Masukan nama pengguna
SEBAGAIMANA panggung teater. Perlahan-lahan fajar membuka layar hitam. Matahari menyembul dari bukit karang. Menyerupai spot-light kekuning-emasan. Cahayanya berpendar. Muntah di hamparan samudra. Hingga buih-buih yang ditimbul-tenggelamkan gelombang tampak keputih-perakan.
Dari pintu losmen. Lelaki menggandeng tangan kekasihnya. Turun ke pantai. Ia adalah Adam. Sedang perempuannya adalah Eva. Mereka yang tengah berbulan madu itu bukan manusia kutukan Tuhan dari Taman Eden beribu-ribu tahun silam. Meski banyak orang mengira, kalau mereka adalah pesakitan di meja hijau Tuhan yang kembali dilahirkan di muka bumi.
Di pantai berpasir putih, Adam menyaksikan hamparan samudra. Pada pandangan matanya, tertangkap jalan lurus menuju kaki cakrawala. Jalan itu serasa garis kehidupan yang musti dilalui bersama istrinya. Sementara pada setiap mil, terdapat gapura. Tempat di mana mereka harus sejenak berhenti untuk merenungkan apa yang telah diperolehnya.
‘’Apa yang kau saksikan Adam?’’ Dengan nakal, Eva mengembangkan jari-jemarinya sebentuk kipas. Bergerak ke kiri ke kanan. Tepat di depan paras suaminya. “Di sana tidak ada kapal dan sekawanan camar yang melintas, sayang.”
‘’Aku tengah menyaksikan masa depan kita.’‘
“Masa depan kelam, karena kau menikahiku si anak fakir itu?’’
‘’Bukan itu maksudku.’
’‘’Lantas?”
’‘’Sudahlah, Eva!’’ Adam mengusap lembut kening istrinya. Hingga karang jiwanya seketika selumer jari-jemarinya. ‘’Mengapa hari-hari awal pernikahan kita harus dibuka dengan konflik picisan?’’
‘’Tetapi....’’
‘’Lupakan! Sebab, aku akan pula memandang samudra yang selalu memberikan gelombangnya ke pantai. Sebagaimana, sesuatu yang segera aku persembahkan kepadamu. Tutuplah kedua tingkap matamu, manis!’’
‘’Sesuatu yang tak ubahnya adegan cinta semalam?” Eva menanggalkan tangan lelaki itu dari keningnya. ‘’Jangan Adam! Ini di ruang terbuka.’’
‘’Bukan itu yang bakal aku persembahkan padamu.’’
‘’Lantas?’’
‘’Bukankah kau bersedia aku nikahi, sesudah lima tahun memujaku sebagai pematung? Bukankah kau suka patung?’’
‘’Jadi, kau akan membuatkan aku sebuah patung?’’
‘’Ya.’
‘’Sungguh.?’’
Adam mengangguk. Tertawa lepas tatkala menyaksikan istrinya merentangkan kedua tangannya seperti sayap burung. Terbang melintasi bunga-bunga bakung. Tidak jauh darinya.
“Wujudkanlah segera Adam. Aku tidak sabar. Bukankah mas kawin yang kau berikan padaku hanya layak datang dari seorang manusia lumrah? Seratus lembar uang bergambar Soekarno. Sesungguhnya aku kurang berkenan pada saat itu.’’ Eva berteriak dari balik gerumbul semak.
‘’Baik, sayang. Bergegaslah kemari!’’
“Ya.” Eva berlari-lari kecil menuju Adam. Berdiri di sampingnya. “Patung merupakan mas kawin yang tidak ternilai harganya. Bukan di depan penghulu. Melainkan di hadapan Tuhan yang terasa hadir di antara kita. Sebagai saksi abadi.’’
‘’Demi kau, akan aku ciptakan patung khusus. Maka, segeralah kunci kedua tingkap matamu!’’
‘’Seperti tadi malam?’
’‘’Lebih rapat lagi. Sebab, persembahanku kali ini akan memberikanmu kebahagiaan paling puncak.’’
Tanpa berpikir panjang. Eva mengatupkan tingkap matanya di samping Adam. Membiarkan wajahnya yang ranum pepaya terbakar matahari. Telinganya diistirahatkan atas desau angin, gedebur gelombang dan celoteh orang-orang di pantai. Ia hanya mendengar gerakan tangan suaminya yang tengah memahat patung pasir.
‘’Nah, sekarang bukalah matamu!’’
“Sudah selesai?’’
‘’Lihatlah sendiri!’’
Dengan perlahan namun pasti, Eva membuka matanya. Betapa bahagia. Karena, paras patung itu seanggun zamrud. Tetapi, ia heran. Mengapa Adam tidak meletakkan lingga atau yoni yang menandai patung itu laki atau perempuan.
‘’Mengapa matamu terbaca aneh? Kau tidak berkenan?’’
‘’Aku suka.’’
‘’Lantas?’’
“Patung ini laki atau perempuan?’’
‘’Kau menghendaki laki atau perempuan? Kalau laki, segera aku letakkan lingga di bawah pusarnya. Tetapi kalau perempuan, akan aku tandai karya ini dengan yoni sebagai rahasianya.”
‘’Aku suka laki. Agar ia serupa pelaut yang berani menerjemahkan badai dengan jiwa karang.’’
‘’Mengapa bukan perempuan?’’
‘’Aku takut, ia akan menjadi pelacur. Atau sebagai anak durhaka yang tega merebut kekasih ibunya sendiri. Sebagaimana kisah di kota Gomorah.’’
‘’Bukankah laki-laki Sodom suka mengambil kaum sejenisnya sebagai istrinya. Membiarkan perempuan senasib boneka yang bercinta dengan sunyi?’’
Eva merasa disudutkan pada ruang persoalan simalakama. Kepalanya tersumbat sebongkah batu sebesar kepala gajah. Buntu. ‘’Terserah padamu, sayang! Akan kau jadikan apa patung ini. Baik adanya bagiku.’’
‘’Bagaimana kalau aku ciptakan satu patung lagi? Biarkan yang pertama ini berkodrat lelaki. Sedang yang kedua berkodrat perempuan. Bukankah Tuhan mencipta perempuan dari tulang rusuk lelaki?’’
‘’Itu gagasan cemerlang. Aku sepakat.’’ Eva mengecup pipi suaminya dengan manja. Menggeser bibirnya ke bibir kekasihnya. Mereka saling berlumatan. Senampak sejoli merpati berbulu mega. ‘’Apakah aku harus memejamkan mata lagi?’’
‘’Tidak perlu!’’
‘’Mengapa?’’
‘’Karena kau harus menyaksikan peristiwa paling berharga yang segera aku tunjukkan padamu. Saksikan dengan mata dan sepenuh jiwamu!’’
Eva bersimpuh di depan suaminya. Rambutnya yang panjang bergerai ke pasir. Menambah keanggunannya sebagai calon ibu yang bakal melahirkan anak-anak Adam. Di muka bumi yang konon kabarnya kian kejam.
Dengan sepenuh manusianya, Adam menggenggam pasir. Meletakkannya di selangkangan patung itu. Memahatnya menjadi lingga. Lalu Adam menumpuk-numpuk pasir di samping patung pertama. Menciptakan patung baru yang lengkap dengan yoni. Sebagai tanda bahwa patung itu perempuan. ‘’Ya, selesailah sekarang.’’
‘’Sungguh sempurna. Aku menyukainya.’’
‘’Aku pun demikian. Karena kau menyukainya.’’
Sekejap kemudian, mereka sudah saling bertatapan. Bagi Adam, cinta di mata kekasihnya senampak bintang yang senantiasa mengingatkannya pulang seusai lelah bekerja. Sementara di mata Eva, pandangan Adam mencerminkan kesetiaan serupa laut yang menggedeburkan gelombang pada pantainya.
Ketika Adam dan Eva erat berdekapan tak menyadari sepasang patung itu terkoyak moncong gelombang yang ganas. Air mata Eva meleleh di pipi yang berteksturkan butiran pasir. Lantaran, dada kedua patung itu merongga sangat dalam serupa mulut gua. Tanpa seapel hati. Meski, bagian tubuh yang lain tetap utuh. “Edan!”
Sedangkan Adam perlahan-lahan berdiri. Jauh menatap laut. Di mana jalan yang di kiri-kanannya terdapat gapura-gapura menjulang sampai menggapai ketiak langit. Jalan di mana anak-anaknya akan menapaki tanpa sesisa hati. Menuju batas cakrawala. Tanpa lampu, bintang dan bulan. Sepekat senja yang sebentar lagi tiba. Berpayungkan awan.
TENTANG PENULIS
SRI WINTALA ACHMAD, lahir di Sleman 29 Januari 1964. Pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dimuat di berbagai media massa baik pusat maupun daerah di Indonesia, Malaysia, dan Australia. Puisi-puisinya diantologikan bersama para penyair Indonesia dan Asia Tenggara. Nama kesastrawannya dicatat dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Penerbit Kompas, 2001); Buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi, 2017); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Alamat: Gejawan Kulon RT 02/RW 34, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Email: sriwintalaachmad2018@gmail.com. Phone dan WA: 0856-0007-1262.