Cerpen
Disukai
1
Dilihat
1,551
Kopi Yang Tak Terseduh
Komedi

Tanggal Tiga Syawal menjadi hari yang menggembirakan sekaligus momen yang sangat langka, dimana para Alumni Pondok Pasantren Maslahah Mursahah mulai dari angkatan pertama sampai angkatan ke-50 melaksanakan Temu Alumni Akbar.

Acara Akbar tersebut dihadiri dihadiri para alumni yang sudah sepuh, separuh baya, pemuda, dan bocil yang baru lulus seminggu yang lalu. Ada alumni yang sudah memiliki pondok pesantren sendiri, ada yang sudah menjadi pejabat, ada yang menjadi dosen dan guru, ada yang menjadi enterpreneur, ada yang menjadi selebriti dan influencer atau konten kreator, dan banyak juga yang menjadi petani, pedagang dan anggota ormas.

Setelah acara temu alumni yang "gitu-gitu aja", para mantan santri kemudian membubarkan diri menuju rumah masing-masing, kembali ke kota masing-masing, kembali berpelukan dengan rutinitas masing-masing, membawa oleh-oleh konten, program, proyek, dan bahkan ada yang pulang membawa oleh-oleh calon menantu.

Namun, di antara para "santri pensiun" yang mengikuti temu alumni itu, ada beberapa alumni angkatan ke-26 yang membuat reuni kecil-kecilan khusus angkatannya, dan lebih khusus lagi yang paling akrab di angkatannya

Sejak dari jauh-jauh hari angkatan ke-26 sudah berembuk dan berdiskusi tentang temu alumni akbar tersebut di grup whatsapp khusus angkatan ke-26. Mereka tak mau melewatkan momen langka tersebut. Momen setelah sekian lama mereka tidak bertemu dan berkumpul bersama. Dan akhirnya mereka memytuskan berkumpul di rumah Juned.

Inisiatif itu datang dari Juned sendiri yang rumahnya tidak terlalu jauh dari almamater tempat dulu dia nyantri.

Tentu saja teman akrabnya dulu yang sering makrab bareng, hiking bareng, sahur bareng, sangat bersemangat karena Juned memiliki kolam ikan alias balong, yang tentunya selain reuni satu angkatan yang biasanya lebih seru, lebih bebas, dan yang pasti setidaknya akan ada sajian ikan bakar atau ikan goreng @la Juned.

Meski acara Temu Alumni Akbar pondok pesantren Maslahah Mursahah belum selesai, alumni angkatan ke-26 sudah menyelinap pergi satu persatu meninggalkan acara. Selepas ashar mereka berkumpul di saung gazebo yang terletak di halaman belakang rumah Juned.

Halaman tidak terlalu luas namun cukup asri dengan pohon mangga rindang dan beberapa pot bunga anggrek yang tergantung di sekeliling, serta kolam ikan kecil di bawah saung gazebo yang airnya terus mengalir dari batang bambu gombong. Dari situ tampak pemandangan Gunung Tangkuban Parahu yang samar mulai terhalang kabut sore itu. Mereka duduk melingkar, seperti kebiasaan mereka saat mondok dulu.

Obrolan mereka mengalir deras bercampur tawa. Tentang dunia kerja yang tak sesuai salary, tentang proyek yang tersendat karena efisiensi anggaran dari pusat, tentang cinta masa lalu, tentang trading saham dan harga emas, tentang politik dan masa depan negara yang belum menampakkan kepastian, juga tentang harga beras dan harga diri.

Di salah satu sudut saung gazebo, Juned sang tuan rumah menyediakan beberapa cemilan dan cepuluh, juga beberapa gelas dan sendok. Ada juga beberapa renceng Kopi Tubruk merk Kudanil yang gulanya terpisah sebagai opsi bagi penggemar kopi yang hidupnya sudah manis dan tak membutuhkan gula dalam kopinya, atau penggemar yang penuh kenangan manis saat dulu nyantri.. Dan juga sebagai opsi bagi penggemar kopi yang hidupnya masih pahit, (masa sih kopi juga pahit), apalagi jika ditambah kenangan pahit saat dulu mondok. Ada pula Kopi Lawak bagi penggemar kopi yang hidupnya penuh ketegangan dan kejulidan.

Juned, Sang Barista dari zaman nyantri memang paling mengerti maunya para sahabat karibnya itu. Air panas pun tersedia dari teko yang "ngaguik" saat mendidih di atas kompor portabel di pojokan gazebo. Suara "guikan" dari teko itu terhenti berbarengan dengan gasnya yang habis.

Namun, tak satu pun dari para "mantan santri"yang sedang asyik bercengkrama sambil lesehan itu yang bergerak menyeduh.

Mereka semua sibuk tertawa berbincang tanpa peduli dengan "guikan" teko itu, hingga gasnya habis.

Karjo dengan celana jins dan kaos, duduk bersebelahan dengan Kasrud, yang dari tadi ngobrol serius tentang proyek mulai nyeletuk, "itu airnya sudah mendidih".

Dakim, dengan setelan celana katun dan kemeja, sang pegawai BUMN skala kecamatan membalas celetukan Karjo, "Kayaknya lebih afdol kalau yang nyeduh itu Pak Ustaz. Lebih karismatik dan penuh berkah," 

Idrus, bersarung sutera dan sorban hijau melingkar di leher, sang Ustaz yang duduk bersebelahan dengan Harun alias Sang Camat, yang serius berdiskusi tentang kebijakan gubernur soal larangan pungutan di jalan dan dana hibah yang tidak cair, ikut menyahut, "Apa-apa ustaz. Urusan nyeduh kopi siapa juga bisa, Cuy." 

"Nggak usah siapa-siapa. Kita voting aja. Demokratis," kata Iskandar, dengan setelan celana jins baru dan kaos berkerah, yang 2 bulan lalu baru dilantik jadi anggota DPRD.

Jumadi alias Wakil Kepala Sekolah, dengan setelan celana katun dan baju batik Mega Mendung, coba menengahi perdebatan dengan mengusulkan pembentukan panitia penyeduhan kopi. Kasrud yang duduk di sebelah Karjo berinisiatif sendiri merancang SOP penyeduhan kopi. Sementara Dabrul justru langsung membuat grup WhatsApp bernama Kumpulan Orang-Orang Senang Ngopi. Sedangkan si kembar Gurawil dan Giriwil sibuk ngemil rangginang dalam kaleng biskuit Khong Guan sambil tertawa kecil melihat tingkah kawan-kawannya itu.

Julaget alias Influencer aplikasi Toktok tidak menyia-nyiakan momen langka nan absurd di hadapannya. Dengan antusias dia mengangkat ponselnya dengan posisi standby Live, "Hay gaess, sore ini aku lagi ngumpul-ngumpul bareng kawan-kawan satu kelas dulu, kita lagi di lereng gunung Tangkuban Parahu, pemandangannya bagus, cuacanya sejuk, dingin banget gaesss... ada kopi ada air panas, tapi gak ada yang mau nyeduh.... hihihi... jangan lupa kasih gift ya gaesss.. gift bayawak juga boleh."

Dan tetap saja tak satu gelas pun kopi yang diseduh meskipun mereka sangat berhasrat untuk minum kopi.

Di Pondok Pesantren Maslahah Mursahah, kopi bukan sekadar minuman pengusir kantuk atau peningkat adrenalin. Ia adalah simbol dari ide-ide besar. Namun sayangnya terhenti di batas pengen dan niat. Gelas-gelas kosong itu bukan hanya wadah, tapi lambang dari ruang-ruang perubahan yang tak pernah diisi. Gula adalah semangat kolektif. Air panas adalah momentum yang tak datang dua kali. Dan sendok? Ia adalah pengolah gagasan. Semua tersedia.

Tapi tangan-tangan itu lebih sibuk menunjuk siapa yang pantas, siapa yang layak. Bukan siapa yang mau.

Kabut di lereng Tangkuban Parahu semakin menebal, senja merayap dengan cepat, memancing suara bangkong yang menggantikan diskusi. Gelas tetap kosong. Kopi tetap belum terseduh. Hanya kemauan yang tertinggal, menggigil, kehilangan suhu.

Beginilah negeri para mantan santri. Mereka hafal ratusan ayat dan hadits, fasih menyitir pendapat ulama, tapi sering lupa satu hal bahwa perubahan dimulai dari tangan yang berani mengambil sendok dan mulai mengaduk.

Si Juned kamana ?

Selesai

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)