Cerpen
Disukai
4
Dilihat
4,233
Dialog Mimpi Handaka
Drama

Malam merayap sunyi di balik jendela kamar Handaka. Cahaya lampu temaram memantulkan bayang-bayang di dinding yang seolah menari perlahan. Handaka merebahkan tubuhnya di atas ranjang tua, memejamkan mata yang berat oleh kelelahan hidup. Angin malam membelai lembut wajahnya, membawa aroma tanah basah sehabis hujan. Tak butuh waktu lama hingga ia terlelap, tenggelam dalam dunia mimpi yang samar dan tak berbentuk.


Handaka terbangun dalam mimpi. Di sekelilingnya hanya ada ruang kosong. Putih, tanpa batas, tanpa dinding, tanpa langit. Suara langkahnya menggema setiap kali ia melangkah.


"Di mana ini? Apa aku mati? Atau ini sekadar mimpi biasa?" Handaka menoleh ke kiri dan ke kanan.


Sebuah suara muncul, lembut namun bergema, seolah datang dari segala arah.


"Selamat datang, Handaka. Kau berada di persimpangan antara kesadaran dan ketidaksadaran, di mana ide-ide melayang bebas dan realita berkelindan."


Handaka memutar tubuhnya, mencoba mencari sumber suara itu. Namun, yang dilihatnya hanya kehampaan putih yang meluas tak bertepi.


"Siapa kau? Mengapa aku di sini?"


Suara Misterius tanpa wujud kembali menggems. "Aku adalah pertanyaan yang tak terjawab, suara dari dalam jiwamu sendiri. Aku ada di setiap bisikan malam ketika kau termenung memandang langit. Sekarang, berjalanlah. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan."


Dengan ragu, Handaka mulai melangkah. Setiap langkahnya seakan menciptakan pijakan di ruang hampa itu. Ia memandangi bekas pijakannya yang berjejak kakinya namun jejak itu langsung sirna


Tiba-tiba, di depannya terbentang dua jalan. Jalan pertama penuh dengan cahaya lembut dan suara gemericik air. Jalan kedua gelap, berduri, dan dipenuhi bayangan yang bergerak.


"Ini adalah dua sisi dari keberadaanmu, Handaka. Jalan pertama adalah ide-ide yang melayang bebas, tanpa batas, namun sunyi. Jalan kedua adalah realita yang keras, tajam, dan penuh ironi. Kau sering berdiri di antara keduanya, bukan?" Suara Misterius menjelaskan.


Handaka sedikit kernyitkan keningnya. "Ya... Aku sering merasa ide-ide indah dalam kepalaku tidak pernah sepenuhnya menjadi nyata. Mereka selalu tertahan oleh batasan dunia ini."


Suara Misterius kembali terdengar "Karena ide dan realita adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Tanpa yang satu, yang lain takkan berarti."


Handaka terdiam. Ia memilih untuk melangkah di antara kedua jalan itu, di garis tipis yang memisahkan cahaya dan kegelapan. Ia terus berjalan hingga perlahan pemandangan di sekitar berubah. Handaka kini berdiri di atas bukit yang menghadap ke hamparan hijau luas. Jauh di bawah sana, ia melihat kota yang penuh asap, sungai yang tercemar, dan pepohonan yang ditebang tanpa ampun.


"Mengapa manusia sering lupa bahwa bumi ini adalah rumah mereka sendiri? Mengapa mereka terus melukai sesuatu yang memberi mereka kehidupan?" Handaka menyapu pandanganya ke seluruh penjuru kota.


Suara Misterius. "Karena manusia adalah pengelana abadi, Handaka. Mereka mencari makna di lorong-lorong sepi kehidupan, terkadang lupa untuk berhenti sejenak dan mendengarkan napas bumi."


Angin bertiup, membawa suara gemerisik dedaunan.


Handaka kembali bertanya. "Apakah masih ada harapan untuk bumi ini?"


Suara Misterius. "Selalu ada harapan selama ada satu tangan yang berani menanam pohon, satu mulut yang berani bersuara, dan satu hati yang peduli."


Perlahan langit di atas Handaka berubah menjadi hamparan bintang. Galaksi berputar pelan, dan nebula berwarna-warni seakan menari dalam keheningan kosmik.


"Betapa kecilnya aku di tengah luasnya semesta ini..." Suara Handaka lirih nyaris tak terdengar.


Suara Misterius. "Namun, setiap manusia, sekecil apa pun, membawa percikan cahaya dalam dirinya. Waktu mungkin akan terus berjalan, tak pernah berhenti, namun di setiap detiknya, kau punya kesempatan untuk menciptakan makna."


Handaka menatap tangannya, seakan-akan ia bisa melihat bintang-bintang kecil berpendar di telapak tangannya.


Tiba-tiba, semua pemandangan lenyap. Handaka berdiri di tengah kehampaan lagi. Tapi kali ini, ia merasa hangat seolah ada tangan tak terlihat yang memeluknya.


Handaka belum pernah merasakan kedamaian seperti ini. "Apakah ini... kehadiran Tuhan?"


Suara Misterius. "Tuhan tak pernah jauh, Handaka. Ia ada di setiap desir angin, di setiap tetes air hujan, di setiap hela napasmu. Cinta-Nya adalah satu-satunya hal yang abadi di antara segala yang fana."


Air mata menetes di pipi Handaka. Ia merasa begitu kecil, namun begitu dicintai.


Suara misterius itu mulai memudar. Ruang putih di sekelilingnya perlahan meredup.


Suara Misterius. "Sekarang, bangunlah, Handaka. Bawa semua yang kau dapat di sini ke dunia nyata. Jadilah cahaya kecil di tengah gulita."


Handaka membuka matanya. Cahaya pagi merayap masuk melalui jendela kamarnya. Suara burung terdengar dari kejauhan. Ia duduk di tepi ranjang, napasnya berat namun penuh kedamaian.


"Aku mengerti sekarang... Hidup adalah tentang memberi makna, tentang menjadi cahaya di tengah gelap." Suara dalam pikirannya seperti terdengar di telinganya sendiri.


Ia tersenyum kecil, menatap langit biru di balik jendela. Mimpi itu mungkin telah berakhir, tapi perjalanannya baru saja dimulai.


Hari-hari berlalu sejak mimpi aneh itu, tetapi kata-kata dari suara misterius itu masih menggema di kepala Handaka. Setiap kalimat terasa seperti nyala api kecil yang membakar kesadarannya. Ia mulai memandang dunia dengan cara yang berbeda. Setiap pohon, setiap embusan angin, bahkan setiap tatapan mata orang-orang di sekitarnya kini terlihat lebih bermakna.


Di suatu pagi yang cerah, Handaka duduk di beranda rumahnya. Secangkir kopi mengepul di tangannya, dan di hadapannya terbentang halaman kecil yang penuh dengan tanaman yang tumbuh seadanya.


Handaka berbicara pada dirinya sendiri. "Aku tak bisa lagi hanya menjadi penonton. Aku harus melakukan sesuatu, meski kecil, meski sederhana."


Ia menyesap kopinya, lalu menatap ponselnya yang tergeletak di meja. Jemarinya bergerak cepat membuka kontak seorang teman lamanya, Nara, seorang aktivis lingkungan yang sejak dulu mengajaknya ikut serta dalam berbagai kegiatan.


"Halo, Nara. Ada waktu hari ini? Aku ingin bicara tentang sesuatu."


Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Nara, dengan rambut yang selalu diikat asal dan tas ransel besar yang penuh dengan selebaran, menyambut Handaka dengan senyum hangat.


"Handaka! Sudah lama sekali! Aku kira kau sudah lupa jalan keluar dari rutinitasmu." Nara menghampiri meja Handaka yang sudah lebih dulu menunggu di cafe.


Handaka tersenyum tipis. "Dulu mungkin iya, Nar. Tapi... aku merasa seperti baru saja terbangun dari tidur yang sangat panjang."


Nara membetulkan posisi ranselnya dan menatap Handaka dengan rasa ingin tahu.


Handaka menarik nafas lalu dengan wajah serius ia mulai menjelaskan tujuannya ingin bertemu Nara. "Aku ingin membantu. Aku ingin melakukan sesuatu untuk bumi ini, untuk orang-orang di sekitarku. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."


Nara menghela napas lega, senyum lebarnya kembali muncul. "Kau datang di waktu yang tepat. Minggu depan, kami akan memulai proyek reboisasi di sebuah desa yang terkena longsor akibat hutan yang terus ditebang. Mau ikut?"


Mata Handaka berbinar. "Aku mau."


Seminggu kemudian, Handaka berdiri di tengah tanah merah yang gersang di Desa Lereng Senja. Ia bersama puluhan sukarelawan lainnya memegang bibit pohon kecil di tangan mereka. Udara di desa itu terasa panas dan kering, jauh dari kesejukan yang dulu mungkin pernah ada.


Seorang kakek tua menghampiri mereka, wajahnya penuh keriput, namun matanya menyimpan harapan. "Terima kasih sudah datang, anak-anak. Kami di sini sudah hampir putus asa melihat tanah ini mati perlahan."


Handaka memandang sekeliling. Ada anak-anak kecil yang berlari-lari dengan kaki telanjang, beberapa ibu menggendong bayi, dan para petani tua yang menatap mereka dengan penuh harap.


Handaka berbisik pada dirinya sendiri. "Ini tentang mereka... bukan tentang aku. Ini tentang harapan di tengah kegersangan."


Hari itu, Handaka belajar banyak. Ia belajar bagaimana menanam pohon dengan benar, bagaimana setiap lubang yang digali adalah harapan baru untuk masa depan, dan bagaimana satu pohon kecil bisa menjadi awal dari hutan yang lebat.


Malamnya, setelah seharian bekerja, Handaka duduk di bawah pohon besar yang masih tersisa di desa itu. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah yang basah oleh keringat mereka.


Handaka termenung. Matanya memandang ke arah bibit pohon yang tadi sore ia tanam. "Apakah ini cukup? Apakah pohon-pohon kecil ini akan tumbuh besar? Apakah luka di bumi ini bisa benar-benar sembuh?"


Suara itu kembali datang, namun kali ini dalam hatinya. Lmbut, tenang, namun penuh keyakinan.


Tiba-tiba Suara Misterius yang hadir di mimpinya menggema pelan."Setiap pohon yang kau tanam adalah doa yang menjulang ke langit. Tidak ada usaha yang sia-sia, Handaka. Perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang dilakukan dengan kesungguhan."


Air mata menggenang di sudut mata Handaka. Ia merasa damai.


Waktu berlalu. Bibit-bibit pohon yang ditanam oleh Handaka dan para sukarelawan mulai tumbuh perlahan. Daun-daun kecil mulai bermunculan, dan tanah yang dulu gersang kini mulai bersemi kembali.


Handaka tak lagi sama. Ia kini aktif dalam berbagai kegiatan lingkungan, berbicara di sekolah-sekolah, mengajak anak-anak muda untuk lebih peduli pada bumi mereka.


Di suatu sore, saat ia berdiri di atas bukit yang sama dengan tempat ia pertama kali datang ke Desa Lereng Senja, Nara menghampirinya.


"Kau tahu, Handaka? Kau seperti api kecil di tengah malam yang gelap. Tak terlalu besar, tapi cukup untuk memberi kehangatan dan menunjukkan jalan." Suara Nara di sampingnya sedikit mengagetkannya.


Handaka tersenyum, matanya menatap cakrawala yang mulai berwarna jingga.


Handaka: "Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan, Nar. Aku hanya ingin mimpiku dulu tidak sekadar menjadi bunga tidur yang pudar saat pagi tiba."


Mereka berdua sejenak terdiam. Pandangan ke depan di mana terbantang sebuah desa. Desa Lereng Senja.


Di dalam kamarnya, Handaka menulis sebuah catatan di buku hariannya.


"Aku pernah bertemu dengan suaraku sendiri dalam mimpi. Ia membawaku ke jalan yang penuh pertanyaan, tetapi juga penuh cahaya. Aku tahu aku bukan siapa-siapa di tengah semesta yang luas ini, tetapi aku percaya setiap tindakan kecil bisa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Ini adalah perjalananku, dan aku akan terus berjalan sampai napas terakhirku."


Handaka menutup buku itu, memejamkan matanya, dan tersenyum.


Waktu berlalu dengan cepat. Desa Lereng Senja perlahan berubah. Pohon-pohon yang dulu hanya berupa bibit kecil kini mulai tumbuh tinggi. Sungai kecil yang dulunya kering kini mulai mengalirkan air jernih. Para penduduk desa tersenyum lebih sering, anak-anak kembali bermain dengan bebas di bawah rindangnya pepohonan.


Namun perubahan itu bukan hanya dirasakan di Lereng Senja. Kisah tentang seorang pria bernama Handaka yang datang dengan tekad sederhana untuk menanam harapan telah menyebar ke berbagai tempat. Foto-foto dirinya bersama para sukarelawan tersebar di media sosial, video wawancaranya dengan Nara tentang pentingnya menjaga bumi ditonton oleh ribuan orang.


Suatu pagi, sebuah email masuk ke ponsel Handaka.


"Handaka, saya seorang guru di kota kecil di Jawa Tengah. Murid-murid saya sangat terinspirasi oleh cerita Anda. Kami ingin memulai proyek serupa di lingkungan sekolah kami. Bisakah Anda datang dan berbagi cerita dengan kami?"


Handaka menatap layar ponselnya dengan mata berbinar. Ia menatap Nara lalu membacakan email itu untuk Nara.


"Nara, kita harus pergi ke sana. Jika satu orang bisa menggerakkan sepuluh orang, maka sepuluh orang bisa menggerakkan seratus orang. Ini saatnya kita menyebarkan harapan."


Nara tersenyum dan mengangguk setuju.


Handaka berdiri di depan aula sekolah sederhana. Di hadapannya duduk puluhan anak-anak dengan wajah penuh rasa ingin tahu. Beberapa guru berdiri di belakang, tersenyum dan sesekali mengangguk.


Handaka penuh kecerian berbicara. Mikropon di tangannya. "Dulu, aku berpikir aku terlalu kecil untuk membuat perubahan. Tapi kemudian aku sadar, pohon yang besar selalu dimulai dari benih yang kecil. Tidak peduli seberapa kecil tindakan kita, jika dilakukan dengan cinta dan keyakinan, pasti akan membawa perubahan."


Seorang anak kecil mengangkat tangannya. Handaka menunjuk anak kecil itu lalu mempersilahkan berbicara.


"Kak Handaka, kalau aku cuma bisa menanam satu pohon, apa itu akan cukup?"


Handaka tersenyum lembut. "Satu pohon darimu bisa menjadi rumah bagi burung, bisa menahan tanah agar tidak longsor, bisa menyediakan oksigen untuk kita bernapas. Satu pohonmu punya kekuatan yang besar."


Suara tepuk tangan menggema di aula kecil itu. Handaka merasa hatinya hangat.


Setelah kunjungan ke sekolah kecil itu, gerakan kecil yang dimulai Handaka mulai tumbuh. Sekolah-sekolah lain mengundangnya untuk berbicara memberikan motivasi. Komunitas-komunitas lingkungan mengundangnya untuk menjadi narasumber di acara mereka.


Di sebuah acara di kota besar, seorang mahasiswi mendekati Handaka setelah ia selesai berbicara di atas panggung. Ia menyodorkan spidol dan poster Handaka sedang menanam bibit pohon untuk ditandatangani.


"Kak Handaka, cerita Kakak membuat saya berpikir ulang tentang hidup saya. Saya selalu merasa tidak punya kekuatan untuk mengubah apa pun. Tapi sekarang saya ingin mulai dari hal kecil, mungkin dengan mengurangi sampah plastik di lingkungan saya."


Handaka menatapnya dengan penuh haru. "Itulah awal yang luar biasa. Perubahan besar dimulai dari kesadaran kecil."


Hari itu, Handaka menyadari bahwa cahaya kecil yang dulu ia nyalakan di Desa Lereng Senja kini mulai menyebar.


Beberapa tahun kemudian, Handaka diundang untuk berbicara di sebuah konferensi lingkungan berskala nasional. Ruangan besar itu dipenuhi orang-orang dari berbagai kalangan. Aktivis lingkungan, pengusaha, mahasiswa, bahkan pejabat pemerintahan.


Di atas panggung, dengan mikrofon di tangannya, Handaka berbicara dengan penuh keyakinan.


"...Bumi ini adalah satu-satunya rumah yang kita miliki. Tapi setiap hari, kita terus melukainya dengan tindakan kecil yang kita anggap tidak berarti. Kita sering berpikir bahwa perubahan hanya bisa datang dari orang-orang besar, dari tokoh-tokoh berpengaruh. Tapi kebenarannya adalah, setiap dari kita punya kekuatan untuk membuat perbedaan. Kita semua adalah bagian dari solusi."


Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan. Beberapa orang bahkan tampak menitikkan air mata.


Suatu malam, Handaka duduk di balkon rumahnya. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut. Di tangannya, ada sepucuk surat tulisan tangan dengan tinta biru.


"Kak Handaka, aku menanam satu pohon di halaman belakang rumahku hari ini. Aku menamainya 'Harapan'. Aku ingin pohon ini tumbuh besar dan kuat, seperti cerita Kakak yang kuat. Terima kasih sudah menginspirasi aku. Dari, Rani, 8 tahun."


Air mata mengalir di pipi Handaka. Ia memeluk surat kecil itu ke dadanya dan memejamkan mata.


Handaka berbisik: "Aku bukan siapa-siapa, tapi jika satu anak kecil bisa menanam satu pohon karena kisahku, maka hidupku tidak sia-sia."


Handaka tidak lagi hanya seorang pria yang bermimpi dalam tidur panjangnya. Ia kini adalah simbol harapan, seorang pengingat bahwa tindakan kecil bisa mengubah dunia.


Di banyak tempat, anak-anak menanam pohon dan menamai mereka "Harapan." Di kota-kota besar, orang-orang mulai mengurangi sampah plastik dan peduli dengan lingkungan mereka.


Di bawah langit malam yang penuh bintang, Handaka menatap ke atas dengan senyum kecil di wajahnya.


Handaka berbicara pada suara yang dulu ia dengar dalam mimpi. "Aku telah berjalan sejauh ini. Tapi aku tahu, perjalanan ini belum selesai. Selama aku hidup, selama aku bernapas, aku akan terus menjadi cahaya kecil di tengah gulita."


Angin berhembus lembut, seolah membawa bisikan lembut Suara Misterius. "Dan cahayamu akan terus menyala, Handaka... selamanya."


Setelah sukses dengan gerakan penghijauan di Desa Lereng Senja, Handaka mulai memperluas pandangannya. Kali ini, ia menatap pesisir pantai di sebuah desa kecil bernama Teluk Biru. Desa itu dulunya kaya akan hutan mangrove yang melindungi pantai dari abrasi, tetapi kini hanya tersisa batang-batang mati dan sampah plastik yang menumpuk di garis pantai.


Handaka berdiri di tepi laut bersama Nara, kakinya basah oleh air asin, dan di hadapannya, pemandangan memilukan dari laut yang perlahan mati.


Handaka mengais satu sampah plastik yang diombang-ambing air laut di pantai. "Lihat ini, Nara. Laut ini menangis. Tapi kita masih punya waktu untuk menyembuhkannya."


Nara ikut mengais satu kantong plastik kotor yang melewati kakinya yang terbawa arus ombak. "Tapi ini bukan pekerjaan mudah, Handaka. Sampah plastik sudah menumpuk selama bertahun-tahun, dan masyarakat di sini belum sepenuhnya sadar akan pentingnya mangrove."


Handaka tersenyum. "Bukankah dulu kita juga berpikir menanam bibit kecil di Desa Lereng Senja adalah hal yang mustahil? Kita mulai dari langkah kecil, Nar. Sedikit demi sedikit."


Handaka mulai berinteraksi dengan warga Teluk Biru. Ia mengajak anak-anak sekolah untuk melakukan aksi bersih-bersih pantai setiap akhir pekan. Bersama para pemuda desa, ia membentuk kelompok "Penjaga Mangrove" untuk menanam kembali bibit pohon bakau di sepanjang pesisir.


Di sebuah pertemuan dengan warga, Handaka berdiri di depan mereka, berbicara dengan suara yang mantap.


"...Mangrove bukan hanya sekadar pohon di pinggir pantai. Ia adalah penjaga rumah kita. Akar-akar mangrove menahan tanah agar tak terkikis ombak, menjadi tempat tinggal ikan, dan menyaring limbah yang masuk ke laut. Jika kita kehilangan mangrove, kita kehilangan masa depan."


Seorang nelayan tua bernama Pak Usman mengangkat tangan. "Nak Handaka, kami ini orang kecil. Kami hanya tahu mencari ikan. Bagaimana kami bisa membantu?"


Handaka mendekati Pak Usman, merangkul bahunya. "Pak Usman, setiap tangan yang menanam satu bibit mangrove adalah pahlawan. Tidak peduli siapa kita, yang penting adalah niat dan usaha kita. Ayo, kita lakukan bersama."


Bulan demi bulan berlalu. Pantai yang dulu dipenuhi sampah mulai bersih. Bibit mangrove mulai tumbuh, akarnya mencengkeram tanah dengan kuat. Burung-burung kembali datang, ikan-ikan kecil bermain di sela akar bakau.


Para warga desa mulai melihat perubahan nyata. Mereka sadar bahwa menjaga lingkungan bukanlah hal yang sia-sia.


Handaka menjadi simbol perubahan di Teluk Biru. Namanya dikenal di desa-desa pesisir lain, dan banyak komunitas mulai meniru gerakan yang ia mulai.


Suatu hari, saat matahari terbenam di ufuk barat, Handaka duduk di atas batang mangrove yang sudah tua, menatap laut yang tenang. "Kita bisa menyembuhkan luka ini. Satu pohon, satu tangan, satu langkah pada satu waktu."


Malam itu, Handaka bermimpi lagi. Ia berdiri di tengah hamparan pasir putih yang luas, di bawah langit penuh bintang. Angin sejuk membelai wajahnya.


Suara Misterius itu datang, lembut namun jelas, seperti sahabat lama yang kembali bertemu. "Handaka, waktumu hampir selesai di sini."


Handaka menundukkan kepala. Senyum tipis terukir di wajahnya. "Aku tahu. Tapi aku tenang. Aku telah melakukan yang bisa kulakukan."


Suara Misterius bertanya. "Apa kau puas dengan perjalananmu?"


Handaka tersenyum. Matanya tertuju pada ujung cakrawala. "Puas? Tidak ada kata puas jika berbicara tentang bumi ini. Tapi aku tahu. Aku telah menyalakan api kecil. Dan aku percaya api itu akan terus menyala, bahkan saat aku tiada."


Suara itu hening sejenak sebelum berkata lagi.

 "Warisanmu akan terus hidup, Handaka. Kini, saatnya kau beristirahat."


Perlahan, mimpi itu memudar.


Beberapa bulan kemudian, kabar duka menyebar ke seluruh komunitas lingkungan. Handaka telah pergi untuk selamanya. Ia ditemukan tak bernyawa di pondok kecilnya di Teluk Biru, dengan buku catatan di pangkuannya dan pena yang masih tergenggam di tangan.


Di dalam buku itu, ia meninggalkan sebuah puisi:


"Jika esok aku tiada,

Jangan tangisi langkahku yang selesai.

Lanjutkanlah perjuangan kecil ini,

Karena pohon masih perlu ditanam,

Laut masih perlu dibersihkan,

Dan bumi masih perlu dijaga."


Berita tentang kepergian Handaka menyebar dengan cepat. Ribuan orang dari berbagai daerah datang ke Teluk Biru untuk memberikan penghormatan terakhir.


Beberapa tahun kemudian, di Desa Lereng Senja dan Teluk Biru, pohon-pohon yang pernah ditanam Handaka tumbuh tinggi, membentuk kanopi hijau yang lebat. Hutan mangrove di Teluk Biru kini menjadi ekosistem yang hidup kembali.


Anak-anak sekolah membaca puisi Handaka di setiap upacara bendera. Sekolah-sekolah mengadakan kegiatan penanaman pohon dan pembersihan pantai setiap tahun untuk mengenang perjuangan Handaka.


Di sebuah taman kecil di Teluk Biru. Di pondok kecil yang pernah didiami Handaka terpampang lukisan cat minyak pada kain kanvas. Lukisan Handaka sedang menanam bibit pohon dengan tulisan.


"Untuk Handaka. Api kecil yang menyalakan ribuan cahaya."


Nara berdiri di depan lukisan itu, senyumnya penuh haru. Air mata menetes di pipinya.


Nara berbisik: "Kau berhasil, Handaka. Api kecil yang kau nyalakan kini telah menjadi lautan cahaya."


Di kejauhan, suara ombak bergemuruh lembut, seakan menyanyikan lagu perpisahan yang penuh kedamaian.


Tamat.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)