Masukan nama pengguna
Setiap Jumat sore, taman kota itu berubah menjadi panggung sunyi untuk pertunjukan yang hanya mereka berdua saksikan. Langit selalu memerah pelan, seolah enggan menyudahi hari, dan angin membawa suara anak-anak kecil yang mulai dipanggil pulang. Di bangku yang sama, di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga, Marko sudah duduk sambil membuka lembar demi lembar bukunya.
Tak lama kemudian, Dina datang. Langkahnya cepat tapi tidak tergesa, di tangannya tergenggam buku catatan kecil berisi kutipan-kutipan favoritnya. Rambut indahnya dibiarkan tergerai anggun. Entah sejak kapan mereka bertemu dan mulai bercengkerama. Mereka tak pernah menjanjikan untuk bertemu setiap Jumat, dan entah kenapa kaki mereka selalu melangkah ke sana, ke bangku taman yang sama. Seperti ada magnet yang tak kelihatan, menarik dua insan yang selalu butuh tempat untuk bertanya dan mencari jawab yang melahirkan tanya lain yang tak pernah usai..
"Kau membacanya lagi?" tanya Dina sambil meletakkan tas selempangnya.
Marko tersenyum kecil. "Aku belum selesai memberontak hari ini."
"Sisyphus itu sial atau bebas, sih?" lanjut Dina sambil menyandarkan tubuhnya.
"Itu pertanyaan yang bagus. Saat Sisyphus sadar akan absurditasnya dan memilih untuk terus mendorong batu itu, justru di sanalah kebebasannya muncul. Kesadaran adalah pemberontakan."
Dina duduk, membuka buku catatannya, lalu membacakan, "'Kebebasan bukan berarti tidak punya beban, tapi memilih beban itu sendiri.' Aku kutip itu dari siapa ya...?"
"Mungkin dari dirimu sendiri?" jawab Marko tanpa menoleh. Matanya masih pada halaman yang sama.
Dina tertawa pelan. Tawa itu bukan sekadar bahagia, tapi seperti mengupas lapisan pikiran yang terlalu lama dipendam. Suara tawa yang menyelinap di sela-sela keseriusan.
"Kau tahu," kata Dina, "kadang aku berpikir, kita ini bukan pasangan biasa. Kita lebih sering berbicara tentang absurditas daripada tentang rencana liburan atau film favorit."
"Mungkin itu justru cara kita mencintai. Apa serunya menjadi normal?" Ucap Marko.
Keduanya lalu tertawa lepas.
Minggu berikutnya, saat senja mulai menelan bayang-bayang pohon, "Kalau hidup ini absurd, apa cinta juga termasuk bagian dari absurditas itu?" Tanya Dina.
Marko tak langsung menjawab. Dia menutup bukunya perlahan, menatap langit yang mulai menua warnanya. Suara burung gereja mulai menghilang satu per satu, seakan ikut tenggelam bersama matahari.
"Cinta bisa jadi batu yang kita dorong. Pertanyaannya, kita sadar nggak kalau kita sedang mendorongnya? Atau kita cuma ikut mendorong karena semua orang melakukannya?"
"Kau tahu, aku kadang merasa kita ini seperti dua orang asing yang terus mencoba menjelaskan kenapa kita tetap bersama. Bukan karena alasan romantis."
"Dan itu salah?" tanya Marko, menoleh dengan mata tajam tapi lembut.
Dina diam sesaat. "Tidak. Tapi kadang aku iri pada mereka yang mencintai tanpa bertanya. Tanpa merasa harus mengerti. Mereka mencintai sebagaimana matahari terbit, otomatis, teratur. Kita? Kita mencintai sambil mengajukan esai panjang tentang kenapa dan untuk apa."
"Mereka mungkin tak sadar sedang mendorong batu."
"Dan kita terlalu sadar, sampai mempertanyakan bentuk batunya."
Suasana hening. Riuh anak-anak sudah tak terdengar lagi. Tersisa suara angin dan sesekali daun flamboyan jatuh di antara mereka. Mereka tidak saling pandang, tapi seolah berbicara dengan pantulan diri masing-masing di benak satu sama lain.
Kafe kecil di dekat taman menjadi tempat pelarian mereka dari dingin yang mulai menggigit. Dindingnya dari bata ekspos, dan lampu-lampu gantung bergaya industrial menciptakan suasana temaram yang mengundang perenungan.
Dina memesan kopi latte, Marko memesan teh melati. Kontras yang selalu mereka rayakan, seakan mewakili sifat mereka yang bertolak belakang namun saling mencari.
"Kau tahu," kata Marko sambil mengaduk teh, "aku pernah hampir menikah."
Dina mengangkat alis. "Serius?"
"Ya. Kami pacaran tiga tahun. Tapi pada akhirnya aku sadar, aku lebih mencintai ide tentang dia daripada dirinya yang nyata. Aku jatuh cinta pada versi yang kubentuk dalam pikiranku."
"Itu terdengar menyedihkan."
"Atau jujur," jawabnya lirih.
Dina menggigit bibirnya, menatap cangkirnya yang mengeluarkan uap tipis. "Lalu aku? Apakah aku juga hanya ide di kepalamu?"
Marko menatap matanya. Lama. Seakan ingin menjawab bukan dengan kata-kata, tapi dengan keheningan yang tegang dan bermakna.
"Entah. Tapi yang jelas, aku tidak sedang menempatkanmu dalam kerangka. Kau adalah gangguan dari pola pikirku. Kau membuatku berhenti dan mempertimbangkan ulang semuanya."
"Aku lebih suka itu daripada jadi perpanjangan logika," ujar Dina sambil tersenyum kecil, lalu menyeruput kopinya.
Malam itu, setelah perdebatan panjang tentang eksistensi dan kehendak bebas, mereka berjalan pulang bersama. Taman sudah sepi. Hanya lampu jalan dan bayangan mereka yang berjalan berdampingan, menyatu dan terpisah tergantung sudut cahaya.
"Apa kita saling memilih, Marko? Atau kita hanya dua jiwa kesepian yang bertemu karena kebetulan?" tanya Dina.
"Kita memilih untuk terus datang ke taman ini. Tanpa janji. Tanpa alasan. Itu bukan kebetulan."
"Tapi cinta bukan cuma tentang datang, kan? Cinta juga tentang bertahan, tentang merawat, tentang menghadapi absurditas bersama-sama."
"Cinta adalah ketika kau sadar betapa tidak masuk akalnya semuanya, tapi kau tetap tinggal. Bukan karena harus, tapi karena memilih."
"Kalau suatu hari kita lelah mendorong batu itu?" suara Dina melembut.
"Maka kita akan duduk sejenak. Istirahat. Merenung. Tapi setelah itu, kalau kau masih di sini... kita dorong lagi. Bersama. Dengan sadar. Dengan setia."
Langkah mereka pelan. Malam makin dalam. Tapi hati mereka terasa hangat oleh percakapan yang tak akan pernah mereka temukan dalam buku mana pun.
Beberapa bulan berlalu. Jumat-jumat tetap menjadi ruang bagi pertanyaan yang belum selesai. Taman itu tetap menjadi tempat suci yang hanya mereka kenal maknanya. Suatu sore, Dina datang lebih dulu. Langit berwarna oranye lembut. Dia duduk sendirian sambil membuka catatannya. Di halaman terakhir ia menulis:
"Mungkin cinta memang absurd. Tapi seperti Sisyphus, kita memilih untuk terus melakukannya. Bukan karena bodoh. Tapi karena sadar. Dan itu cukup bagiku untuk terus datang."
Dina menutup catatan itu dengan pelan, seperti menutup pintu yang membawa ke ruang refleksi. Tak lama kemudian, Marko tiba. Dia membawa dua buku, satu untuk Dina, satu untuk dirinya. Tak ada bunga, tak ada pelukan. Hanya mata yang saling membaca, dan senyum yang tak perlu diterjemahkan.
"Hari ini kau menangis?" tanya Marko lirih.
"Tidak. Aku hanya terlalu penuh. Kadang, terlalu banyak berpikir bisa membuat air mata mengalir sendiri."
"Aku tahu rasanya."
Hari itu, mereka membaca tanpa banyak bicara. Tapi setiap halaman yang dibuka adalah janji bahwa mereka masih di sana, bersama, melawan absurditas dengan kesadaran. Dan di balik semua pertanyaan yang tak pernah tuntas, mereka tahu satu hal, bahwa senja akan selalu datang. Dan mereka akan selalu datang juga.
Selesai