… akan selalu mengingatmu. Tapi jangan datang lagi. Aku tak sanggup melihatmu basah dan menggigil begini hanya untuk aku yang tak bisa kamu miliki.”

Fuso tegakkan leher dan menatapnya lama. Sangat lama. Lalu menunduk.

Ia melangkah mundur, satu, dua, tiga… lalu menghilang di balik atap yang dingin.

Pussy berdiri di balik jeruji, tubuhnya gemetar. Ia mengeong pelan, memanggil nama yang tak berani ia ucapkan. Tapi yang menggema hanya suara hujan yang semakin deras.

Dan malam pun datang.

Malam yang menyimpan segala kata yang tak pernah terucap.

---

Pagi itu sunyi. Bahkan burung pipit pun enggan bernyanyi. Hujan semalam menyisakan embun di setiap daun pisang, dan bau tanah basah masih mengambang di udara. Kampung bangun perlahan seperti tubuh yang kelelahan habis menangis semalaman.

Di bawah kolong meja Fuso meringkuk. Tubuhnya lemah. Nafasnya pendek-pendek. Hujan semalam telah menyusup ke dalam tulangnya. Bulu-bulunya lembap, menggumpal dan kusut. Tapi lebih dari tubuhnya, yang remuk adalah hatinya.

Ia tidak makan semalam. Tidak menjilat bulu. Tidak mengeong. Hanya diam, memejamkan mata, membiarkan dunia berlalu.

Rimba duduk di sampingnya, mengelus kepala Fuso pelan. “Kamu kenapa, kamu biasanya kuat.”

Tak ada jawaban. Hanya kelopak mata yang terbuka pelan.

“Kalau kamu bisa ngomong… aku yakin kamu bakal cerita sesuatu,” lanjut Rimba dengan suara serak. “Tapi aku nggak ngerti bahasa kucing, Fus. Jadi aku cuma bisa menebak.”

Rimba membuka kaleng sarden, satu-satunya kaleng yang dia simpan untuk hari istimewa. Dia tuang ke piring seng. Aroma sarden yang amis menggoda udara, tapi Fuso tak bergeming.

Air mata Rimba jatuh tanpa izin. “Jangan gitu, Fus… aku cuma punya kamu.”

Sementara di tengah kampung, rumah putih tampak sepi.

Nadia pergi pagi-pagi. Katanya proyek butik barunya di Jakarta mendesak. Rumah itu hanya akan jadi rumah singgah. Dia tak bilang pamit pada tetangga. Hanya meninggalkan pelayan yang sibuk mengemasi barang-barang.

Dan Pussy… dibawa serta.

Di dalam kandang plastik berbingkai putih, Pussy duduk diam. Mobil berguncang pelan di jalan kampung yang berbatu, tapi matanya tak melihat ke luar jendela. Ia tak peduli pada sawah, pada langit, pada suara roda yang berderit.

Yang ia tahu, ia menjauh. Dari Fuso Dari jendela tempat mereka bertemu. Dari senja-senja yang menghangatkan jiwanya. Dan ia tak tahu apakah ia akan pernah kembali.

Ia menunduk, lalu menjilat kakinya. Satu kebiasaan lama yang tak lagi ia lakukan karena bahagia, melainkan karena gelisah. Ada sesuatu di tenggorokannya. Tangis yang tertahan.

Ia telah kehilangan rumah yang tak pernah benar-benar ia miliki.

---

Dua minggu berlalu.

Hidup berjalan pelan di kampung. Rimba kembali bekerja. Tapi langkahnya tak pernah seceria dulu. Malam-malamnya sepi tanpa suara dengkuran halus dari kolong meja.

Fuso tak ada.

Ia hilang setelah malam ketiga. Tak kembali. Rimba mencarinya ke mana-mana, ke pasar, ke lapangan, ke tumpukan sampah di belakang sekolah. Tapi tak ada jejak. Bahkan bangkai pun tidak.

“Barangkali dia pergi ke tempat yang lebih baik,” bisik Rimba pada dirinya sendiri. “Atau… mungkin ke tempat terakhir dia merasa dicintai.”

Di rumah megah itu, jendela loteng masih berdiri. Tapi kini tak ada jeruji. Tak ada bulu putih. Tak ada aroma sabun lavender.

Angin datang dan pergi. Hanya membawa debu, bukan harapan.

Dan setiap sore, saat langit mulai berubah warna, ada satu titik di atas genteng tempat Fuso biasa duduk. Tempat itu kosong, tapi terasa penuh.

Penuh kenangan. Penuh kehilangan.

Dan di sebuah apartemen tinggi di Jakarta, Pussy duduk diam di depan jendela kaca. Suara kendaraan di bawah seperti dengung serangga. Dunia kini lebih sibuk, lebih bising.

Tapi ia tahu, tak ada yang mampu menggantikan atap genteng senja di kampung itu.

Kadang ia mengeong pelan, memanggil nama yang hanya hatinya tahu. Tapi tak pernah ada jawaban. Hanya bayangan seekor kucing belang, dengan mata cokelat dan suara berat yang datang dalam mimpi.

Cinta mereka tak pernah sampai.

Tapi di setiap hembusan angin sore, di setiap senja yang pelan-pelan merayap ke bumi, selalu ada sepotong hati yang tak pernah benar-benar kembali.

Karena cinta seperti itu tak mati.

Hanya terkunci di balik jendela dunia yang berbeda.

Selesai

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)