Masukan nama pengguna
Langit sudah lama kehilangan warnanya. Tidak lagi biru, tidak pula kelabu yang menyejukkan. Ia kini lebih menyerupai kain bekas yang dijemur terlalu lama, kusam dan pudar. Sisa dunia yang pernah hidup kini hanya berupa siluet-siluet retak, tiang listrik bengkok, jendela pecah, bangunan dengan coretan "SELAMATKAN DIRI SENDIRI" yang nyaris mengelupas. Tak banyak yang tersisa.
Di tengah kehancuran itu berdiri sebuah kedai kopi kecil.
Namanya “Emo Roastery” tertulis miring di papan tua yang nyaris lepas dari engselnya. Sebagian hurufnya menghitam karena terbakar, sebagian lagi dipenuhi debu atom yang tak pernah bisa dibersihkan. Namun di balik pintu kayu yang mulai lapuk, kedai itu tetap hidup, atau setidaknya berusaha.
Di dalamnya, aroma kopi masih bergentayangan, menempel di dinding dan plafon, seolah menolak mati bersama dunia.
Seorang pria berdiri di balik meja bar kayu tua. Tubuhnya jangkung, bahunya lebar tapi tak lagi gagah. Rambutnya mulai memutih di sisi kanan, dan tangannya bergetar sedikit saat memegang kain lap, gerakan refleks yang sudah menjadi ritual.
Dia mengelap gelas yang sama untuk ketiga kalinya pagi itu. Tak ada tamu, tak ada suara selain denting kecil dari mesin penggiling biji kopi tua yang sesekali berdecit lirih, seperti napas terakhir makhluk purba.
“Terlalu sepi untuk hari kiamat,” gumamnya.
Dia menatap jendela yang retak-retak seperti tulang patah, mengamati jalan yang kosong. Dulu ada hiruk-pikuk orang-orang dengan setelan kerja, pelajar dengan tas penuh buku, dan sepasang kekasih yang selalu bertengkar soal ukuran kopi.
Sekarang hanya ada bayangan dan angin kering.
Lonceng pintu berdenting. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. Tapi cukup untuk membuat pria itu mendongak cepat, seperti seekor kucing yang masih setia menunggu tuannya.
Pintu terbuka dan satu sosok masuk. Seorang perempuan mengenakan mantel anti-radiasi berlapis baja tipis. Helm pelindungnya berlapis kaca tebal, menutupi wajahnya sepenuhnya. Tapi tatapannya samar di balik helm, cukup untuk membekukan waktu.
Langkahnya mantap. Sepatunya menginjak ubin yang sudah retak, menimbulkan bunyi kecil yang ganjil di ruangan sunyi. Dia mendekat ke meja lalu membuka helm perlahan, memperlihatkan wajah yang tidak asing.
Rambutnya panjang hitam. Kulitnya putih nyaris pucat, sorot matanya masih tajam. Ada luka kecil di bawah bibirnya, mungkin akibat terjatuh atau perkelahian. Tapi lebih dari segalanya, yang paling mencolok adalah ekspresinya, campuran antara lelah, rindu, dan amarah yang ditahan.
Dia menatap pria itu lama.
"Masih jual kopi hitam?”
Suaranya serak, tapi masih menyimpan sisa-sisa nada lama yang pernah dia kenal. Dunia boleh runtuh menjadi puing, tapi nada suara yang satu itu masih mampu mengguncang ruang dada.
Sang barista diam sejenak, lalu menyentuh saklar di mesin seduh manual yang dia rawat seperti anak sendiri. Mesin tua itu menyala perlahan, mengepulkan uap.
“Selalu,” jawabnya pendek.
Perempuan itu meletakkan helmnya di atas meja. Tangannya menggenggam sarung tangan seperti menggenggam rahasia.
“Tanpa gula.” singkat perempuan itu.
“Kopi terakhir di Bumi, dan kamu tetap keras kepala,” sahut barista itu.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, mereka tertawa kecil. Tertawa yang tidak sepenuhnya lucu, tapi cukup untuk membuat dada yang dingin terasa hangat.
Sang barista mulai menggiling biji kopi terakhir dari toples kaca. Dia tak berkata apa-apa. Tangannya bergerak lambat, penuh kehati-hatian. Seperti seorang imam memulai doa pemakaman untuk dunia yang telah wafat.
Uap kopi naik memenuhi ruangan yang sebelumnya hanya berisi debu dan sepi.
Dan di antara aroma robusta yang pekat, dua manusia yang pernah saling mencinta duduk di meja yang sama untuk pertama kalinya setelah dunia berhenti.
Kopi hitam itu disajikan dalam dua cangkir porselen putih dengan retakan halus di bibirnya. Cangkir yang sama seperti sepuluh tahun lalu saat dunia masih bising dan cinta masih sederhana. Tapi kini, hanya kopi yang tetap bertahan. Rasanya, aromanya, dan diam yang menyelimutinya.
Perempuan itu perlahan meniup permukaan cairan gelap di depannya lalu menyesapnya. Dia memejamkan mata sejenak. Sang barista bisa melihat sudut matanya berkedut seolahmenahan sesuatu yang tidak diucapkan.
“Masih pahit,” katanya.
“Karena kamu masih belum belajar memaafkan,” jawab si barista, tanpa senyum.
Perempuan itu menatapnya lama. Matanya menelusuri wajah pria di depannya, kerutan di dahi, garis samar di sudut mata, janggut tipis yang kini lebih kelabu dari hitam. Tapi tatapan itu tak sekadar melihat. Dia sedang menggali.
“Apa kamu masih menyalahkan aku?”
“Sudah terlambat untuk menyalahkan siapa pun,” balas si barista.
“Tapi kamu tetap survive.”
“Karena aku tidak cukup penting untuk dihapus.”
Jawaban itu seperti pisau yang dilempar perlahan, bukan untuk membunuh, tapi cukup untuk memastikan luka lama tetap terbuka.
Perempuan itu menyesap lagi. Suara angin mendesir di luar, menabrak jendela dengan ritme lambat seperti ketukan waktu yang habis.
“Semua orang mati.” lirih perempuan itu.
“Aku tahu.” balas sang barista.
“Tapi kenapa kamu tidak pernah mencariku?”
“Karena kamu pergi tanpa pamit. Tanpa jejak. Tanpa sepatah kata. Aku bukan penjelajah, Aurora. Aku cuma penyeduh kopi.”
Nama itu terucap, akhirnya. Aurora. Seperti ingatan yang muncul kembali ketika rasanya sudah hilang.
Aurora menarik napas panjang. Dia membuka ritsleting mantelnya. Dari dalam tas antiradiasi yang disampirkan di bahunya, dia mengeluarkan selembar foto. Foto lama yang usang dan berwarna kusam.
Foto itu menampilkan mereka berdua berdiri di depan kedai ini sambil tersenyum. Aurora mengenakan apron, dan sang barista mengangkat dua cangkir dengan gaya berlebihan. Di belakang mereka tampak papan nama “Emo Roastery” masih baru, huruf-hurufnya bersinar di bawah sinar pagi.
Aurora meletakkan foto itu di meja.
“Aku tidak pernah lupa.”
“Tapi kamu pergi.”
“Karena aku harus.”
“Tidak ada yang harus pergi tanpa memberi tahu.”
Keheningan menyelimuti mereka. Bukan keheningan yang kosong melainkan yang penuh dengan ucapan yang tidak jadi diucapkan.
Aurora menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan bekas luka panjang di tangannya. Seperti aliran sungai beku. Dia tidak ingin menjelaskan, dan sang barista pun tidak bertanya. Tapi keduanya tahu dunia ini telah menelan banyak hal.
“Apa kamu tetap menyeduh setiap hari?” tanya Aurora pelan.
“Setiap pagi. Untuk siapa pun yang mungkin datang.”
“Termasuk aku?”
“Termasuk kenanganmu.”
Kopi mereka mulai dingin, tapi uapnya masih tertinggal di udara. Seperti sisa hangat dari pelukan yang urung terjadi, dari perpisahan yang tak pernah benar-benar diselesaikan.
Aurora menatap kopi di depannya, lalu bertanya nyaris berbisik, “Menurutmu… rasa apa yang tersisa di kopi terakhir?”
“Mungkin… penyesalan,” jawab sang barista.
“Atau harapan?”
Dia tidak menjawab. Hanya menatap cangkirnya dan mengangkatnya perlahan. Mereka bersulang diam-diam. Tanpa kata, tanpa senyum. Tapi dalam setiap teguknya ada ribuan kalimat yang tak pernah sempat diucapkan.
Sang barista arahkan pandangnya keluar jendela. Pagi itu tampak seperti sore yang kusam. Matahari sudah lama tak muncul. Langit lebih mirip layar rusak yang keliru memancarkan warna.
Aurora membuka tas kecil yang dia bawa. Isinya rapat dan tertata rapi. Berkas-berkas, alat scanner nirkabel, satu tabung pendingin, dan selembar surat resmi yang dilaminasi plastik tipis.
Dia meletakkan surat itu di atas meja lalu menoleh pada sang barista.
“Ini alasan sebenarnya kenapa aku datang.”
Barista menatapnya sekilas lalu menunduk melihat lembaran itu.
OTORITAS SISA-SISA SIPIL INTERNASIONAL
Izin Penjelajahan Zona Residu Emosional
Nama: Aurora Laksmi
Tujuan: Pengumpulan dan Restorasi Jejak Emosi Pascaperadaban
Status: Peneliti Lapangan Tingkat Khusus / Eks-Subjek Emosi Terkait
“Restorasi jejak emosi?” gumam barista. “Apa kalian ingin menghidupkan perasaan?”
“Kami ingin menyelamatkan apa pun yang masih bisa diselamatkan.”
“Manusianya sudah mati, Aurora. Apa gunanya menyelamatkan perasaan yang tak bisa lagi dirasakan?” ujar sang barista sambil meletakkan kertas yang dia baca di atas meja.
Aurora diam, lalu menarik napas panjang.
“Justru karena itu. Dunia ini sudah terlalu lama tanpa rasa. Emosi manusia mungkin satu-satunya hal yang masih bisa disimpan, dan mungkin... bisa dibagikan ulang suatu saat nanti.”
Dia mengangkat sebuah alat kecil seukuran kunci mobil. Sebuah scanner berlapis sensor spektrum lebar. Dia mendekatkannya ke gelas kopi miliknya yang sudah hampir kosong.
Layar kecil di alat itu menyala. Muncul warna-warna samar, membentuk pola-pola tak jelas seperti lukisan abstrak digital.
“Apa itu?”
“Jejak rasa. Setiap gelas kopi menyimpan sisa dari emosi peminumnya. Getaran mikro yang terbaca di cairan, suhu, dan gelas. Kopi itu menyimpan fragmen rasa manusia.”
“Dan kamu pikir aku tahu cara menyeduhnya?”
Aurora mengangguk.
“Kamu barista terakhir yang menyeduh kopi secara manual. Kamu bukan sekadar penyeduh. Kamu penjaga rasa. Kamu menyentuh biji kopi, air, suhu dan semua itu menjadi wadah emosi manusia. Kami ingin merekamnya. Menyimpannya. Mungkin suatu saat akan berguna dan bisa mengajari dunia baru. Bagaimana rasanya mencinta, merindu, atau kehilangan.”
Barista itu tersenyum sinis.
“Aku hanya menyeduh untuk mengingatmu. Aku tidak pernah berniat jadi penyelamat rasa.”
Aurora menatap ke sekeliling kedai. Meja kayu itu masih di tempatnya. Rak-rak penuh buku tua dan botol-botol rempah tak pernah diganti. Bahkan sisa noda di dinding, bekas cangkir yang tumpah dulu saat mereka bertengkar, masih ada di sana. Seolah kedai ini menolak lupa.
Aurora berjalan ke dinding, "Tempat ini...," dia menyentuhnya perlahan, “penuh rasa.”
Sang barista menatapnya diam. Dia berjalan ke sudut rak, membuka laci kayu kecil dan mengeluarkan sebuah toples kaca. Isinya biji kopi hitam, bulat, dan utuh. Tapi jumlahnya hanya beberapa genggam.
“Ini… Biji terakhir dari Ethiopia Utara. Diselundupkan sebelum perang meledak. Setelah ini habis, tak akan ada lagi rasa asli. Semua tinggal imajinasi.”
Aurora menatap biji itu seolah melihat berlian.
“Aku ingin kamu menyeduh satu gelas lagi. Tapi kali ini… untuk disimpan.”
Barista terdiam lama lalu mengangguk pelan. Tidak ada kata setuju, tidak ada penolakan, hanya keheningan sebagai bentuk persetujuan terdalam.
Dia menyiapkan alat seduh manual. Tangannya bergerak menggiling biji dengan ritme tertentu, memanaskan air sampai titik suhu paling tepat, menuangkan air dengan gerakan spiral lambat yang seperti menulis mantra di udara.
Aurora menyaksikan semuanya seperti anak kecil melihat sihir.
“Kamu tahu?” ucapnya pelan, “Rasa pahit di kopi selalu mengingatkanku pada perpisahan terakhir kita.”
“Dan manisnya?”
“Tak pernah sempat terasa.”
Uap kopi naik perlahan, menggumpal seperti kabut di udara. Barista menuangkannya ke dalam gelas alumunium tipis, lalu menutupnya dengan penutup khusus.
Mereka diam cukup lama hingga hanya suara alat pemanas yang terdengar. Suara dunia yang sekarat, tapi belum sepenuhnya mati.
Aurora menyimpan gelas itu dalam tabung pendingin di dalam tasnya.
“Terima kasih.”
“Untuk rasa, atau untuk luka?”
“Untuk keduanya. Karena dunia yang tanpa luka tidak akan memahami cara mencinta.”
Malam turun seperti selimut koyak yang tipis, dingin, dan berlubang di sana-sini. Langit tak gelap, tapi juga tak terang. Di atas reruntuhan kota, hanya lampu-lampu solar bertenaga lemah yang menyala redup.
Di dalam Emo Roastery, generator mulai mendengung lirih. Cahaya kuning temaram dari lampu gantung tua menciptakan bayangan panjang di dinding. Aroma kopi dari cangkir terakhir masih mengambang di udara.
Barista duduk di balik meja, menatap Aurora yang berdiri di depan rak buku.
“Masih menyimpan semua ini?” tanya Aurora, menarik sebuah buku bertajuk Manual Penyeduh Kopi Tradisional.
"Kalau dunia hancur, setidaknya aku ingin kiamatku beraroma arabika.”
“Kamu romantis sekali untuk seseorang yang katanya sudah apatis terhadap cinta.”
Barista tersenyum kecut.
“Romantis hanya berguna kalau masih ada yang mau diajak bicara.”
Aurora meletakkan buku itu, lalu berjalan ke dapur. Dia tahu tata letaknya. Tahu di mana sendok teh disimpan, tahu kompor mana yang harus dipukul dulu agar mau menyala. Dia membuat air panas, bukan untuk kopi tapi untuk dua mie instan yang entah bagaimana masih tersisa.
Mereka makan di meja kecil, seperti dulu saat mereka masih hidup bersama, sebelum Aurora hilang tanpa kabar, dan dunia memutus semua sinyal.
“Kamu tahu,” ujar barista sambil mengunyah, “kalau dunia tak kiamat, mungkin kita tetap saling diam.”
“Tapi dunia kiamat. Dan aku kembali.”
“Kenapa?”
“Karena semua tempat lain sudah hancur. Tapi di tempat ini… aku tahu aku pernah dicintai.”
Kalimat itu menggantung. Tak ada jawaban, tak ada tawa, tak ada air mata, hanya ruang kosong di antara mereka yang diisi suara sendok bertemu mangkuk.
Setelah makan, mereka duduk di depan jendela. Di luar, angin membawa debu fosil yang berkilau samar dalam cahaya lampu. Dunia tampak seperti mimpi buruk yang dilukis dengan tangan lelah.
“Kamu ingat lagu yang dulu sering kita putar di sini?” tanya Aurora.
"The Sound of Silence.”
“Ironis sekali.”
“Tapi akurat.”
“Kalau waktu bisa diputar…”
“Kita tetap akan salah.”
“Tapi setidaknya salah bersama.”
Generator bergetar pelan. Listrik mulai melemah. Lampu berkedip-kedip.
“Aurora,” katanya tiba-tiba.
“Ya?”
“Apa kamu tahu apa rasanya menyeduh kopi untuk orang yang tidak pernah kembali?”
“Apa kamu tahu rasanya berjalan ratusan kilometer hanya untuk menemukan secangkir rasa yang tidak bisa lagi disentuh?”
Mereka saling tatap. Tapi bukan tatapan biasa. Tatapan dua jiwa yang terlalu lama dipisahkan oleh dendam dan waktu, lalu dipaksa bertemu saat tak ada lagi masa depan.
“Besok aku harus pergi,” kata Aurora akhirnya.
“Ke mana?”
“Ke Zona Arang. Mereka bilang ada peninggalan emosi kolektif. Tapi ini bisa jadi misi terakhir.”
“Semua hal terasa misi terakhir sekarang.”
“Mungkin memang sudah waktunya.”
Sang barista bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, izinkan aku membuatkan satu gelas terakhir. Untuk malam ini. Untuk kita.”
“Kopi malam?”
“Aku tidak tahu apakah akan ada esok.”
Aurora tersenyum kecil, matanya agak berkaca. Dia mengangguk.
Sang barista menyeduh dengan tenang. Tanpa kata-kata. Tapi setiap gerakannya terasa seperti ritual pemakaman rasa. Uapnya naik perlahan, memenuhi ruangan seperti kenangan yang menolak pergi.
Mereka duduk berhadapan, gelas di tangan.
“Untuk rasa yang tak sempat diselesaikan,” ucap Aurora.
“Dan untuk malam yang terlalu pendek untuk rindu.”
Mereka bersulang.
Lalu minum perlahan seolah ingin menahan waktu lewat pahitnya kopi terakhir.
Fajar datang dengan keheningan yang lebih tebal. Aurora belum tidur. Dia duduk di kursi dekat meja bar, menatap mesin seduh tua berwarna tembaga yang berdiri seperti altar suci. Tangannya menyentuh tombol-tombol di permukaannya dingin, berdebu, tapi masih hidup.
Barista berdiri di seberang meja, memandangi Aurora.
“Mesin ini,” gumam Aurora, “...bukan mesin biasa, kan?”
Barista tidak langsung menjawab. Dia berjalan ke arah rak belakang, membuka sebuah laci tersembunyi, dan mengeluarkan benda kecil, sebuah drive data berbentuk tabung logam pendek, lalu meletakkannya di meja.
“Apa itu?”
“Emosi.”
Aurora mengerutkan kening. Barista melanjutkan dengan tenang.
“Sepuluh tahun terakhir, setiap kopi yang kuseduh, setiap tetesnya menyimpan jejak rasa peminumnya. Entah mereka datang karena putus cinta, karena kehilangan anak, karena luka perang, atau hanya karena ingin merasa manusia sebentar saja. Semuanya terekam di mesin ini.”
Ia menunduk.
“Aku tak tahu sejak kapan, tapi kupikir awalnya cuma kebetulan. Sampai aku sadar, setiap kopi menyimpan semacam... gema. Bukan aroma. Bukan rasa. Tapi jejak. Getaran mikro diserap oleh elemen dalam mesin. Aku hanya... tidak bisa menjelaskannya secara ilmiah.”
Aurora mendekat. Matanya tak berkedip menatap mesin.
“Kamu menyimpan semua itu?”
“Ya. Dalam drive ini. Semua rasa manusia terakhir yang mampir ke sini sebelum dunia padam.”
Aurora mengambil drive itu perlahan. Tangannya gemetar. Dia menautkan alat pembaca portabel ke tabung tersebut dan menyalakan proyektor hologram kecil.
Layar di udara muncul. Gambar acak bergerak seperti ombak, abstrak, bergelombang, lalu perlahan berubah menjadi pola-pola stabil.
Lalu… suara mulai muncul.
Potongan suara.
Tawa.
Isakan.
Bisikan.
Doa.
“Aku merindukannya…”
“Maafkan aku…”
Dan bahkan suara tertahan, “Aku ingin hidup…”
Aurora menutup mulutnya. Air matanya menetes perlahan. Dadanya sesak.
“Ini… bukan sekadar data. Ini museum rasa.”
Barista mengangguk.
“Aku tak punya teknologi untuk memprosesnya. Tapi kamu punya akses. Kamu bisa menyimpan ini. Sebarkan. Ajarkan pada dunia baru bagaimana rasanya kehilangan. Rasanya mencintai. Bahkan... rasanya menyerah.”
Aurora menatapnya, ada campuran takjub dan takut di wajahnya.
“Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang ini sebelumnya?”
“Karena aku menyimpannya untukmu. Untuk hari kamu kembali.”
“Kenapa?”
“Karena semua rasa yang ada di sini… dimulai dari kamu.”
Dia menunjuk satu pola tertentu di layar. Aurora memperbesar data itu. Sebuah fragmen muncul berupa suara bisikan lama, rekaman samar dari sepuluh tahun silam.
"Untuk Aurora. Cangkir pertama, ciuman pertama. Pahitnya manis. Manisnya menyakitkan. Tapi aku akan menyeduhnya lagi… kalau kamu kembali.”
Aurora menutup mata. Air matanya jatuh berderai.
“Kenapa kamu tetap menyimpan rasa… meski aku meninggalkanmu?”
“Karena rasa tidak memilih. Ia tinggal di mana pun ia dilahirkan.”
Ruangan itu mendadak terlalu sempit. Suara generator, suara derit jendela, semuanya memudar. Yang tersisa hanya dua manusia yang saling menyimpan luka, tapi tak pernah saling membuang kenangan.
Aurora memeluk drive itu seolah memeluk dunia.
“Aku akan membawanya. Aku akan menyelamatkan semua ini. Dan aku akan ceritakan ke generasi baru… bahwa peradaban tak diukur dari teknologi, tapi dari kemampuan mereka mencintai.”
Barista menatapnya.
“Kalau begitu, tinggal satu hal terakhir.”
“Apa itu?”
“Kopi terakhir. Untukmu.”
Waktu tidak pernah benar-benar berhenti, tapi di dalam Emo Roastery, pagi itu terasa seperti jeda yang disengaja oleh semesta.
Aurora duduk di bangku kayu yang sama tempat dia pernah tertawa sepuluh tahun silam, kini dengan punggung sedikit membungkuk dan napas yang lebih berat dari biasanya. Di depannya, sang barista sedang menyeduh secangkir terakhir, kopi terakhir dari biji terakhir, dalam dunia yang sudah tak lagi mempercayai rasa.
Air panas dituangkan dengan gerakan spiral, perlahan, penuh perasaan.
Filter kertas basah.
Aroma pahit menyeruak.
Ruang sunyi dipenuhi uap dan kenangan.
“Untuk siapa kali ini?” tanya Aurora pelan.
“Untukmu.”
“Aku sudah mendapatkannya semalam.”
“Itu kopi untuk rindu. Yang ini... untuk kepergian.”
Aurora terdiam. Lalu tertawa pelan, seperti seseorang yang baru sadar bahwa segala hal indah memang datang saat semua hampir berakhir.
“Kamu tahu,” katanya, “di zona lain, kami kehilangan banyak hal. Bahasa. Musik. Bahkan cerita rakyat. Tapi yang paling dulu hilang adalah rasa. Kami makan untuk hidup, bukan karena lapar. Kami berbicara untuk efisiensi, bukan untuk menyapa.”
Dia menatap gelas yang disodorkan barista.
“Dan kamu… tetap menyeduh rasa untuk yang tak kembali.”
Barista duduk di seberangnya. Cangkir terakhir disajikan di antara mereka, bukan untuk diminum sendiri, tapi untuk dibagi.
“Kopi ini,” katanya, “tidak hanya pahit. Ia mengandung semua yang tak sempat diucapkan. Semua yang pernah kita simpan dalam diam.
“Kamu percaya rasa bisa bertahan… bahkan setelah dunia tak ada?”
“Bukan rasa yang bertahan. Tapi ingatan.”
Mereka bersulang tanpa menyentuhkan gelas. Sekadar gerakan sunyi. Lalu minum bersama, perlahan. Menyesap bukan untuk menghilangkan dahaga, tapi untuk mengenang.
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Karena di dalam secangkir kopi itu, semua kata telah larut.
Aurora berdiri. Dia menyimpan drive kecil di dalam saku tahan radiasi, lalu menatap barista lama seperti menatap rumah yang tak akan pernah bisa ditinggali lagi.
“Apa kamu tak mau ikut? Ke zona hijau? Mereka butuh orang sepertimu. Penjaga rasa.”
“Tempatku di sini. Di reruntuhan ini, di kursi ini, bersama rasa yang tak pernah pergi.”
Aurora mengangguk. Dia tahu tak bisa memaksa. Beberapa jiwa memang dilahirkan untuk tinggal di masa lalu, bukan karena lemah, tapi karena seseorang harus menjaga pintu kenangan tetap terbuka. (Dalem banget nih...)
Aurora melangkah menuju pintu. Tapi sebelum keluar, dia berhenti.
“Kopi pagi ini…” katanya, menoleh. “…rasanya seperti pelukan yang tak terjadi.”
“Karena itu memang untukmu yang akan pergi.”
Pintu berdenting pelan saat dia membuka dan menutupnya.
Sang barista tetap duduk, menatap gelas kosong. Uap terakhir masih mengambang, seperti bayangan yang enggan berlalu. Di luar, suara langkah Aurora makin menjauh, lalu menghilang di antara debu dan cahaya palsu pagi.
Kedai kembali sunyi.
Barista menutup mata sejenak, lalu berdiri. Melangkah ke mesin seduh. Membersihkannya perlahan. Dengan penuh cinta yang tak perlu ucapan.
Karena bahkan di dunia yang sudah tidak mempercayai apa pun, dia tahu satu hal tetap nyata: Rasa.
Selesai