Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,854
Kupu-Kupu Dalam Gua
Romantis


Gua itu sunyi dan basah, seperti perut bumi yang belum selesai mengunyah waktu. Bau tanah yang membatu dan hawa dingin yang tak pernah usai menyelimuti dinding-dinding kasar, membentuk lengkungan-lengkungan purba yang seolah menyimpan bisikan nenek moyang. Di dinding-dinding itu, bayangan-bayangan menari tanpa henti, berpijak pada cahaya samar dari api unggun yang entah dari mana sumbernya. Tidak pernah ada yang benar-benar tahu siapa yang menyalakan api itu, atau mengapa ia tidak pernah padam. Tapi bagi Abel dan Mira, cahaya itu adalah dunia itu sendiri. Matahari palsu yang memberi terang, tapi tidak pernah menghangatkan hati sepenuhnya.

Abel dan Mira duduk bersisian, punggung mereka menyentuh dinding. Keduanya duduk di sebuah ceruk kecil di dalam gua yang mereka sebut Batu Penantian. Nama itu bukan sekadar julukan. Batu itu datar dan dingin, tetapi telah dipanaskan oleh waktu dan kebiasaan mereka berbincang di atasnya. Di sanalah mereka menukar kata-kata, saling menebak makna, dan kadang saling diam sambil membiarkan pikiran masing-masing mengelana jauh ke dalam kegelapan batin.

"Kau lihat itu?" tanya Mira sambil mengangkat dagunya ke arah dinding. Bayangan itu tampak menyerupai seekor kupu-kupu. Sayapnya berkibar lemah, menari mengikuti irama api. Sesekali bentuknya berubah menjadi seolah burung, lalu kembali menjadi kupu-kupu.

Abel mengangguk samar. "Sudah tiga hari berturut-turut ia muncul pada waktu yang sama."

"Aku kira dia sedang menyampaikan sesuatu," bisik Mira.

Abel memutar tubuhnya sedikit, mengamati bayangan itu dengan mata setengah menyipit. "Bayangan tidak menyampaikan apa pun, Mira. Ia hanya akibat. Hasil dari sesuatu yang lain."

Mira tertawa kecil. "Kau dan logikamu. Tapi bukankah cinta juga akibat? Dari pertemuan, dari ketertarikan, dari waktu? Kalau begitu, apa bedanya dengan bayangan?"

Abel menoleh. "Cinta bisa jadi sebab juga. Sebab dari kita tetap tinggal di sini, misalnya."

"Tapi kita tinggal karena nyaman, bukan karena cinta," ujar Mira, lalu terdiam sebentar. "Atau mungkin... karena takut."

Abel memejamkan mata. Debur pikirannya lebih gaduh dari bisikan gua. Mira tidak tahu bahwa dia telah berminggu-minggu memikirkan cahaya yang berasal dari retakan di ujung gua. Dia pernah berjalan mendekat, melihat cahaya putih menyelinap masuk. Tapi dia belum pernah bicara tentang itu. Belum.

"Mira," katanya perlahan. "Kau pernah membayangkan dunia di luar bayangan ini?"

Mira menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"

"Bayangan-bayangan ini, semua yang kita lihat, mungkin hanya pantulan. Seperti kupu-kupu itu. Kita lihat bentuknya, tapi bukan dirinya. Kita mencintai citra, bukan wujud."

"Kau menganggap kita hidup dalam kebohongan?"

"Aku tak tahu. Tapi aku ingin tahu. Aku ingin mencari, meski harus berjalan sendirian."

Retakan itu muncul seperti garis samar di ujung gelap gua. Tipis, namun cukup jelas bagi mata yang mencari di kegelapan. Abel mulai duduk lebih sering di dekatnya, pura-pura melamun, padahal dia mengamati dan menghitung waktu. Cahaya yang menelusup masuk setiap siang terasa berbeda. Ia putih, bersih, dan tidak bergetar seperti cahaya api. Kadang-kadang, dia merasa mendengar suara asing dari balik retakan itu. Bukan gema, tapi bisikan hidup. Ada desir yang tak dikenal, seperti angin menyapa, seperti panggilan.

Hari demi hari, Abel mencoba memperlebar celah itu dengan tangannya, dengan batu, dengan tekad. Dia mulai mencatat pergerakan cahaya, menghitung kapan retakan itu tampak paling terang. Dia tidak lagi tidur nyenyak. Pikirannya berlayar ke tempat yang belum pernah dia lihat.

Suatu kali Mira menemukannya di sana.

"Kau mengintip lagi," katanya, bukan sebagai tuduhan, tapi sebagai pernyataan yang penuh muatan. Dia menyentuh bahu Abel, lembut, seperti ingin menahannya.

"Aku ingin tahu dari mana cahaya ini datang," jawab Abel tanpa menoleh.

"Dan jika kau tahu, lalu apa?"

"Mungkin aku bisa keluar. Melihat dunia yang lebih nyata dari bayangan-bayangan itu."

Mira duduk di sampingnya. Mereka berdua diam cukup lama. Suara gemeretakan api yang membakar dari kejauhan terdengar seperti napas perlahan dari makhluk tua. Gua seolah ikut menyimak perdebatan batin mereka.

"Dan aku?" tanyanya pelan.

"Kau bisa ikut," kata Abel. "Atau tetap di sini. Tapi jika aku tidak pergi, aku akan terus bertanya. Aku akan terus merasa kehilangan sesuatu yang belum pernah terjawab."

"Tapi aku mencintai dinding itu, Abel. Aku mencintai kupu-kupu itu. Mungkin karena itu kita bertahan sejauh ini."

"Tapi kalau semua itu hanya bayangan?"

"Mungkin cinta tidak butuh kebenaran. Cukup hanya rasa. Rasa yang membuat kita bertahan hidup."

"Aku tak bisa puas dengan rasa, Mira. Aku ingin tahu bentuk asli dari apa yang kucintai. Aku ingin tahu apakah cintaku padamu berasal dari kebenaran, atau dari kebiasaan mencintai bayanganmu."

"Dan jika bentuk aslinya tak seindah bayangannya?"

"Maka aku akan belajar mencintainya dengan mata terbuka. Lebih tulus. Lebih sadar."

---

Abel menunggu fajar. Dia membawa batu runcing kecil yang dulu digunakan mereka untuk mengukir di dinding gua. Dia mendekati retakan dan mulai memperlebar celah itu sedikit demi sedikit. Setiap goresan mengaburkan keraguan, dan mempertegas harapan. Setiap serpihan batu yang jatuh adalah bagian dari kebisuan yang dia pecahkan.

Angin dari luar membawa aroma yang asing. Wangi basah daun, tanah yang hidup, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Cahaya kini masuk lebih lebar, menyoroti rambutnya dan membuat bayangan tubuhnya melengkung di dinding seperti patung yang bangkit dari tidur. Di balik celah, warna-warna samar mulai tampak. Bukan abu-abu seperti bayangan, tapi hijau, biru, merah muda.

Mira mengamati dari jauh. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kegundahan yang tidak bisa dia beri nama.

"Kau sungguh ingin meninggalkan semua ini?" suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh batin.

"Aku ingin tahu dunia yang membuat bayangan-bayangan ini. Aku ingin tahu... apakah cinta yang kurasakan padamu juga bayangan."

"Jika kau pergi, dan menemukan cinta lain di luar sana, apa kau akan kembali?"

Abel tidak menjawab. Di memandang wajah Mira lama-lama. Bayangan kupu-kupu melintas di dinding untuk kali terakhir. Lalu ia keluar, meninggalkan kehangatan yang semu demi kemungkinan yang belum pasti.

---

Cahaya luar sungguh menyakitkan. Abel menjerit pelan saat matanya pertama kali melihat langit. Tapi setelah beberapa waktu, dia bisa berdiri dan menatap dunia yang terbentang di hafapannya. Pandangan pertamanya adalah langit luas yang biru, dan matahari yang tak bisa ditatap langsung. Rasanya seperti ditampar oleh kebenaran, menyakitkan tapi membebaskan.

Padang rumput luas. Pohon-pohon tinggi. Sungai kecil yang mengalir jernih. Angin membelai kulitnya seperti sentuhan pertama yang tak pernah dia tahu dia rindukan. Daun-daun berdesir seperti suara yang dia dambakan, dan pantulan cahaya menari di permukaan air seperti kupu-kupu riang.

Dan kupu-kupu. Ratusan. Ribuan. Berwarna-warni. Tidak lagi sekadar bayangan, tapi tubuh yang penuh detil, urat pada sayap, gerakan yang tak bisa ditebak, kehidupan.

"Aku telah mencintai bayangan dari sesuatu yang jauh lebih megah," gumamnya.

Dia menunggu. Hari demi hari. Mengumpulkan buah, air, belajar dari alam. Dia menulis di tanah, menggambar kupu-kupu dengan tangan yang dulu terbiasa menyentuh batu. Dia bernyanyi sendiri, berdoa, dan berharap. Tapi yang dia tunggu tak kunjung datang.

Hingga suatu hari, ketika senja membiaskan cahaya, dia melihat Mira. Berdiri di bawah cahaya jingga, matanya masih menyimpan gua, tapi langkahnya menunjukkan keberanian. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya mantap.

"Aku mencarimu," kata Mira. Suaranya lelah tapi matanya tegas. Di pipinya ada guratan tanah dan rambutnya tersapu angin. Napasnya berat tapi ada kelegaan yang tidak bisa disembunyikan.

"Aku menunggumu," jawab Abel.

Mereka duduk di atas batu besar tak jauh dari sungai, menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit. Suara serangga malam mulai menggantikan bisikan bayangan. Dunia terasa lebih luas daripada gua, lebih riuh, lebih hidup.

"Bayangan itu, tak lagi cukup," ujar Mira. "Aku menyadari aku jatuh cinta pada bentuk, bukan pada asalnya. Aku ingin mencintai dengan sadar, bukan sekadar terbiasa."

"Aku juga merindukan bayangan itu. Tapi kini aku tahu, cinta yang sejati harus utuh. Ia harus tahu apa yang ia cintai. Tak cukup siluet."

Mira menggenggam tangannya. "Kalau begitu mari kita belajar mencintai ulang. Dalam terang. Dalam nyata. Dalam warna."

Seekor kupu-kupu hinggap di antara mereka. Sayapnya bukan hanya warna, tapi cerita. Ia diam di sana sejenak, lalu terbang, meninggalkan jejak yang tak bisa dilihat tapi bisa dirasakan.

Dan gua kini tinggal kenangan. Mereka menatap satu sama lain, bukan sebagai dua jiwa yang takut kehilangan bayangan, tapi sebagai dua manusia yang memilih terang, dan nyata.

Selesai

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)