Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,134
Penyerap Trauma
Misteri


Hari-hari Yandri kini hanya sebatas tarikan napas dan detak monitor EKG. Di ruang ICU tempatnya bekerja sebagai perawat, hidup terasa seperti mesin, dingin, rutin, dan tak pernah benar-benar hidup.

Dulu, dia selalu pulang membawa senyum. Disambut pelukan hangat Hana, istrinya, dan celoteh Dito, anak semata wayangnya yang baru duduk di kelas satu SD. Tapi semua itu lenyap dalam sekejap. Sebuah tabrakan maut di tikungan jalan layang mengubur senyum mereka di liang tak bertanda harapan.

Sejak itu Yandri hanya hadir secara fisik. Di balik masker medis, tatapan matanya kosong. Dia bekerja seperti biasa, memeriksa, mengganti infus, mencatat grafik. Tapi dalam rutinitas itu jiwanya mati perlahan.

Suatu malam di ruang istirahat, Yogi yang merupakan teman seangkatannya sejak sekolah keperawatan menghampirinya dengan kopi sachet dan wajah lesu.

“Yan, boleh cerita gak?” tanya Yogi.

Yandri mengangguk tanpa kata. Dia menatap langit-langit ruang itu, lalu duduk di sofa reyot dekat dispenser.

Yogi mulai bercerita tentang masa kecilnya yang kelam. Tentang ayah pemabuk yang sering melempar piring, ibu yang pernah hilang seminggu karena kabur dari rumah, dan ketakutan tiap malam akan bunyi pintu dibanting. Suara Yogi sempat gemetar, matanya berkaca-kaca.

Yandri hanya mendengarkan. Tak ada nasihat. Tak ada simpati murahan. Dia hanya menyimak, seluruh perhatiannya tertuju pada luka-luka Yogi.

Tiba-tiba, ada sesuatu yang aneh. Dada Yandri terasa berat. Sesak. Lalu muncul bayangan samar seorang anak kecil bersembunyi di bawah meja, menangis. Bukan kenangannya. Tapi seolah-olah dia ikut mengalaminya.

Pagi harinya, Yogi menghampiri dengan wajah cerah tak biasa.

“Gila, gue tidur nyenyak banget semalam. Rasanya kayak beban di kepala gue ilang. Mimpi buruk yang biasa dateng tiap malam juga gak ada. Bro... makasih, ya. Serius.”

Yandri mengernyit. “Makasih? Emang gue ngelakuin apa?”

Yogi hanya menepuk bahunya sambil tersenyum.

Seminggu kemudian, mereka bertiga duduk bareng di kantin rumah sakit. Yogi membawa Yana, temannya dari divisi psikiatri yang tengah mengalami gangguan tidur akibat kasus pasien bunuh diri yang tak bisa dia cegah.

“Yana, cerita aja. Coba ngobrol sama Yandri. Dia spesialis dengerin,” kata Yogi.

Yana tertawa kecil. “Cuma dengerin?”

“Coba aja,” sahut Yogi.

Yana pun bercerita. Tentang rasa bersalah, tentang mimpi berulang pasien yang memanggilnya. Tentang suara tangisan itu yang masih menempel di lorong-lorong rumah sakit.

Yandri hanya diam dan mendengarkan. Dan lagi-lagi tubuhnya merespons. Pandangannya kabur. Dia mendengar suara tangisan wanita, padahal mereka hanya duduk bertiga di kantin.

Esok harinya, Yana menghampirinya.

“Mas Yandri... Aku tidur nyenyak tadi malam. Pertama kalinya sejak kejadian itu. Gak tahu kenapa, tapi kayak... trauma itu pergi. Terima kasih.”

Yandri hanya bisa mengangguk pelan. Dalam hatinya, dia mulai bertanya-tanya, "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan yang menimpa istri dan anaknya, dia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan lagi, rasa hidup.

Di satu sisi, Yandri merasa lega karena Yogi dan Yana mulai pulih dari trauma mereka. Senyuman mereka tak lagi dipaksakan, tatapan mereka tak lagi buram. Tapi di sisi lain, dadanya semakin berat.

Dia sering duduk sendirian di ujung lorong rumah sakit, menatap lampu neon yang menggantung pucat. Bayangan Hana dan Dito makin sering menyelusup di sela pikirannya. Suara tangis Yogi saat kecil, jeritan Yana dari mimpinya, semuanya kini hidup di kepalanya. Bercampur, tumpang tindih, seperti kaset rusak yang terus memutar luka orang lain.

Kadang saat mengganti perban pasien di ICU, Yandri mendengar mereka mengeluh, bahkan tanpa sadar. “Saya takut, Pak,” kata pasien yang baru selesai operasi. “Saya pengen mati saja, Pak,” lirih yang lain. Dan tanpa sadar, Yandri menyerap itu semua. Sesak, pusing, tapi setelahnya... mereka tampak lebih tenang.

Dia tak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi kejadian-kejadian aneh itu makin sering. Dan gosip mulai beredar.

“Coba aja curhat ke Mas Yandri. Kemarin aku cerita soal suamiku yang selingkuh, besoknya aku kayak... plong. Kalau ke psikolog habis berapa tuh? kata seorang perawat sambil tertawa pelan. "Tapi Mas Yandri gak mau dibayar alias gratis. Ya udah diam-diam aku kirim pulsa aja".

Awalnya Yandri menolak. Tapi mereka memaksa. Ada yang memberi pulsa, ada yang menitipkan amplop. Bahkan ada yang membawakannya bekal makan siang tiap hari. “Lumayan buat tambahan,” pikir Yandri, setengah bercanda, setengah menyesali.

Namun semakin banyak yang datang, semakin berat tubuhnya terasa. Malam hari dia sulit tidur. Jika tidur, mimpinya penuh suara dan wajah yang tak dikenalnya. Hatinya seperti tumpukan lemari penuh luka yang bukan miliknya.

Fenomena 'penyerap trauma' itu pun sampai ke telinga para psikiater rumah sakit.

Di ruang rapat kecil, dr. Ajeng, psikiater senior, mengangkat topik itu di hadapan koleganya.

“Secara medis, kita belum punya istilah untuk orang yang bisa ‘menyerap’ trauma secara psikis dari orang lain. Tapi dari perspektif psikodinamika, ini bisa dikaitkan dengan konsep countertransference ekstrim. Atau bahkan… empati radikal yang menjelma dalam bentuk somatis.”

“Gak masuk akal, Dok,” sahut psikiater muda di ujung ruangan. “Itu lebih seperti… kemampuan supranatural.”

Ajeng mengangguk pelan. “Atau bisa jadi... ada luka dalam dirinya sendiri yang menjadi ‘wadah terbuka’. Dia tidak menyembuhkan. Dia hanya memindahkan luka itu ke dirinya.”

Hening sejenak.

“Pertanyaannya,” lanjut Ajeng sambil menatap catatan, “kalau wadah itu terus diisi, apa efeknya? kapan dia akan luber? Atau mungkin pecah?”

Malam itu, Yandri duduk di bangku halte rumah sakit, menatap hujan yang turun seperti luka-luka lama yang enggan reda. Jas hujan digulung di pangkuan, masih belum dipakai. Dia tak peduli basah. Hanya ingin duduk dan diam. Matanya bengkak tapi tak menangis. Entah milik siapa air mata yang nyaris jatuh itu. Punya Yogi? Yana? Atau pasien ICU yang kehilangan anaknya pagi tadi?

Selama seminggu terakhir, permintaan untuk curhat padanya meningkat seperti antrean vaksin. Ada yang cerita sambil makan siang, ada yang menyelinap saat shift malam, bahkan ada yang sengaja datang dari luar unit hanya untuk “membuang trauma”. Yandri tak pernah menolak, tapi tak lagi merasa hadir sepenuhnya. Setiap kali dia mendengar cerita baru, bagian dalam dirinya retak sedikit demi sedikit.

Suatu malam, dia terbangun dengan peluh dingin. Dalam mimpinya, dia melihat Hana berdiri di lorong rumah sakit, wajahnya pucat, bibirnya bergerak tapi tak bersuara. Dito berdiri di sampingnya, memeluk robot mainan. Di belakang mereka, wajah-wajah Yogi, Yana, dan pasien-pasien lainnya berdiri mematung. Mereka menatapnya seperti sedang menuntut sesuatu.

“Berhenti, Mas... berhenti,” suara Hana bergema dalam kepalanya.

Yandri terbangun, menjerit pelan, menggenggam dadanya yang terasa seperti dihantam palu. Dia lalu ke kamar mandi, menatap wajahnya di cermin. Matanya sayu, ada lingkar hitam pekat. Bukan karena kurang tidur, tapi karena terlalu banyak luka yang mengendap.

Di rumah sakit, rekan-rekannya mulai menyadari perubahan. Yandri lebih sering diam, lebih lambat dalam bekerja. Terkadang linglung. Beberapa kali dia memandangi pasien tanpa berkedip, seolah tak berada di sana.

Yana menghampirinya di ruang istirahat.

“Mas... kamu gak apa-apa, kan?”

Yandri mengangguk. Tapi mulutnya tak menjawab.

“Yogi cerita kamu sering mimpi buruk. Sekarang kamu lebih pucat dari pasien rawat jalan. Apa semua itu... terlalu berat?”

Yandri menunduk. Dia ingin bicara tapi tak tahu harus mulai dari mana.

“Kadang aku merasa... aku bukan Yandri lagi,” katanya pelan. “Aku kayak tempat sampah luka orang. Tapi orang-orang bahagia karena sampah mereka aku tampung. Aku senang... tapi aku hancur.”

Yana menggenggam tangannya. “Kalau kamu bisa menyerap trauma, mungkin kamu juga harus belajar membuangnya, Mas.”

Yandri menoleh pelan. “Tapi ke mana?”

Yana tak menjawab. Tapi dalam hatinya, dia tahu jika Yandri tak segera menemukan jalan keluar, dia akan tenggelam di lautan luka yang bukan miliknya.

Yandri menghilang dua hari. Ponselnya mati. Ruang perawat ICU lebih lengang tanpa canda datarnya, tanpa kehadiran diamnya yang biasanya justru membuat suasana terasa lebih tenang. Yogi dan Yana mulai cemas. Mereka tahu, luka yang dipendam Yandri sudah terlalu banyak. Dan luka, bila tak diobati, bisa bernanah. Bisa membusuk. Bahkan bisa membunuh dari dalam.

Hari ketiga, Yandri muncul. Rambutnya agak acak-acakan, wajahnya lebih tirus, tapi senyum tipisnya tersimpul meski terkesan rapuh. Dia bilang bahwa dia pergi ke tempat istrinya dan anaknya dimakamkan. Sendirian, tanpa bunga. Hanya membawa satu hal luka yang bukan miliknya.

“Aku duduk di samping makam itu,” ujarnya lirih pada Yana, “dan bilang ke Hana, ‘Maaf, aku terlalu banyak membawa beban, padahal yang kupikirkan cuma kamu dan Dito. Tapi sekarang mengapa semua luka orang lain ikut tinggal di aku. Dan aku tidak kuat lagi.’”

Yana hanya mendengarkan. Kali ini dia tak menyela. Yandri melanjutkan:

“Lalu aku buka suara satu per satu. Aku sebut semua nama. Semua cerita. Semua luka. Aku keluarkan. Pelan-pelan. Sampai langit mendung itu pecah hujan.”

Yandri mengaku, di saat itulah dia menangis. Bukan hanya untuk Hana dan Dito, tapi untuk semua orang yang pernah menitipkan kepedihan padanya. Dia menangis sampai kering. Sampai dadanya kosong. Dan anehnya, justru setelah itu... dia merasa lebih ringan.

Sejak saat itu, Yandri mulai membuat kebiasaan baru. Setiap kali mendengar trauma dari seseorang, dia tulis di sebuah buku. Lalu seminggu sekali, dia pergi ke tempat sepi, pantai, bukit, atau makam keluarganya, dan membacakan semua luka itu, bukan untuk diingat, tapi untuk dilepaskan.

Fenomena “penyerap trauma” masih jadi perbincangan di rumah sakit, tapi Yandri sudah tak menerima curhat sembarangan. Dia hanya mendengarkan orang-orang yang benar-benar butuh, yang luka-lukanya tak bisa sembuh hanya dengan obat tidur. “Aku bukan penyembuh. Aku cuma tempat singgah. Tapi kamu harus tetap jalan sendiri.”

Para psikiater mulai mencatat kasusnya. Sebagian menyebutnya “empati patologis dengan katarsis eksternal.” Sebagian lain menyebutnya “fenomena spiritual.” Tapi Yandri tak peduli sebutannya. Dia hanya ingin hidup, dan membiarkan orang lain hidup juga, tanpa harus saling tenggelam.

Beberapa bulan berlalu. Di rumah sakit, Yandri bukan lagi sekadar “penyerap trauma.” Dia kini disebut 'penjaga sunyi'. Tempat di mana orang-orang datang bukan hanya untuk membuang beban, tapi untuk belajar berdamai dengan luka.

Yandri tak lagi pasif menyerap. Dia belajar mendampingi, mengajukan pertanyaan yang tepat, menuntun orang lain agar mengenali lukanya sendiri. Dia tidak menampung semuanya namun hanya membuka jalan.

“Kalau kamu mau sembuh,” katanya suatu malam kepada pasien muda yang baru kehilangan ayah, “kamu harus mau lihat luka itu. Jangan kamu lempar ke aku. Aku bisa bantu kamu menyalakan lilin, tapi kamulah yang harus menembus gelapnya.”

Suatu hari, seorang pasien yang sempat ingin bunuh diri kembali datang. Bukan untuk dirawat, tapi untuk mengucapkan terima kasih.

“Mas Yandri gak nyembuhin saya. Tapi Mas bikin saya percaya kalau luka itu bukan akhir,” katanya sambil tersenyum.

Hari itu, Yandri duduk sendiri di taman rumah sakit, membawa bukunya yang kini berisi ratusan kisah luka. Tapi halaman terakhir masih kosong. Di atasnya, dia menulis:

"Bukan semua luka harus diserap. Beberapa luka perlu dihadapi. Beberapa lagi, cukup kita temani hingga reda."

Lalu dia menutup buku itu. Menengadah menatap langit cerah tanps hujan. Tapi di dadanya, terasa seperti embun turun pelan-pelan.

Yandri tersenyum. Luka itu mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang. Tapi dia telah belajar, bahwa manusia bukan tempat sampah rasa sakit, kita adalah taman, tempat luka bisa tumbuh dan mekar menjadi harapan.

Selesai

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)