Masukan nama pengguna
Udara malam di tol KM 108 terasa kering seperti debu tipis yang belum sempat disapu angin. Di balik pos kecil berdinding triplock dan kaca bening berembun, Andra duduk gelisah menatap monitor CCTV. Ini malam pertamanya berjaga, dan tak ada yang lebih sunyi dari jalan tol menjelang pukul dua pagi.
“Kalau ngantuk, minum kopi sachet yang di rak atas,” ujar Pak Sumarna, sambil duduk menyender ke kursi. “Tapi jangan buka jendela. Angin di sini suka bawa suara-suara aneh.”
Andra menoleh, separuh tertawa. “Suara angin maksudnya, Pak?”
Pak Sumarna tidak menjawab. Matanya menerawang jendela, ke arah aspal panjang yang tampak mengilap oleh lampu jalan yang redup dan sesekali mati.
Andra mencoba mencairkan suasana, “Lajur tiga memang ditutup ya, Pak?”
“Sudah lama,” jawab Pak Sumarna pendek.
“Rusak?”
Pak Sumarna diam sebentar, lalu mengangguk. “Iya. Rusak.”
Andra ingin bertanya lebih lanjut, tapi nada bicara rekan kerjanya sudah seperti dinding yang tak kasatmata. Dia beralih ke layar monitor. Tiga kamera menyorot lajur satu dan dua yang tampak kosong. Lajur tiga tak terlihat. Kamera untuk arah itu sudah mati sejak dua bulan lalu, begitu laporan perbaikannya yang pernah dia baca.
Waktu menunjukkan 02.43.
Seketika dari lajur yang tak terlihat, dari kejauhan terdengar suara klakson panjang. Satu nada datar yang tak terlalu nyaring tapi ganjil. Seolah bukan dari mobil modern.
“Hooooonk...”
Andra refleks menoleh ke luar jendela. Kosong. Lajur tiga ditutup barikade oranye dan papan bertuliskan “DALAM PERBAIKAN”.
Dia menoleh ke Pak Sumarna. Lelaki tua itu tetap diam. Matanya terbuka namun tidak menatap apa-apa.
“Pak,” bisik Andra. “Dengar itu?”
Pak Sumarna menarik napas pelan seperti mengulang ritual yang sudah terlalu sering dia jalani. Dia hanya berkata:
“Kalau dengar suara, biarkan saja. Jangan disaut.”
Mulut Andra ternganga sesaat lalu menelan ludah. Di luar, klakson masih terdengar samar… seolah menjauh, seolah mendekat kembali.
Dan di layar monitor kanan bawah yang tadinya mati tiba-tiba muncul satu frame gambar lajur tiga. Kosong. Tapi pada titik KM 108, samar-samar ada bayangan berdiri. Tidak bergerak. Hanya berdiri.
Monitor berkedip lalu gambar menghilang.
Andra berdiri dari kursinya. Dengan suara rendah, Pak Sumarna berkata:
“Kau jaga shift malam, bukan buat nyari jawaban. Di sini tugas kita cuma jaga.”
Andra menatap wajah Pak Sumarna. Di keriput matanya tampak kelelahan panjang yang tak bisa dijelaskan.
Di luar pos, angin melintas membawa aroma aspal.
Dan malam pertama itu belum selesai.
Pagi turun tanpa suara di pos jaga KM 108. Matahari belum tinggi namun panasnya sudah menusuk. Andra masih duduk lesu di bangku karena tak tidur semalam.
Pak Sumarna sudah pulang. Seperti biasa shift selesai pukul tujuh tepat. Tanpa banyak kata lelaki tua itu hanya meninggalkan satu kalimat sebelum melangkah pergi:
“Jangan bertanya atau mencaritahu jawaban yang tidak akan kau suka jika kau mengetahuinya.”
Andra mengabaikannya. Dia justru makin penasaran. Setelah menyelesaikan laporan shift pagi, dia kembali ke kantor pengelola jalan tol yang terletak di tepi kota sekitar 2 km dari lokasi pos. Sebuah bangunan kusam berlantai dua dengan lorong-lorong sepi dan kipas angin tua yang berdecit.
Di ruang dokumentasi dia menyelinap masuk berpura-pura mencari formulir penggantian ban. Di komputer bagian pengarsipan, dia mengetik “KM 108, kecelakaan”.
Tak ada.
Dia coba kata kunci lain “lajur tiga, KM 108, insiden malam”.
Layar tetap sunyi. Seolah-olah tak pernah ada kejadian di sana. Padahal dia yakin mendengar klakson itu. Dia melihat gambar samar di monitor dan dia yakin itu bukan ilusi.
Andra mencoba keberuntungan terakhir, membuka Google lewat ponsel pribadinya. Dia ketik kata kunci yang sama.
Satu artikel muncul di media lokal yang tak terkenal, “Tol Baru, Korban Lama: Misteri Tragedi di KM 108”, ditulis oleh Dina Raisa.
Andra membacanya pelan. Artikel itu menceritakan tentang kecelakaan beruntun lima tahun lalu, melibatkan enam kendaraan termasuk truk bahan kimia. Semua korban tewas. Anehnya, semua jenazah hangus tapi tak ditemukan bukti ledakan.
Yang lebih aneh lagi, artikel itu ditandai “dibantah oleh pihak berwenang”. Dan setelah Andra menyegarkan halaman, tautannya hilang. Tidak bisa dibuka lagi.
Dengan cepat dia salin nama penulisnya dan mencarinya di media sosial. Dina Raisa Jurnalis lepas. Tinggal di Purwakarta. Di mengirim pesan singkat:
“Mbak Dina, saya petugas tol KM 108. Saya ingin tahu soal artikel KM 108. Tolong hubungi saya. Penting.”
Belum ada balasan. Tapi hatinya terusik.
Sore harinya, sebelum kembali bertugas malam, Andra melintasi jalur tol dan sengaja memperlambat kendaraan di KM 108. Dia melirik ke arah lajur tiga yang katanya "ditutup".
Tapi di sana tak ada pembatas. Tidak ada barikade oranye seperti yang dia lihat malam sebelumnya.
Dia langsung menginjak rem, menepi, dan keluar. Asap panas menguap dari aspal, matahari masih menyengat. Permukaan jalan di sana terlihat sedikit retak, dan pada satu titik, ada bekas hangus, lingkaran besar seperti bekas ban terbakar.
Andra menunduk. Menyentuh aspal itu.
Masih hangat.
Tiba-tiba ponselnya bergetar.
Sebuah balasan dari nomor tak dikenal:
“Kalau kau benar ada di KM 108, pergi sekarang. Jangan berdiri di sana. Mereka belum tidur". —Dina R.
Andra menoleh ke sekeliling. Jalan tampak kosong. Tapi matanya menangkap sesuatu di kaca spion mobil. Sekelebat bayangan hitam berdiri menghadapnya di lajur tiga.
Andra menutup pintu mobilnya dengan cepat. Tangan kirinya masih gemetar ketika dia kembali ke kemudi dan menyalakan mesin. Dia melirik kaca spion yang tetap menunjukkan bayangan yang masih diam seolah menunggu.
Dia tidak tahu mengapa tidak langsung tancap gas. Mungkin karena rasa takutnya justru berubah jadi obsesi. Atau karena pesan Dina yang singkat itu terdengar seperti peringatan orang yang tahu lebih dari yang tertulis.
Dia keluarkan ponsel dan menekan ikon telepon pada nomor tak dikenal tadi.
“Hallo?”
Suara perempuan terdengar serak tapi tegas. Andra langsung memperkenalkan diri.
“Saya Andra. Petugas shift malam di KM 108. Saya baca tulisan Mbak Dina tentang KM 108.”
Suara di ujung sana diam sejenak. Tak berselang lama terdengar helaan napas.
“Masih ada yang lihat, ya,” katanya pelan. “Sudah lama tidak ada yang cerita.”
Andra memandang ke arah lajur tiga dari balik kaca mobil. Bayangan itu sudah hilang.
“Apa yang sebenarnya terjadi di KM 108?” tanyanya cepat.
Dina menjawab dengan suara pelan tapi jelas.
“Lima tahun lalu. Suatu malam. Ada truk pengangkut limbah cair yang salah jalur, menabrak mobil keluarga, lalu disusul satu minibus, dan satu truk logistik. Tapi laporan resminya bilang hanya kecelakaan tunggal. Truk terguling. Padahal aku sempat wawancara warga yang mendengar suara ledakan dari jauh. Dan petugas medis yang mengatakan korban semua hangus tanpa api.”
Andra menggenggam setir erat.
“Tanpa api?”
“Iya,” suara Dina mengecil. “Mereka... seperti meleleh.”
Sunyi sejenak.
Lalu Dina melanjutkan, “Setelah itu, beberapa petugas shift malam sering melapor lihat sosok di lajur tiga. Berdiri. Kadang duduk. Kadang lari ke arah mobil, tapi tidak pernah tertangkap kamera. Sampai satu per satu petugas resign. Yang terakhir, Seno namanya, sempat kabur malam-malam sambil teriak.
Andra mulai merinding.
“Lalu kenapa tidak ditutup saja lajur itu?”
“Sudah. Tapi selalu terbuka lagi. Pembatas selalu ditemukan bergeser. Dan anehnya, pagi harinya, rekaman CCTV selalu terhapus otomatis. Sistem melaporkan gangguan listrik."
Andra menatap monitor di dasbor mobil patroli. Jam menunjukkan 17.46.Dia harus kembali ke pos sebelum gelap.
Tapi sebelum telepon ditutup, Dina menambahkan:
“Kalau kamu masih jaga di sana malam ini, jangan lihat ke luar jendela kalau dengar suara. Apalagi kalau suara itu memanggil nama kamu.”
Klik. Sambungan terputus.
Andra menggertakkan gigi, menyandarkan kepala ke jok dan menghela napas panjang.
Tapi kemudian...
Sesuatu bergetar di bawah jok.
Dia menunduk dan menemukan benda yang tidak pernah ia simpan. Tiket tol yang sudah gosong separuh.
Tertulis di sana:
Masuk dari Gerbang Cikopo – 22.07 WIB – Lajur 3.
Tangannya gemetar.
Dia datang lewat lajur dua.
***
Malam merambat di pos KM 72, seperti biasa sepi dan dingin. Tapi malam ini Andra tidak seperti biasa. Dia duduk diam membiarkan layar monitor menyala tanpa suara. Rekaman CCTV dari sore tadi masih berputar diulang-ulang. Dia coba menangkap detail di lajur tiga.
Tak ada yang tampak aneh.
Tapi perasaannya mengatakan sesuatu sedang mendekat.
Andra meletakkan tiket tol gosong itu di atas meja jaga. Dia coba membujuk akalnya, mungkin ini hanya prank. Tapi ingatannya tentang sosok bayangan di lajur tiga dan pesan Dina, menyingkirkan semua logika.
Pukul 00.18.
Layar monitor tiba-tiba berkedip. Hanya sekali. Tapi cukup untuk membuat detak jantung Andra melambat. Dia menekan tombol replay. Sekilas di salah satu kamera KM 108, muncul bayangan samar tengah menyeberang dari jalur dua ke tiga.
Dia membesarkan gambar. Bayangan itu berbentuk perempuan, mengenakan rok panjang, kepala tertunduk. Tapi anehnya, rekaman itu hanya berdurasi satu detik. Setelah itu, layar kembali normal.
Andra berdiri lalu keluar dari pos.
Udara malam menampar wajahnya. Tapi dia butuh bukti lebih. Dia pun menyusuri tepi jalan tol dengan senter kecil dan peluit seperti protokol standar.
Langkahnya pelan. Sepuluh meter... dua puluh...
Ketika sampai di KM 78, lajur tiga masih terlihat terbuka. Tapi kali ini ada yang berbeda.
Sebuah mobil putih tua terparkir di bahu jalan.
Tampak berdebu, plat nomornya tak terbaca. Di dalamnya ada seseorang duduk di kursi pengemudi.
Andra mendekat. Lampu senter diarahkan ke kaca depan.
Sosok itu... hanya diam tidak bergerak.
Andra ketuk kaca. “Pak, ini area terlarang. Anda tidak boleh berhenti di sini.”
Tak ada respons.
Dia berjongkok, mencoba melihat dari celah pintu. Dan saat itulah cahaya senternya menangkap sesuatu di dasbor mobil. Tiket tol yang identik dengan miliknya, gosong separuh, tercetak Lajur 3 – 22.07 – Cikopo.
Andra mundur pelan. Tapi sebelum dia sempat berpaling, wajah pengemudi itu tiba-tiba menoleh ke arahnya.
Wajah hangus.
Kulit legam seperti arang.
Dan bola matanya hilang, hanya rongga hitam yang menganga. Tapi mulutnya bergerak.
Menggumamkan sesuatu...
“A-n-d-r-a."
Andra terpaku. Tubuhnya kaku. Tapi ketika napas pengemudi itu mengembuskan asap hitam ke kaca... dia langsung lari.
Senter terjatuh. Peluit terlepas.
Suara di belakangnya terdengar seperti pintu mobil dibuka paksa. Di antara langkah tergesa dan degup jantung tak beraturan, Andra mendengar suara klakson. Panjang. Menusuk. Menggema seperti dari masa lalu.
Dia nyaris jatuh ketika sampai kembali ke pos. Dengan tangan gemetar dia mengunci pintu, menyalakan semua lampu.
Namun saat menoleh ke layar monitor, kamera KM 108 sudah mati.
Semua gambar gelap. Hanya satu kamera yang masih hidup.
Dan di layar itu, di tengah lajur tiga, berdiri enam sosok hitam, diam tak bergerak.
Salah satunya melambaikan tangan ke arah kamera. Perlahan.
***
Andra tidak tidur malam itu. Dia duduk di pojok pos jaga, menyandarkan tubuh ke dinding sambil menatap layar monitor yang kini kembali hidup, tanpa rekaman, tanpa sosok, hanya jalur tol kosong yang terbias lampu jalan.
Dia tahu... ada sesuatu yang tidak terekam kamera. Sesuatu yang menunggu diam-diam di sela kilometer dan waktu.
Pagi datang perlahan. Langit timur mulai kemerahan. Suara lalu lintas perlahan terdengar ramai, kendaraan-kendaraan dari arah barat, dari kota, dari dunia yang masih bisa dijelaskan.
Pukul 06.10.
Petugas shift pagi, Pak Joni, datang membawa dua kopi panas dalam termos. Dia menyapa seperti biasa lalu memeriksa laporan malam. Andra tak banyak bicara. Dia hanya menyerahkan tiket gosong yang ia temukan semalam.
Pak Joni menatapnya heran.
“Ini bukan dari tol kita. Sistem kita digital sekarang, tidak cetakan manual lagi.”
Andra tak menjawab. Dia hanya menatap tiket itu seperti menatap batu nisan tak bernama.
***
Dina menghubunginya malam itu lewat pesan suara.
"Andra, kamu masih hidup, berarti mereka belum menganggapmu bagian dari mereka. Tapi hati-hati. Sekali kamu jawab saat namamu dipanggil, kamu tidak bisa keluar. Banyak yang sudah masuk ke lajur tiga dan tidak pernah pulang."
Andra tak membalas. Dia hanya berdiri diam di depan kaca pos, memandangi jalan yang membentang panjang.
Dan saat itu pula dia menyadari sesuatu...
Mobil putih tua itu masih ada. Tapi kali ini terparkir lebih jauh. Tepat di bahu jalan KM 107.
Dia ambil teropong.
Kaca jendela depan buram. Tapi samar-samar tampak dua wajah di dalam mobil. Satu di kursi pengemudi. Satu lagi di belakang.
Keduanya menatap ke arahnya.
Dengan pelan, Andra menurunkan teropong. Matanya mulai perih. Bukan karena takut. Tapi karena kini ia mengerti.
Mereka tidak mengganggu.
Mereka hanya ingin diingat.
Orang-orang yang terbakar tanpa api.
Yang mati dalam laporan yang dimanipulasi.
Yang tidak pernah dicari oleh negara, tapi menunggu dengan sabar...
Di lajur yang tidak ditutup.
Di kilometer yang "dihapus dari peta."
Dan ketika angin pagi meniupkan bau aspal lembab dan karat, Andra mengerti dia tak akan resign. Tidak sekarang. Tidak sampai semua nama korban ditemukan. Tidak sampai satu pun tiket pulang tak lagi tertinggal.
SELESAI