Masukan nama pengguna
Di rumah sakit, ibu membantu Mas Yoga mengurus semua keperluan untuk Nyonya Subandriyo. Rupa-rupanya penyakit darah tinggi dari nyonya bekas majikannya itu kambuh karena kondisi psikologis dan kurang tidur. Keinginannya menebus kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap ibu ternyata sangat menyita pikiran dan tenaganya. Mas Yoga sangat berharap ibu bisa membantu demi kondisi kesehatan ibunya.
Di pojok teras dekat mushola rumah sakit, terlihat Mas Yoga dan ibu sedang membicarakan sesuatu, hanya empat mata.
“Tolong bantu saya, karena saat ini ibuku sangat butuh bantuan anda Bu Suli. Terimalah tawaran dari ibu saya untuk masa depan dik Anisah. Hanya kesanggupan dari Bu Suli saat ini yang bisa membantu agar kondisinya segera membaik,” pinta lelaki bermata teduh yang sangat aku kagumi itu. Kali ini mata teduhnya tersamar oleh sapuan mendung tebal yang menghiba sebuah harapan. Demi ibunya, yang sakitnya kambuh karena sangat mengharapkan jawaban dari ibuku. Hingga saat ini Mas Yoga belum tahu ada rahasia apa antara ibunya dengan ibuku. Yang dia tahu sakitnya Nyonya Subandriyo sekarang kambuh, karena bersikukuh untuk mengangkatku sebagai anak asuh. Di lain pihak ibuku tidak merespon harapannya ini.
Setelah kondisinya membaik sudah tidak mengkhawatirkan, Nyonya Subandriyo dipindahkan dari ruang ICU ke perawatan. Melalui isyarat beliau menyampaikan ke Mas Yoga kalau ingin bertemu dengan ibuku. Kebetulan ibu masih berada di rumah sakit, tetapi aku sudah di rumah melanjutkan pekerjaan yang tertunda untuk membuat peyek.
Ibuku masuk kamar perawatan mantan majikannya yang sudah menorehkan luka dalam hidupnya. Pelan melangkah masuk. Di kamar tidur berbaringlah nyonya besar dalam keadaan lemah tak berdaya. Wajah ibuku sudah lembut bersahaja, tidak ketus lagi. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu hal pelan sekali, tetapi serius.
Di rumah aku sudah sibuk mengaduk adonan kemudian menggoreng peyek. Sesekali dengan sutil kulepaskan peyek agar tidak lengket dengan wajan, kemudian setengah matang aku balik-balik agar matangnya merata.
“Ting … tong … ting tong …” nada panggilan berbunyi dari ponsel yang sengaja kutaruh di dapur. Takut terjadi apa-apa setelah kejadian ibunya Mas Yoga darah tingginya kambuh, makanya ponsel kutaruh tak jauh. Biasanya kalau ada nada panggilan aku cuek, tapi detik ini, bergegas kusambar ponsel, tidak peduli panggilan darimana, mungkin saja orang yang iseng atau salah pencet. Ouwh … dari Mas Yoga.
“Assalamualaikum gimana Mas, ibu sudah sehat?”
“Alhamdulillah Dik sudah bisa pindah ke perawatan. Makasih ya.”
“Makasih apa? Harusnya aku yang minta maaf.”
“Lo minta maaf kenapa? Bukankah keluargaku yang sudah mengganggu ketenteraman keluarga Dik Anis.”
“He … he … iya ya ..,” aku menjawab salah tingkah, untung cuma di telpon jadi tidak kelihatan wajahku yang grogi. Agak lama tidak ada suara dari seberang.
“Mas … apa ibuku masih di situ?” tanyaku penasaran. Tetap tidak ada jawaban, tetapi lamat-lamat aku mendengar Mas Yoga berbicara dengan seseorang, itu suara ibu yang sedang berpamitan pulang.
“Dik, masih mendengar suaraku? Tadi ibunya Dik Anis pamitan pulang, maaf ya aku ngga bisa nganter, soalnya di sini ngga ada yang jagain ibu.”
“Ya udah ngga papa.” Detik berikutnya aku baru ingat kalau sedang menggoreng peyek, tanpa babibu telpon aku tutup dan berlari mendekati tungku. Asap telah mengepul dari wajan, segera kumatikan api, kuambil serok dan sutil untuk mengangkat peyek yang sudah berubah wujud gosong. Satu kali gorengan semuanya tidak ada yang bisa dipilih, kucoba secuil, rasanya pahit sekali.
Di luar rumah kudengar suara becak motor mendekati rumah, pasti ini ibu. Selang beberapa menit ternyata benar ibu pulang, kemudian ke dapur untuk menjumpaiku yang menggantikannya membuat peyek. Agak takut kusodorkan peyek gosong kepadanya.
“Bu maafkan Anis ya, peyeknya gosong.”
“Yang gosong cuma ini apa semuanya?” tanyanya balik bertanya.
“Ngga, cuma ini kok yang gosong.” Ibu maklum dan tidak marah, setelah aku menceritakan kejadiannya.
Kulihat ibu masuk kamar untuk ganti pakaian, sedang aku di dapur melanjutkan aktifitas yang menyambung hidup kami selama ini. Ternyata sudah lumayan banyak hasil gorenganku hari ini. Peyek yang sudah dingin dan kisat kumasukan jadi satu ke dalam plastik yang lebih besar agar tidak melempem, sambil menunggu tahap berikutnya yaitu pembungkusan.
Dari kamar, ibu terus ke dapur menyambangiku, memeriksa dan memberesi barang dagangannya. Aku mengerling ke arahnya, beliau tetap fokus dengan peyeknya , seperti tidak terjadi apa-apa. Sedikitpun tidak menyinggung kejadian tentang Nyonya Subandriyo yang tadi datang ke rumah, terus darah tingginya kambuh, terus ibu ikut nganter ke rumah sakit, terus ada kejadian apa lagi di rumah sakit, … terus... Sebenarnya aku ingin tahu tentang hal ini, tetapi ibu malah sibuk membahas tentang peyek yang harus segera dibungkusi, kemudian disetorkan, dan membeli bahan-bahan yang dibutuhkan untuk produksi lagi.
Sekilas bayangan Mas Yoga hadir di pelupuk, matanya tak seteduh yang pernah kukenal, mendung tebal seolah hendak runtuh menggelayut di sana. Sungguh tak tega. Ingin kuhalau mendung yang nyaris runtuh itu dan menyibakkan kembali sorot netra yang teduh menemani hari-harinya. Kini, di hadapanku ibu masih diam. Aku ingin tahu ibu, kenapa seperti ini? Kenapa ibu yang kukenal sangat perhatian, setiap kali ada kejadian mesti didiskusikan bersama, sekarang tidak lagi. Apa yang sudah membuatnya tidak peduli lagi denganku, perasaanku. Detik ini, aku menyangsikan teori yang sempat aku baca, bahwa ada telepati antara seseorang dengan orang lain yang memiliki hubungan dekat meskipun berada di tempat yang berjauhan. Lah ini, hubungannya tidak hanya dekat tetapi sangat dekat, antara ibu dengan anak, tempat juga dekat karena serumah, kok biasa saja. Timbul pikiran tak wajar di kepalaku, jangan-jangan aku bukan anak ibu. Ya Tuhan, … dadaku sesak sekali. Tanganku terus membungkusi peyek, tanpa sepengetahuan ibu, kuseka air hangat yang membasahi kelopak mata ini.
Tidak mungkin aku terus-terusan dalam argumentasi yang tak berkesudahan. Aku harus berani menanyakan semuanya pada ibu agar jelas. Tiap hari tersiksa dengan pikirannya sendiri dan hampir saja gila. Kalau hanya menunggu dan menunggu waktu, tidak tahu sampai kapan hanya sia-sia saja. Aku bertekad harus tahu, nanti malam bersimpuh di Hadapan Sang Maha Agung agar diberikan kekuatan, dan esok meminta penjelasan dari ibu.
Suara jangkrik di sawah dekat rumah bernyanyi merdu menyambut malam. Mahluk-mahluk nokturnal lain juga menyambut riang Sang Dewi kegelapan ini, yang bertugas menggantikan mentari untuk mengawal penghuni bumi terlelap dalam mimpi. Selepas Sholat Maghrib, aku sempatkan membaca Kalam Illahi di kamar. Satu persatu ayat kubaca dan kuresapi maknanya lewat terjemahan di sebelahnya. Shadaqallahul Adzim …
“Kriieeek …” Pintu kamar berbunyi tanda ada yang membukanya. Kutengok ke arah datangnya suara, pintu terbuka ibu rupanya yang masuk.
“Masih ngaji ya?” tanyanya dengan tersenyum.
“Udah selesai kok, masuk aja bu.” Aku melipat mukena dan sajadah, menaruhnya di atas meja untuk kugunakan lagi nanti.
“Duduk sini Nak, ibu akan menyampaikan sesuatu.” Kami duduk bersebelahan di dipan tua yang menjadi saksi sejarah hidup kami berdua.
“Ibu ingin sekali Anisah bisa meraih cita-cita, tapi untuk itu perlu banyak biaya. Seperti yang kamu tahu, penghasilan ibu ngga cukup untuk membiayai itu. Ibu sangat tahu kalau Anisah ingin kuliah. Anisah bersedia kan menerima tawaran ibunya Mas Yoga?” Aku tentu saja kaget dengan penjelasan ibu yang tiba-tiba ini.
“Jadi … ibu mengijinkan aku kuliahnya dibiayai Nyonya Subandriyo?” Ibu mengangguk tersenyum.
“Terimakasih bu,” jawabku sembari kupeluk ibu. Dalam hati aku berbisik, Tuhan Maha Mendengar, barusaja aku selesai sholat dan mengaji, ternyata satu pintaku terjawab sudah. Terimakasih Ya Tuhan. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu, rahasia antara ibu dan Nyonya Subandriyo.
Pagi-pagi sekali aku sudah mengirimkan pesan whatshapp untuk Mas Yoga.
“Assalamualaikum … ibu sudah sehat belum Mas?” Kebetulan nomer yang kutuju sedang standby, cepat saja menjawab pesanku.
“Waalaikumsalam, Alhamdulillah sudah. Siang nanti sudah diijinkan pulang ke rumah kok.”
“Sukurlah, …aku ada kabar gembira.” Rupanya Mas Yoga tidak sabar dengan pesanku, buru-buru aku ditelponnya.
“Dik, kabar gembiranya apa?”
“Begini, aku bersedia menerima tawaran ibunya Mas Yoga.”
“Beneran ya? Makasih sekali Dik, ibu mesti seneng banget dengan berita ini.”
“Tapi ada syaratnya, aku menerima tawaran tetapi setelah aku diberitahu ada rahasia apa antara keluargaku dan keluarga Mas Yoga.”
“Jleep …”
Mas Yoga terhenyak, tidak bisa menjawab, jangankan untuk menceritakannya padaku, dia sendiri juga tidak paham.
“Waduh, aku ngga tahu masalah itu.”
“Ngga tahu apa ngga mau cerita, terserah. Tapi itu syaratnya. Ya udah, makasih silahkan dipikir-pikir dulu. Assalamualaikum.” Kuucapkan salam untuk menutup pembicaraan dan ponsel off.