Cerpen
Disukai
2
Dilihat
4,961
Kematian Kuda Sang Panglima
Drama

Matahari sudah menuju barat ketika Panglima Wira Bumi melangkah ke halaman rumahnya. Napasnya berat, dada penuh semangat. Hari ini ia berencana menunggangi Wanaga, kuda kesayangannya, menuju barisan prajurit untuk latihan.

Panglima berteriak ke salah satu prajurit jaga, "Mana kudaku?"

Satu prajurit berlari ke kandang kuda, lalu tak lama kemudian ia kembali dan langsung bersimpuh di depan panglima.

"Maaf Tuanku.. kuda Tuan tergeletak di kandang".

"Apa maksudmu, prajurit?" Bentak Panglima sambil bergegas menuju kandang. Di hadapannya, kuda kebanggaannya tergeletak kaku. Matanya kosong, mulutnya terbuka sedikit, seolah kehabisan napas terakhir dengan penuh penderitaan.

Panglima Wira mencengkram gagang pedangnya, matanya merah penuh amarah.

“Sambodo!” suaranya menggelegar di seluruh istana.

Dari sudut kandang, seorang lelaki tua berlari tergopoh-gopoh. Pakaian lusuhnya hampir tersangkut di pagar kayu. Begitu tiba di hadapan Panglima, ia langsung bersimpuh, tubuhnya gemetar seperti daun tertiup angin.

“Ampun, Panglima… ampun…” suara Sambodo bergetar.

Panglima Wira melangkah maju, sorot matanya menekan seperti pisau tajam. “Kenapa kudaku?”

Sambodo menunduk makin dalam. “Hamba… hamba tidak tahu, Panglima… Saat hamba kembali ke kandang, kuda itu sudah tergeletak”

“BOHONG!” bentak Panglima.

Sambodo tersentak, hampir jatuh saking takutnya. “Ha...hamba bersumpah, Panglima… hamba tidak tahu…”

“Bagaimana bisa kau tidak tahu?! Kau pengurus kuda! Kau yang memberi makan dan merawatnya!” Panglima Wira mengangkat kakinya, siap menendang lelaki tua itu.

Namun, sebuah tangan kokoh menahan bahunya. Patih Arya, penasihat utama kerajaan, berdiri tegak di sampingnya. “Tunggu, Panglima. Kita dengarkan dulu baik-baik.”

Panglima menggeram, ia urung menendang lelaki tua itu lalu menurunkan kakinya. “Bicara, Sambodo. Ceritakan semuanya.”

Sambodo menelan ludah, suaranya masih gemetar. “Pagi tadi kuda Paduka ditunggangi oleh putra Paduka sendiri. Beliau berkata sudah mendapat izin dari Paduka.”

Dahi Panglima berkerut. “Anakku? Aku tidak pernah memberinya izin.”

Sambodo melanjutkan, “Beliau membawa kuda ke luar istana. Hamba tidak tahu ke mana perginya. Saat beliau kembali siang hari, hamba melihat kuda sudah kaku, tapi hamba pikir hanya kelelahan biasa. Hamba sudah melapor ke kepala pasukan."

Panglima Wira mengepalkan tinjunya. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah.

Patih Arya mengangguk. “Kita butuh lebih banyak jawaban.” Ia menoleh ke salah satu pengawal. “Panggil kepala pasukan. Dan panggil juga putra Panglima.”

Langkah tergesa-gesa terdengar mendekati kandang. Dari lorong istana, seorang lelaki berperawakan tegap berjalan cepat menuju Panglima Wira. Kepalanya sedikit tertunduk, tangan bersedekap di dada. Begitu sampai di hadapan panglima, ia langsung menghaturkan sembah.

“Ampun, Panglima,” suaranya tegas namun penuh penyesalan. “Hamba hendak melaporkan kejadian ini sejak tadi siang, namun saat itu Paduka sedang beristirahat.”

Sebelum Panglima Wira sempat berbicara lebih jauh, langkah kaki lain terdengar. Kali ini lebih ringan, namun penuh keraguan. Seorang pemuda dengan jubah biru tua dan sabuk kulit berwarna emas berdiri di ambang pintu kandang. Wajahnya menegang, matanya gelisah. Ia adalah Jaka Wira, putra Panglima.

Pemuda itu maju beberapa langkah, lalu menjatuhkan satu lututnya ke tanah. “Ayah… maafkan saya.”

Wira menahan geramnya. Tangannya terkepal, tapi ia menarik napas panjang, mencoba meredam amarah yang mendidih dalam dadanya. “Jelaskan.”

Jaka Wira menunduk dalam, sebelum akhirnya mulai bercerita. “Siang tadi, saya membawa Wanaga keluar istana. Saya hanya ingin melatihnya di lapangan terbuka, menguji kecepatannya.”

Panglima Wira pelototkan matanya. “Kau tahu itu kuda tempur. Tidak bisa kau pakai sembarangan.”

“Saya tahu, Ayah…” Jaka Wira semakin menunduk. “Tapi saya ingin merasakan bagaimana rasanya menungganginya di luar medan latihan. Saya tidak bermaksud buruk.”

Panglima Wira tetap diam, menunggu lanjutan cerita.

“Saat perjalanan pulang…” Jaka Wira menelan ludah, “Wanaga tiba-tiba terhuyung. Saya pikir dia hanya kelelahan, jadi saya menarik tali kendali lebih pelan. Tapi beberapa langkah kemudian, dia jatuh tergeletak ke tanah.”

Sambodo yang masih bersimpuh di dekat mereka menatap Jaka dengan perasaan takut. “Màfkan hamba. Apakah saat itu Wanaga terluka, Tuan Muda?”

Jaka menggeleng cepat. “Tidak. Aku periksa kakinya, tubuhnya, tidak ada luka. Tidak ada darah. Tapi dia… aneh.”

“Aneh bagaimana?” tanya Patih Arya, suaranya tenang namun penuh perhatian.

Jaka menatap semua orang, lalu melanjutkan, “Matanya terpejam, badannya kaku seperti patung. Para prajurit yang menemaniku langsung turun membantu. Mereka mencoba memijat otot-ototnya, terutama di bagian kaki dan lehernya. Tapi ia tetap diam.”

Panglima Wira menarik napas panjang, mencoba memahami.

Jaka melanjutkan dengan suara semakin lirih, “Kami pikir ia hanya kejang sementara. Jadi kami coba mengangkatnya berdiri. Kami lepaskan pelananya, menggantinya dengan yang lebih ringan, berharap ia lebih nyaman.”

“Dan?” suara Wira terdengar dalam dan berat.

“Tetap saja kaku. Lalu… ia tergeletak lagi.”

Suasana di kandang mendadak menjadi sunyi. Bahkan kuda-kuda kesayangan Panglima Wira Bumi lain yang biasanya meringkik kini diam, seolah turut merasakan ketegangan yang menyelimuti udara.

Panglima Wira memejamkan mata sejenak, lalu berpaling menatap Patih Arya. “Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Patih Arya mengangguk pelan. “Kita panggil tabib istana. Kita perlu memeriksa kuda ini.”

Panglima Wira menoleh ke Jaka Wira. “Aku belum selesai denganmu.”

Jaka Wira menarik napas dalam sebelum melanjutkan ceritanya. Wajahnya masih diliputi rasa bersalah.

“Setelah kuda tergeletak lagi, saya mencoba memberinya makan. Saya letakkan segenggam rumput segar di depan mulutnya, tapi ia tidak menggigitnya. Saya coba memberinya air dengan cawan, menempelkan ke bibirnya, tapi ia tetap diam.”

Sambodo, yang masih bersimpuh di tanah, bergumam dengan suara hampir tak terdengar. “Ya Gusti… Wanaga tidak pernah menolak makan.”

Jaka menundukkan kepala. “Saat itu saya mulai panik. Saya memerintahkan prajurit untuk mencari pertolongan. Kami akhirnya meminjam gerobak dari warga sekitar. Kami angkat Wanaga ke atas gerobak, lalu membawanya pulang ke sini.”

Kandang tetap sunyi, hanya suara napas kuda-kuda lain yang sesekali terdengar.

Tak lama kemudian, langkah tergesa-gesa terdengar. Seorang lelaki tua berjubah putih, dengan kantung penuh ramuan tergantung di pinggangnya, masuk ke dalam kandang. Ia adalah Tabib Baraguna, penyembuh paling dihormati di kerajaan.

Begitu melihat Panglima Wira, tabib itu segera membungkukkan badan. “Ampun, Panglima. Hamba datang sebagaimana diperintahkan.”

Mata Panglima Wira tajam menatapnya. “Sembuhkan kudaku.”

Tabib Baraguna menelan ludah. Ia melangkah mendekati Wanaga yang terbaring kaku. Dalam hatinya, ia tahu… kuda itu sudah mati. Tapi bagaimana ia bisa mengatakan itu langsung pada Panglima? Ini bukan sekadar kuda, ini adalah kebanggaan Panglima Wira Bumi.

Dengan tangan gemetar, tabib mulai memeriksa tubuh kuda. Ia meraba lehernya, menekan otot-ototnya, membuka kelopak matanya. Hatinya semakin berat. Kuda sudah mati.

Namun, takut akan kemarahan Panglima, ia akhirnya berkata, “Hamba akan coba berusaha menyelamatkannya.”

Ia menoleh ke pembantunya, seorang pemuda kurus yang selalu membantunya meracik obat. “Ambilkan rempah-rempah yang banyak.”

Sambil menunggu rempah-rempah disiapkan, Panglima Wira menoleh ke Sambodo yang masih bersimpuh ketakutan.

“Kau tidak becus mengurus kudaku.” Panglima Wira menggeram. “Mulai hari ini, kau dipecat.”

Sambodo tersentak, tubuhnya melemas. “Ampun, Panglima…”

Panglima Wira tidak mempedulikan Sambodo. Ia melangkah mundur, dadanya naik turun menahan amarah.

Tak beeselang lama, pembantu tabib kembali dengan rempah-rempah yang telah disiapkan. Mereka mulai menumbuknya dengan alu di dalam wadah batu besar. Suara tumbukan memenuhi udara, bercampur dengan napas tertahan orang-orang di sekitar kandang.

Setelah rempah-rempah menjadi halus, tabib mengambilnya dan mulai membalurkannya ke seluruh tubuh kuda. Bau tajam rempah memenuhi kandang.

Panglima Wira menatap proses itu dengan tajam, lalu bertanya, “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”

Patih Arya, yang sejak tadi diam memperhatikan, akhirnya berkata, “Kita harus mengadakan pertemuan dengan para ahli. Kita perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Wanaga.”

Wira mengangguk pelan, matanya masih penuh amarah dan kekecewaan. Ia ingin jawaban. Dan ia akan mendapatkannya, bagaimanapun caranya.

Angin berembus pelan di halaman dalam istana. Di bawah pendopo besar dengan tiang-tiang kayu jati yang kokoh, para ahli duduk melingkar, mengelilingi meja panjang yang dipenuhi gulungan naskah, mangkuk rempah, dan berbagai alat pengobatan.

Di antara mereka ada Raka Sutra, ahli binatang yang telah mengabdi selama puluhan tahun. Duduk di sebelahnya Ki Jalatunda, pelatih kuda terbaik di kerajaan. Tabib Baraguna juga hadir, duduk dengan wajah tegang. Tak jauh dari sana, seorang lelaki tua dengan jubah hitam panjang, Dukun Wangsadipa, menatap tajam dengan mata menyipit. Dan terakhir, Nujum Sembara, ahli nujum istana yang selalu berbicara dengan suara berbisik, tangannya terus meraba-raba manik-manik doa di lehernya.

Panglima Wira duduk di kursi utama, wajahnya tegang, tangan mengepal di atas meja. Patih Arya berada di sebelahnya, bersikap tenang meskipun suasana rapat sudah berlangsung selama berhari-hari.

“Tuan-tuan sekalian,” suara Patih Arya mengisi ruangan, “sudah hampir satu minggu kita berkumpul di sini, mencari jawaban apa yang terjadi dengan Wanaga. Sudah saatnya kita tarik kesimpulan.”

Raka Sutra, si ahli binatang, menghela napas berat sebelum berbicara. “Setelah memeriksa tubuh Wanaga, saya tidak menemukan tanda luka, tidak ada bekas racun yang mencurigakan di mulut atau tubuhnya. Jika ini penyakit, maka penyakit ini sangat mendadak dan misterius.”

Ki Jalatunda, yang sejak tadi menunduk dalam, akhirnya bersuara. “Kuda itu memang tampak sehat sebelum kejadian. Tapi dari pengalaman saya, ada satu kemungkinan, kelelahan yang berlebihan.”

Panglima Wira menyipitkan mata. “Kelelahan? Hanya karena ditunggangi setengah hari oleh anakku?”

Ki Jalatunda mengangguk. “Kuda perang seperti Wanaga memiliki stamina tinggi, tetapi ada batasnya. Jika ia dipacu terlalu keras tanpa istirahat yang cukup, tubuhnya bisa mengalami kejang otot yang parah. Saya menduga saat Tuan Muda Jaka Wira membawanya keluar, ia memaksanya berlari dalam waktu lama. Ini bisa menyebabkan tubuhnya kejang hingga akhirnya ia tidak bisa bergerak.”

Tabib Baraguna berkata. "Wanaga sudah mati."

Panglima Wira berkata. "Lalu mengapa kau melumuri tubuh Wanaga dengan ramuan rempah?"

Tabib Baraguna. "Maaf Tuanku, itu untuk mengawetkan mayat?"

Semua orang terdiam sejenak.

Dukun Wangsadipa tiba-tiba terkekeh pelan. “Kalian berbicara soal kelelahan dan penyakit. Tapi adakah yang berpikir bahwa ini bukan sekedar urusan duniawi?”

Panglima Wira menatapnya tajam. “Maksudmu?”

Dukun itu tersenyum tipis. “Ada kemungkinan ini ulah makhluk halus. Kuda itu bisa saja terkena gangguan makhluk tak kasat mata di perjalanan.”

Nujum Sembara mengangguk pelan. “Saya sudah membaca pertanda di langit malam kemarin. Ada bintang yang redup di atas istana. Pertanda ada sesuatu yang tidak beres.”

Patih Arya menghela napas. “Jadi ada dua kemungkinan, kelelahan yang sangat atau gangguan gaib.”

Panglima mengetuk meja dengan jarinya, wajahnya tampak muram. “Seminggu penuh berdiskusi, tapi akhirnya hanya mengatakan kudaku sudah mati?”

Suasana di pendopo semakin tegang. Semua orang terdiam, tak ada yang berani menatap mata Panglima.

Setelah beberapa saat, Patih Arya angkat bicara. “Mungkin kita perlu perbandingan. Kita bisa mencari kuda lain yang mati.”

Panglima menatapnya. “Paman Patih benar. Cari kuda lain yang mati di kerajaan ini lalu bandingkan.”

“Baiklah,” katanya, suaranya bergema di pendopo istana. “Aku akan menambah bayaran kalian semua. Lanjutkan penyelidikan ini sampai kita menemukan jawaban pasti.”

Para ahli yang duduk melingkar saling pandang. Beberapa tampak puas, yang lain tampak lelah namun senang karena mendapat bayaran lebih. 

Selama seminggu berikutnya, para ahli bekerja lebih keras. Mereka mulai membandingkan Wanaga dengan kuda lain yang mati.

Ki Jalatunda, sang pelatih kuda, memeriksa kedua tubuh itu dengan teliti. “Tak ada bedanya.” ucapnya, menggeleng.

Raka Sutra, si ahli binatang, memeriksa bagian dalam mulut dan hidung kuda. “Tidak ada racun, tidak ada tanda-tanda luka. Kuda ini sudah mati.”

Tabib Baraguna mencoba pendekatan lain. Ia meminta beberapa prajurit membawa air suci dari sungai yang dianggap bertuah di perbatasan kerajaan. Air itu dituangkan ke tubuh kuda dengan harapan jika ada racun gaib, racun itu akan bereaksi.

Tidak terjadi apa-apa.

Dukun Wangsadipa mencoba membakar dupa di sekitar kandang, berkomat-kamit membaca mantra. Ia menunggu pertanda dari alam, sesuatu yang bisa menjelaskan penyebab kematian kuda-kuda itu.

Hasilnya? Sunyi.

Nujum Sembara melempar tulang ramalan ke tanah, lalu membaca formasi yang terbentuk. “Takdir sudah berbicara. Tidak ada kutukan. Ini hanyalah kematian biasa.”

Wajah mereka kini lebih letih daripada sebelumnya. Mereka sudah menyelidiki semua kemungkinan.

Dan kesimpulan mereka hanya satu.

“Panglima,” kata Patih Arya dengan nada hati-hati, “setelah menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya yang besar… kita simpulkan bahwa Wanaga memang mati.”

Sunyi.

Tiba-tiba dari gerbang terdengar teriakan prajurit bersahutan. "Paduka Raja telah tiba."

Semua orang di pendopo bergegas keluar dan berlutut dengan tangan sedekap di depan Raja.

"Yang Mulia... ada apa gerangan Yang mulia datang ke tempat hamba?" Ucap Panglima Wira Bumi.

"Seharusnya kami yang menghadap ke istana." Ucap Patih yang kebingungan.

Raja berkata. "Aku sudah mendengar berita menggemparkan tentang kematian Wagana kuda Panglima. Aku hanya sedang ingin berkeliling istana."

Raja memandang berkeliling, lalu berkata. "Aku ingin istirahat sebentar."

Panglima berkata. "Maafkan saya Paduka...Silahkan masuk jika berkenan."

Lalu Patih dan Panglima mempersilakan Raja masuk. Semua duduk mengelilingi meja.

Raja berkata. "Bagaimana? Aku dengar kalian sibuk gara-gara kematian seekor kuda?" Raja menghela napas.

Semua yang ada di ruangan itu bergantian menjelaskan hasil penyelidikan.

Raja menatap mereka satu per satu, memastikan ia tidak salah dengar. “Jadi, selama ini kalian mencoba mencari cara untuk membantah kenyataan?”

Tak ada yang berani menjawab.

Raja berkata dengan nada agak tinggi. “Berhari-hari kalian menyelidiki! Uang kerajaan dikeluarkan! Waktu kalian habis! Dan akhirnya kalian hanya menyimpulkan sesuatu yang sudah jelas sejak awal bahwa kuda itu mati?!”

Semua orang menunduk.

Raja menghela napas berat, lalu menoleh ke Panglima. "Wira Bumi, kau memiliki empat kuda setara dengan Wanaga, hal ini tak perlu dilakukan."

Raja lanjut berkata, "Bahkan biaya untuk menyelidiki kematian Wanaga, bisa digunakan untuk membeli dua kuda yang sama hebatnya dengan Wanaga."

Raja menatap berkeliling. “Mulai sekarang, jangan pernah buat rapat hanya untuk menyangkal kenyataan. Kuda mati, artinya mati. Sudah, kuburkan dan lupakan!”

Semua tertunduk.

Banyak manusia lebih memilih untuk membuang waktu dan tenaga dalam usaha yang sia-sia, hidup dalam penyangkalan daripada menerima kenyataan dan segera mencari solusi yang tepat sejak awal. Seperti kelakuan pejabat-pejabat di kerajaan.

Selesai.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)