Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,618
Warisan yang Terlupa
Drama

Supono duduk di teras rumah yang baru selesai direnovasi. Angin sore dari arah timur mengibaskan ujung sarungnya. Di depannya, terbentang sawah hijau kekuningan siap panen. Langit di atas desa itu cerah, secerah nasib yang ia perjuangkan seumur hidupnya.

 

Tak pernah Supono bayangkan akan bisa pulang kembali ke kampung dengan kepala tegak. Ia, hanya anak tukang sapu pasar yang dulu sekolah dengan seragam tambal sulam, kini pensiunan pegawai negeri yang cukup disegani. Semua itu bukan sulap, tapi hasil dari belajar tanpa lelah, bekerja tanpa henti, dan berdoa dengan tulus hati.

 

Berpuluh tahun Supono menapaki jenjang pendidikan sambil bekerja serabutan, berjualan koran, menjadi buruh angkut, hingga tukang cuci piring pernah dilakoni. Berkat tekad dan ketekunannya ini, membuahkan hasil. Setelah menyelesaikan kuliah di universitas negeri dengan beasiswa, ia diterima sebagai pegawai di salah satu kantor pemerintah daerah di Sulawesi.

 

Supono akhirnya menikah dengan Romlah, perempuan kampung, anak bungsu dari Pak Karto, seorang petani paling kaya seantero kampung itu. Ketiga kakak perempuan itu telah lama pindah ke kota setelah menikah dan semuanya menjadi pegawai kantoran. Setelah pernikahannya, Romlah sendiri mengikuti tempat dinas suami yaitu di Sulawesi, sehingga bertahun-tahun harus jauh dari kampung dan keluarganya.

 

Sesekali lelaki yang berperawakan sedang dengan kulit coklat itu, menoleh ke dalam rumah, ke arah istrinya, yang tengah memberi minum ibunya, Bu Karto. Tubuh Bu Karto kini kurus dan membungkuk, wajahnya keriput dan matanya kosong, terkadang menyebut nama suaminya yang telah lama tiada, dan meminta pulang ke rumah, meskipun ia sebenarnya sudah di rumahnya sendiri. Ibu mertua Supono ini memang sudah pikun. Setelah pensiun, keluarga Supono memilih kembali ke kampung halamannya di Jawa, dengan satu niat, menemani Bu Karto ini di hari tuanya.

 

Selama beberapa bulan hidup di kampung halamannya, segalanya tampak berjalan baik. Supono membantu mengelola sawah-sawah warisan Pak Karto yang selama ini digarap oleh keluarga Pak Bejo. Awalnya, lelaki itu hanya ingin tahu seluk-beluk pertanian, tetapi lama kelamaan, sesuatu dalam dirinya berubah. Supono mulai menghitung-hitung hasil panen, membagi sendiri mana bagian untuk keluarganya dan mana yang katanya untuk “keluarga besar.”

 

Yah, lelaki pensiunan itu mulai ikut mengatur pengelolaan sawah warisan milik mertuanya. Dahulu, sawah-sawah itu digarap oleh keluarga Pak Bejo dan anak-anaknya. Pak Bejo adalah saudara sepupu Pak Karto yang tinggal satu pedukuhan dengan Pak Karto. Keluarga Pak Bejolah yang selama ini menjaga sawah dan merawat Pak dan Bu Karto saat anak-anak mereka sibuk di kota.

 

“Sawah itu milikmu Romlah. Kamu punya hak penuh atasnya. Biarkan saja saudara-saudara-mu yang tidak pernah pulang dan tidak pernah menjenguk ibunya,” terang Supono suatu malam pada sang istri.

Romlah tak langsung menjawab, hanya menatap ke arah kamar ibunya yang sedang tidur meringkuk di dipan kayu beralaskan kasur dengan sprei yang sudah tak cerah lagi warnanya. Ia ingat betul, siapa yang merawat orangtuanya sewaktu tak sempat pulang karena urusan kantor suaminya. Semua bukan dirinya, bukan pula kakak-kakaknya, tapi keluarga Pak Bejo. Mbak Narti, istri Mas Harun anak Pak Bejo, yang telaten mengantar makanan dan mencuci pakaian Bu Karto setiap hari.

Supono kembali melanjutkan bicaranya dan merasa tidak perlu menunggu tanggapan dari istrinya yang masih diam memaku.

“Kalau keluarga Pak Bejo masih menggarap sawah itu, setidaknya ada perhitungan hasil yang jelas untuk kita. Mestinya hak kita lebih besar. Kita pemilik sahnya lo. Sawah-sawah itu kan warisan dari orangtua-mu Romlah. Kakak-kakakmu sudah hidup enak di kota, tidak butuh sawah lagi. Jadi tidak perlu sawahnya digarap orang lain, tapi kita yang menggarapnya. Ini lebih aman!”

Demi mendengar kata-kata suaminya yang telah menyinggung, perempuan pendiam ini akhirnya bersuara dengan nada bergetar, menahan kecamuk di dadanya.

“Pak, keluarga Pak Bejo sudah berjasa pada kita. Mereka tak pernah menuntut. Mereka menggarap sawah karena merasa bertanggung jawab dan tak pernah meminta.”

“Itulah masalahnya! Justru karena mereka diam, kita yang harus mengambil sikap tegas. Kamu juga harus ingat Romlah, jika seseorang terlalu lama menggunakan barang yang bukan miliknya, pada saat barang itu diminta oleh yang berhak biasanya mereka keberatan karena merasa barang itu sudah bagian dari hidupnya, dianggap milik sendiri,” sanggah Supono panjang lebar.

 

Lelaki yang sudah beberapa tahun menjadi imam hidupnya itu, mulai menuntut agar seluruh sawah dikelola oleh dirinya sendiri. Bahkan meminta keluarga Pak Bejo meninggalkan sawah yang sudah mereka garap puluhan tahun. Padahal, keluarga Pak Bejo-lah yang selama ini merawat sawah-sawah itu dan menjaga rumah Pak Karto saat anak-anaknya sibuk mengejar hidup di kota.

 

Keesokan harinya, Supono mendatangi keluarga Pak Bejo dan meminta seluruh hasil panen diserahkan padanya. Dirinya tak menanyakan apakah hasil itu akan dibagi rata dengan saudara-saudara Romlah yang lain atau tidak. Pak Bejo mencoba bicara baik-baik,

“Pono, selama ini aku dan anak-anakku yang mengurus sawah itu. Kita tidak pernah mengambil keuntungan sendiri karena hasil panen selalu dibagi sesuai kesepakatan,” ungkap Pak Bejo bijaksana.

“Tapi sekarang aku dan Romlah yang tinggal di sini, ibu juga kita yang rawat. Wajar kan, kalau kita yang mengelola semuanya,” sanggah Supono bernada keras.

Akhirnya sawah-sawah keluarga Pak Karto diambilalih Supono. Suami Romlah itu bahkan berniat membuat perjanjian tertulis, seolah-olah tanah itu hanya miliknya dan Romlah saja.

 

Ketegangan terjadi antara keluarga Karto dan Bejo, saudara-saudara Romlah di kota mendengar kabar ini dan merasa tidak senang. Mereka menganggap Supono terlalu serakah. Sawah yang dulunya menjadi sumber berkah kini menjadi sumber pertengkaran akibat sikap serakah.

 

Romlah merasa sangat tertekan, tetapi tak kuasa menentang suaminya yang mulai keras kepala dan berubah sikap sejak kembali ke kampung. Perempuan itu tahu betul siapa yang selama ini merawat orangtuanya dan sawah warisan orangtuanya semestinya menjadi milik bersama.

 

Desas-desus tentang keserakahan Supono mulai menyebar di warung kopi, pos ronda bahkan seluruh kampung.

“Supono serakah karena takut miskin lagi seperti dulu,” ucap seseorang di warung Mbok Bar pagi itu.

“Wajar kan dia bersikap seperti itu, istri Supono kan anak bungsunya Pak Karto. Jadi warisan sawahnya paling luas,” kata yang lain. Suasana kampung kini tak senyaman dulu semenjak ada perselisihan dua keluarga itu.

 

Di sisi lain, Bu Karto sendiri dalam kepikunannya, sering memanggil nama Bejo dan anak-anaknya.

"Itu di teras ada Bejo yang bawa sayur, ya? Kalau bawa sayur ke sini, kamu sendiri sudah makan belum Jo. Mari sini makan dulu."

Romlah menangis diam-diam, hatinya sangat teriris mendengar ibunya mengigau seperti itu. Dirinya tahu, ibunya lebih mengingat nama-nama keluarga Pak Bejo yang bersamanya di hari tua, bukan anak-anak kandungnya.

 

Tak berapa lama, Supono jatuh sakit. Awalnya sekadar lelah dan batuk, tetapi tubuhnya makin lama makin kurus, dan laki-laki itu mulai sulit bangun dari tempat tidur. Menurut dokter penyakit yang diderita Supono komplikasi dari tekanan darah dan jantung. Berbulan-bulan Romlah dengan penuh kesabaran, merawat suami dan ibu kandungnya.

 

Suatu sore, saat hujan rintik-rintik, Supono memanggil istrinya dengan suara lirih.

“Romlah … ” panggil Supono, nafasnya tersengal-sengal.

“Ya, ada apa Pak, aku di sini,” jawab Romlah.

“Maafkan aku …”

“Maaf apa maksudmu, Pak?” tanya Siti Romlah sambil menggenggam tangan suaminya.

“Aku … telah serakah. Aku terlalu banyak menuntut. Harusnya aku sadar, sawah itu bukan milik kita sendiri …” Lelaki itu masih berusaha melanjutkan bicaranya,

“Rom ... andai aku mati ... jangan teruskan urusanku dengan sawah itu. Aku salah.”

Romlah menggenggam tangan suaminya dengan welas kasih, sembari menunduk. Air matanya jatuh menetes di tangan suaminya yang digenggamnya lebih erat.

“Sudahlah Pak, yang penting sekarang Bapak istirahat. Allah Maha Pengampun.”

 

Seminggu kemudian, Supono menghembuskan nafas terakhir. Suasana desa berubah, tangis dan doa mengiringi kepergiannya. Keluarga Pak Bejo datang melayat, tidak membawa dendam, tetapi kesedihan, sebab bagaimanapun, Supono adalah bagian dari keluarga besar mereka.

 

Setelah hari-hari berkabung lewat, Romlah mengundang keluarga Pak Bejo dan saudara-saudaranya untuk berkumpul. Perempuan itu berbicara dengan hati terbuka, mengakui kesalahan suaminya dan memohon maaf atas sikap yang selama ini menyakitkan.

 

“Kita terlalu lama membiarkan kesalahpahaman memisahkan kita. Supono memang suamiku, tapi dia bukan satu-satunya yang berhak atas sawah itu. Kakak-kakak punya hak dan keluarga Pak Bejo punya jasa,” ungkap Romlah. Semua terdiam.

“Aku ingin membagi hasil panen sesuai hak waris. Dan aku juga ingin sebagian sawah tetap dikelola keluarga Pak Bejo. Tanpa mereka, kita tak tahu seperti apa hidup orangtua kita sekarang.” Keluarga Karto menyepakati usul dari Romlah, sementara itu Pak Bejo mengangguk pelan.

“Kami hanya menjalankan amanah. Kalau memang begitu keputusannya, kami menerima dengan senang hati.”

 

Hari-hari kembali damai, Romlah tetap tinggal di rumah merawat ibunya hingga ajal menjemput. Keluarga Pak Bejo sering datang menemuinya, mengirim makanan, atau sekadar mengobrol saja. Dan di musim panen berikutnya, sawah itu kembali hijau, menghampar tenang, menyejukkan mata. Di tepi hamparan hijau itu, Supono mungkin tersenyum, akhirnya mengerti bahwa yang terpenting bukanlah berapa banyak warisan yang dimiliki, tapi kepada siapa kau mewariskan kebaikan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)