Masukan nama pengguna
D.I.D
Hujan turun deras membuat senja terasa lebih gelap dari biasanya. Angin membawa bau tanah basah dan suara pintu-pintu yang berderit.
Hilda baru saja pulang. Kos-kosannya sepi, hanya deru hujan dan gelegar petir yang terdengar.
Dia lipatkan payung motif zebra yang masih agak basah. Saat dia hendak membuka pintu kamarnya, matanya terpaku pada sesuatu. Secarik kertas terselip di bawah pintu.
Tangannya gemetar saat mengambilnya. Di atas kertas itu hanya ada satu kalimat, ditulis dengan spidol merah.
"JANGAN MASUK."
Hilda menelan ludah. Keningnya mengernyit. Ia menoleh ke kanan dan kiri lorong kos-kosan. Kosong. Lampu di ujung lorong berkedip sesekali.
Ia mencoba tertawa kecil menenangkan dirinya sendiri.
"Dasar orang iseng," gumamnya. Namun benaknya seperti memberitahunya bahwa dia mengenali tulisan itu.
Hilda merogoh tasnya dan mengambil kunci dengan gantungan boneka panda hitam putih. Saat dia memasukkan kunci ke dalam lubang kunci, suara langkah kaki terdengar dari dalam kamarnya.
Tap. Tap. Tap.
Dia sejenak membeku kemudian mendekatkan telinganya ke pintu.
"Siapa di dalam?" teriaknya mencoba terdengar berani.
Tak ada jawaban. Hanya suara langkah itu makin mendekat ke pintu. Dia mundur satu langkah.
Hilda merasa bimbang. Ada perasaan ingin berlari atau membuka pintu. Namun kakinya seolah terpaku ke lantai. Dadanya berdegup kencang.
Tiba-tiba, sebuah tangan meraih bahunya dari belakang.
Hilda menjerit, menoleh, payung diangkat siap menghantam siapa pun yang berani menyentuhnya.
Tapi yang berdiri di belakangnya adalah Pak Wito, penjaga kos yang sudah tua.
"Ada apa, Nak Hilda?" Tanya Pak Wito yang melihat Hilda seperti ketakutan.
Hilda hampir menangis. Napasnya tak beraturan. Keningnya penuh bulir keringat.
"Saya menemukan kertas dengan tulisan ini, Pak. Saya juga mendengar suara langkah dari dalam, padahal kamar saya kunci. Gimana ini, Pak?" tanyanya ketakutan.
Pak Wito membaca tulisan di kertas itu. Sejenak dia berpikir sambil menatap pintu.
"Kita dobrak saja sama-sama," katanya. "Tapi tunggu sebentar," Pak tua itu berjalan menuju halaman dan mengambil linggis kecil dekat pot tanaman.
Dengan hati-hati, Hilda berdiri di belakang Pak Wito.
"Tunggu Pak..." Ucap Hilda mengagetkan pak tua itu. "Gak usah didobrak. 'Kan ada kuncinya. Buka saja pintunya."
Pak Wito lalu memegang gagang pintu dan memutarnya. Pintu terbuka dengan bunyi derit keras.
Ruangan itu gelap. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Hilda mengernyitkan kening namun tetap waspada.. Napasnya masih memburu. Dia masuk perlahan lalu menyalakan lampu.
Pak Wito berdiri terdiam di ambang pintu, seolah berpikir keras.
"Aneh, tadi jelas-jelas saya dengar suara langkah orang..." kata gadis usia 20 tahun itu pelan.
Hilda melangkah memeriksa dan menyalakan semua lampu. Semua terlihat normal. Dia menarik napas lega merasa malu sendiri karena terlalu paranoid.
Sambil tertawa kecil, dia berbalik untuk berterima kasih pada Pak Wito. Tapi pak tua itu sudah menghilang.
Hilda merasa bingung lalu melangkah ke arah pintu, kemudian memalingkan wajahnya ke kiri dan kanan. Matanya menyapu seluruh lorong namun Pak Wito sudah tidak kelihatan. Dia pun lalu masuk dan menutup pintu, namun dia tersentak saat mendapati selembar kertas menempel di balik pintu dengan tulisan
"JANGAN PERCAYA SIAPA PUN."
Hilda mundur perlahan, matanya terpaku pada tulisan itu. Dadanya kembali berdegup kencang. Rasanya ingin kabur, ingin berteriak, tapi seluruh tubuhnya seperti terkunci rasa takut.
Dengan wajah penuh kepanikan dia pun lekas membuka pintu kembali dan keluar dengan tergesa.
Hujan sudah reda namun tetesannnya yang jatuh dari genteng masih sesekali terdengar. Di lorong dia berdiri tertegun. Pikirannya penuh pertanyaan. Perlahan, dia mendengar suara...
"Kreeekk..."
Suara itu datang dari arah dapur umum di ujung lorong. Langkah-langkah berat, seolah seseorang sengaja menggeser-geser kakinya di lantai.
Hilda menoleh ke kiri, ke kanan. Kos-kosan ini biasanya ramai, tapi entah kenapa sore itu kosong melompong. Hanya suara tetesan sisa hujan dan langkah kaki berat yang terus mendekat.
Dia mengepalkan tangan. Kalau ini mimpi buruk, dia harus bangun sekarang.
Tapi tidak. Ini nyata. Terlalu nyata.
Tiba-tiba, suara langkah itu berhenti.
Hening.
Dari balik kegelapan dapur muncul sebuah bayangan.
Bukan Pak Wito. Bukan siapa pun yang dikenalnya.
Seorang dengan hoodie hitam menutupi wajahnya. Di tangannya, berkilat sebuah pisau panjang.
Hilda hampir pingsan. Namun, naluri bertahan hidupnya menyelamatkannya. Dia berlari secepat mungkin menuju tangga darurat di ujung lorong
Sosok dengan hoodie hitam itu berteriak marah dan mengejarnya.
Duk duk duk!
Langkah menggema di sepanjang lorong sempit itu.
Sampai di tangga darurat, Hilda nyaris terpeleset.
Dia menoleh. Sosok itu sudah semakin dekat.
Dalam kepanikan, tangannya meraih gagang pintu dan tak sengaja membuka pintu dengan nomor 220 itu.
Tanpa pikir panjang, dia menerobos masuk. Tapi saat pintu tertutup di belakangnya dia sadar, kamar itu kosong. Gelap. Hanya sedikit cahaya dari lampu LED kecil.
Tak ada kasur, tak ada meja, bahkan jendela pun tidak ada.
Dari ujung ruangan terdengar suara bisikan pelan.
"Selamat datang di permainan kami, Hilda."
Hilda mundur namun tetap waspada mencari sumber suara. Saat punggungnya menyentuh pintu, tangannya refleks memutar gagang pintu. Namun terkunci. Dia terus berusaha memutar-mutarnya. Tapi sis-sia, tetap terkunci.
Tiba-tiba sebuah lampu menyala otomatis di langit-langit, menyinari satu sudut ruangan. Ada kamera CCTV kecil menatap langsung ke arahnya.
Dan di bawah kamera itu, muncul layar kecil di dinding.
Tertulis:
"Selesaikan teka-teki ini sebelum dia menemukanmu."
Detak jam terdengar—tik-tik-tik—seperti bom waktu tak kasatmata.
Selembar kertas yang tertempel dekat lampu yang menyorot itu tiba-tiba jatuh dan melayang jatuh ke lantai.. Tangannya gemetar saat mengambil dan membaca:
"Kau punya tiga pintu untuk keluar. Pilih pintu yang benar, atau tetap terkurung selamanya.
Pintu di balik cermin.
Pintu di bawah lantai.
Pintu di balik bayanganmu."
Hilda menahan napas. Dia menoleh ke salah satu sisi dinding, ada cermin tua retak. Di lantai, tampak papan kayu yang agak terangkat. Dan di tembok belakang, bayangannya sendiri menari karena lampu bergoyang. Tapi anehnya, bayangan itu seperti sedang menertawakannya..
Mana yang harus dia pilih?
Dari balik pintu, suara langkah kaki pria berhoodie terdengar bolak-balik seolah menunggunya keluar.
Hilda menggigit bibirnya, lalu memejamkan mata, berdoa dalam hati.
Dia menahan napas. Bayangannya di dinding tersenyum. Bukan senyuman dirinya. Senyum itu miring, jahat, seolah mengundangnya untuk mendekat.
Dengan tangan gemetar, Hilda perlahan berjalan ke arah bayangannya sendiri.
Setiap langkah, senyum itu makin lebar, seakan hidup.
Dia mengulurkan tangan, menyentuh dinding di mana bayangan itu menempel. Dinding itu dingin. tapi saat jari-jarinya menyentuh bayangan, terdengar suara klik kecil.
Tiba-tiba, dinding itu retak bergemeletak, muncul garis samar membentuk pintu tersembunyi. Sedikit ragu, Hilda mendorongnya. Pintu itu terbuka perlahan, menguarkan bau tanah basah dan besi karat.
Gelap. Tapi di kejauhan, ada setitik cahaya merah menyala.
Hilda melangkah masuk.
Begitu melewati ambang pintu, dia merasakan hawa aneh. Ruangan ini seperti lorong panjang bawah tanah. Dindingnya terbuat dari batu kasar, dan di sepanjang lorong, berjejer cermin-cermin tinggi.
Namun di setiap cermin itu, bayangan Hilda bukan sekadar pantulan. Bayangan dirinya itu bergerak sendiri. Tersenyum. Mengangguk. Membisikkan sesuatu yang tak terdengar.
Hilda mempercepat langkahnya. Suara kakinya bergema di lorong panjang itu.
Sampai ia tiba di ujung lorong, sebuah ruangan kecil dengan satu kursi kayu, satu meja, dan sebuah kotak besi di atasnya.
Di dinding ruangan tertera pesan besar dengan cat merah:
"Pilih: Dirimu atau Kebenaran."
Hilda mendekat. Di atas meja, ada dua benda. Sebuah kunci kecil berukir angka 149 dan sebuah foto tua bergambar dirinya sedang berdiri bersama orang-orang asing, sosok berhoodie, Pak Wito, dan beberapa orang lain yang belum pernah dia kenal.
Jantung Hilda berdegup kencang.
Apa maksud semua ini?
Kenapa ada foto dirinya bersama orang-orang ini?
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara berat menggema di seluruh ruangan, seolah datang dari speaker tersembunyi:
"Ambil kunci, kau akan bebas tapi tetap bodoh.
Ambil foto, kau akan mengetahui kebenaran tapi mungkin tidak bertahan hidup."
Hilda menatap kedua benda itu. Tangannya bergerak perlahan bergetar saat mengambil foto tua itu. Begitu jari-jarinya menyentuhnya, seluruh ruangan bergetar seolah ada sesuatu yang dilepaskan.
Mendadak lampu meredup, lalu menyala terang menyilaukan sekejap, membuat Hilda menutup matanya dengan lengannya, kemudian normal lagi. Di sekelilingnya, dinding lorong berubah tak lagi batu kasar, melainkan deretan layar besar yang menampilkan rekaman video.
Hilda melangkah mundur ketakutan.
Semua layar itu menampilkan dirinya.
Tapi anehnya, dalam setiap video, ia terlihat berbeda, kadang tersenyum kejam, kadang memegang pisau, kadang sedang mendorong seseorang ke jurang.
"Ini... apa ini... ini bukan aku," bisiknya gemetar.
Suara berat itu muncul lagi dari speaker:
"Itu dirimu. Bagian yang kau kubur dalam-dalam. Bagian yang ingin kau lupakan."
Hilda mengguncang kepalanya dengan tangannya keras-keras.
"Tidak! Aku bukan pembunuh!"
Video-video itu berganti cepat. Semua memperlihatkan momen-momen yang tak pernah dia ingat:
Dia di lorong kosan, menyeret sesuatu yang berat.
Ia menyusup ke kamar tetangga.
Ia menulis pesan "JANGAN MASUK" dengan spidol merah.
Semuanya dirinya sendiri.
Hilda jatuh terduduk, tak percaya. Wajah dan lehernya berlumur keringat yang membasahi bajunya.
Di hadapannya, foto itu kini berubah, bukan lagi foto dirinya bersama orang asing, tapi foto dirinya sendiri, tersenyum sambil memegang pisau berlumur darah.
"Kau pikir kau korban di permainan ini?"
"Tidak, Hilda."
"Kau adalah permainannya."
Suara itu tertawa kecil, menggema di seluruh ruangan. Tiba-tiba, bayangan-bayangan di cermin-cermin sepanjang lorong hidup, berjalan ke arahnya.
Semuanya Hilda, dengan senyum dan tawa mengerikan.
Hilda berusaha berdiri dan berlari. Tapi bayangan-bayangan itu mengelilinginya.
Mereka berbisik serempak:
"Sudah waktunya, Hilda. Ini rumahmu."
Lampu ruangan berkedip tiga kali. Meredup.
Lalu semuanya gelap.
Menjelang malam, kos-kosan itu kembali ramai. Esok harinya, smua orang bertanya-tanya, ke mana Hilda?
Kamar 220 tetap kosong.
Tapi setiap malam, beberapa penghuni bersumpah melihat suatu bayangan di ujung lorong...
Hilda dan Bayangannya
Hilda dibesarkan di sebuah kota kecil yang tampaknya damai, tetapi jauh di dalam hatinya, ada kegelapan yang terus mengintai. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dengan orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka. Ibunya adalah seorang wanita yang selalu merasa terbebani oleh kehidupan, sedangkan ayahnya, seorang pria yang keras, jarang ada di rumah. Kedua orang tuanya sering bertengkar, dan meskipun dia berusaha untuk melupakan dan mengabaikan keributan itu, suara bentakan dan perdebatan selalu menorehkan luka yang mendalam dalam jiwa anak kecil yang tak tahu harus berbuat apa.
Pada usia 9 tahun, tragedi besar terjadi dalam hidupnya. Ayahnya mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya, meninggalkan dia dan ibunya dalam keadaan cemas dan tak berdaya. Ibunya, yang sudah lama merasa tertekan, mulai menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional yang semakin parah. Ia menjadi lebih tertutup, enggan berinteraksi dengan Hilda, dan sering kali menyalahkannya atas semua masalah yang mereka hadapi. Hilda, meski masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya, mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya, perasaan kesepian yang mendalam dan ketakutan akan ketidakpastian masa depan.
Namun, pada usia remaja, Hilda menemukan cara untuk mengatasi perasaan tersebut, yaitu menghindari kenyataan. Ia mulai menciptakan dunia imajinernya sendiri, tempat di mana ia bisa merasa aman. Dunia yang penuh dengan hal-hal yang terkendali, di mana ia bisa mengendalikan apa pun yang terjadi. Di dalam dunia imajinernya, ia merasa bisa menjadi orang yang berbeda, orang yang kuat dan bisa mengatasi segala hal, meski kenyataannya jauh dari itu.
Di sekolah, Hilda dikenal sebagai gadis yang ceria, aktif, dan pandai bergaul. Namun, di balik senyumnya yang selalu terpancar, ada rasa kosong yang tak kunjung hilang. Saat malam tiba, ia sering terbangun dari mimpi buruk yang tak bisa ia ingat. Kadang-kadang, ia mendengar suara-suara aneh di rumah, langkah kaki yang berderap di lorong kosong, atau bisikan halus yang memanggil namanya. Ia selalu mengabaikannya, berpura-pura bahwa itu hanya imajinasi belaka.
Semuanya berubah saat ia memasuki usia 20 tahun. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya, sesuatu yang lebih gelap dan menakutkan. Suatu hari, saat sedang membuka album foto lama, dia menemukan foto keluarga yang sudah usang, salah satunya foto keluarganya yang masih utuh, sebelum kecelakaan ayahnya. Saat ia menatap foto itu, sesuatu dalam dirinya pecah. Ada gambar dirinya, seorang gadis kecil, yang tersenyum bahagia di samping ayah dan ibunya. Namun, pandangan matanya tidak seperti biasanya, ada keheningan dalam tatapannya, seolah-olah ia sedang menyimpan sesuatu yang sangat gelap, sesuatu yang tersembunyi.
Saat itulah dia mulai merasakan gangguan psikologis yang lebih kuat, yang mulai mempengaruhi kehidupan sehari-harinya. Ia mulai merasa cemas yang berlebihan, sering kali terjebak dalam perasaan tak terkendali yang muncul secara tiba-tiba. Pikiran-pikiran gelap mulai menghantuinya, pikirannya mulai dipenuhi dengan perasaan bersalah, perasaan bahwa ia adalah bagian dari penyebab kecelakaan ayahnya. Kenapa ia tidak bisa menyelamatkannya? Kenapa ia tidak bisa mencegah semuanya?
Hilda mulai merasa bahwa dirinya bukanlah dirinya yang sebenarnya, ada sesuatu yang salah dengan siapa dirinya. Ia merasa terpecah antara dua dunia; dunia terang, tempat ia berusaha tampak baik-baik saja, dan dunia gelap yang berisi segala ketakutan, kekacauan, dan perasaan bersalah yang tersembunyi jauh di dalam dirinya.
Ia mulai mengalami gangguan tidur yang parah, sering kali terbangun di tengah malam dengan keringat dingin, merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasinya dari balik bayangannya. Saat ia melihat cermin, kadang ia merasa tidak mengenali dirinya sendiri. Wajah yang biasa ia lihat kini tampak asing, penuh dengan keraguan dan kebingungan. Seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik matanya, sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
Hari-hari berlalu, dan Hilda mulai merasa semakin terperangkap dalam pikirannya sendiri. Suatu hari, di tengah keputusasaan, ia memutuskan untuk pergi ke psikolog. Namun, sesi-sesi terapi itu justru membuka pintu bagi kenyataan yang lebih kelam. Ia mulai menyadari bahwa perasaan-perasaan gelap yang ia coba hindari selama ini bukanlah hal yang bisa disembunyikan begitu saja. Kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal bukanlah satu-satunya trauma yang ia simpan, ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah ketakutan yang terus menghantuinya.
Psikolog itu akhirnya membantu Hilda membuka kembali ingatan-ingatan masa kecilnya yang terpendam, dan di sana, terungkaplah kebenaran yang selama ini ia coba lupakan: ia pernah menyaksikan sesuatu yang mengubah segalanya. Sebelum kecelakaan ayahnya, ada satu kejadian yang melibatkan dirinya, sebuah kejadian yang penuh dengan kekerasan dan ketakutan yang tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Ia melihat ayahnya berperilaku kasar, memukul ibunya, dan dalam sekejap, Hilda merasa dirinya yang masih kecil ikut bertanggung jawab atas peristiwa itu.
Semua ini membentuk trauma psikologis yang mendalam. Dia tidak hanya kehilangan ayahnya, tetapi juga kehilangan dirinya sendiri dalam proses tersebut. Ia terperangkap dalam sebuah konflik internal, antara sisi dirinya yang ingin terus hidup dalam kebohongan dan sisi gelap yang ingin mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan.
Dan inilah awal mula gangguan psikologis yang dihadapinya, kombinasi antara penghindaran terhadap kenyataan, konflik batin antara sisi terang dan gelap dirinya, serta trauma yang terus menggerogoti jiwanya, membentuk sebuah lingkaran setan yang semakin sulit untuk dihindari.
"Saya rasa unruk sesi hari ini sudah cukup. Saya menyarankan maksimal minggu depan untuk sesi berikutnya." Ujar psikolog itu dengan nada lembut.
Hilda tidak langsung menjawab. Dia berpikir sejenak, tangannya masih memainkan gantungan kunci panda.
"Baiklah. Nanti saya akan menghubungi ibu lagi untuk menjadwalkan sesi berikutnya." Jawab Hilda. Kemudian dia pun pamit.
Di luar, mendung tebal menggelayut. Tetes-tetes hujan mulai turun. Hilda kembangkan payung motif zebra di tangannya lalu melangkah tergesa menuju halte bus yang tak jauh dari tempat praktik psikolog.
***