Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,353
Fiksiagra
Slice of Life

SAYA kira ini lebih tepat disebut ruang kerja pengarang atau perpustakaan daripada ruang praktek dokter. Dugaan saya tentang sebuah ruang praktek dokter meleset penuh. Melenceng jauh.

Satu set sofa berbusa amat lembut, hijau lumut, di mana saya kini duduk menunggu, berada di kiri pintu masuk. Pada dinding belakang dan samping lemari tinggi penuh buku. Bukan. Bukan buku ensklopedi kedokteran tapi buku-buku cerita pendek, novel karya pengarang-pengarang hebat Indonesia dan buku puisi-puisi. Di meja kaca rendah di depan saya terletak majalah Horison, Aksara, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen.

 Selain papan nama Dr Drusba – Spesialis Syaraf – yang tergantung di depan dekat pintu masuk tadi, apa yang meyakinkan saya bahwa ini memang ruang kerja seorang dokter spesialis adalah kehadiran seorang perawat yang tak terlalu sibuk mengurus administrasi pasien.

Nama saya tadi sudah dicatat dalam secarik kartu. Saya menunggu dipanggil. Menunggu yang tidak terasa karena ada beberapa pot besar bunga aglonema dan difens berdaun cerah, dan dream dream dream,…. all I wanna do is dream... lagu Dream yang diputar dengan suara rendah.

Tadi sebentar, tak sadar, kedua kakiku mengentak-entak kecil di lantai keramik hijau mengikut lagu lama itu. Dream dream dream. Sampai dikejutkan oleh panggilan si perawat. Tuan Kamal! Saya menoleh ke pintu, tak ada orang lain. Mungkin saya pasien terakhir. Sore sudah hampir menyentuh batas senja. Ya, Anda, silakan Tuan Kamal… Saya bergegas beranjak ke pintu kaca. Mengulur tangan ke gagang pintu, ketika tiba-tiba pintu bertirai tilai itu tertarik ke dalam. Ah, saya lupa, pasien sebelum saya masih di ruangan itu, dan kami nyaris bertubrukan badan.

“Lho, Mas Kamal,ya?”

“Ya,” kupandangi wajahnya untuk meyakinkan apakah saya pernah bertemu atau mengenal dia, sampai akhirnya pencarian di arsip ingatan dalam sepersekian detik itu sampai ke sebuah nama, seorang teman di grup WA, “Hei Mas Heru, ya?”

“Ya. Waduh kok ketemu di sini, ya. Mas Kamal mau wawancara sama Dr Drusba?”

“Nggak,…”

Silakan, Pak Kamal. Suara Dr Drusba menyadarkanku. Heru dan saya saling pamit. Saya lihat dia sebenarnya ingin diskusi. Tapi waktunya tidak tepat. Ini pertemuan kejutan. Aku langsung menuju meja Dr Drusba di balik tirai yang relnya di langit-langit ruangan. Dan inilah dokter Drusba! Silakan duduk. Wajahnya mengingatkan saya pada penyair Chili Pablo Neruda yang beberapa fotonya saya unduh dari situs web sastra.

“Masih kerja di majalah ya, Pak Kamal?” Saya kira dia mulai mendiagnosa saya.  

“Masih.” Saya paparkan bahwa saya sekarang menangani rubik tokoh, buku, dan investigasi. Sesekali mewawancarai tokoh untuk rubrik wawancara. Terakhir wawancara dengan seorang tokoh pendidik anak.

“Baik. Saya lihat catatan, ada tiga novel yang sedang Anda garap. Dua naskah untuk cerita televisi. Beberapa buah cerita pendek. Anda ingin semuanya selesai dalam tahun ini juga….”

“Ya. Naskah itu sudah lama terbengkalai. Susah sekali sekarang merampungkan sebuah tulisan.”

“Baiklah. Silakan berbaring. Saya periksa dulu.”

 Saya menuju ranjang periksa. Berbaring di sana. Sambil menunggu saya perhatikan ruangan itu. Bukan poster-poster jaringan syaraf, tapi foto pemenang Nobel Sastra. Penuh di dinding ruangan itu. Beberapa nama saya kenal, WB Yeats, Derek Walcott, Rabindranath Tagore, Harold Pinter, sampai Elfride Jelinek. Wajah beberapa sastrawan Indonesia juga terbingkai di sana, Pramudya Ananta Toer, Rendra, Budi Darma, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo. Melihat wajah-wajah itu terpajang gagah, tiba-tiba saja, saya merasa punya tenaga penuh untuk menyelesaikan semua karangan.

Saya mencari-cari adakah wajah Arswendo terpajang di ruangan itu.

Tekanan darah, detak jantung, dan beberapa kondisi fisikal saya diperiksa. Dokter Drusba mencatat. Ia periksa mata, telinga dan tekak. Ia mencatat. Dia kembali ke kursinya. Silakan kembali duduk.  Dia kembali mencatat. Tunggu. Dia menghilang ke balik pintu tak berdaun. Ia meramu resep yang tak bisa ditebus di apotek. Saya kira untuk alasan yang samalah Heru datang ke praktek ini. Di kalangan pengarang dan penyair nama Dr Drusba sudah lama menjadi pembicaraan, sejak ia menemukan racikan obat yang ia sebut fiksiagra. Sejenis obat yang merangsang otak agar kreativitas mengarang berlipat-lipat. Manjur sekali untuk pengarang yang sedang buntu otaknya. Aha, nama fiksiagra itu barangkali diilhami oleh Viagra, stimulan seks yang terbukti ampuh dan sempat sangat populer.

Kawan saya pernah menulis laporan tentang fiksiagra untuk rubrik ilmu pengetahuan dan teknologi majalah saya. Sebagai wartawan yang juga mengarang saya percaya tanpa stimulan apapun saya masih bisa membuat karya fiksi. Sampai kebuntuan-kebuntuan itu datang dan beberapa naskah terbengkalai. Saya sempat berdiskusi lewat SMS dengan Budi Darma. Lumayan sebagai perncerahan, tapi kemudian tetap saja beberapa karya saya tak kunjung selesai.

Fiksiagra. Saya mencium bau khas ramuan herbal dan aroma biakan mikroba dari ruangan peracikan obat. Suara cawan beradu dengan penumbuk. Bahan utamanya adalah racun botulinum yang dihasilkan bakteri Clostridium botulinum. Ini sebenarnya racun yang amat mematikan. Satu gram racun bisa membantai 20 juta orang. Tetapi pada takaran yang sangat terkendali ia bisa merangsang kontraksi otak dan itulah yang diteliti bertahun-tahun oleh Dr Drusba. Dengan ramuan yang khas, ia bisa mengarahkan kerja racun ini ke bagian kreatif otak manusia yang bekerja menghasilkan imajinasi. Ini penting untuk para pengarang fiksi. 

Saya tak melihat ada orang lain di ruangan bersama Dr Drusba. Batas antara racun dan obat memang tipis. Racun botulinum dikenal sebagai bahan medis Botox. Jika si racun mematikan dengan melepas protein yang menghalangi pelepasan acetylcholine – ini semacam pemancar yang memberi tahu otot ketika berkonstraksi, maka Botox – dalam bentuk yang sangat encer – efektif dan aman untuk mengatasi gangguan medis termasuk kekejangan dan pengerasan otak dan sumsum tulang belakang. Dr Drusba keluar dengan sebotol suspensi racikannya.

 “Anda yakin memerlukan ini, Pak Kamal?”

 “Kenapa, Pak?”

 “Saya belum yakin apakah fiksiagra ini mengakibatkan ketergantungan. Yang pasti bahan medis Botox tidak menyembuhkan sumber gangguan, dia hanya mengatasi gejalanya. Tapi, sejauh ini kalangan kedokteran menyatakan ini aman dipakai untuk menyembuhkan gejala lain.

Anda pernah dengar Leon Fleisher, kan?”

 Ya, saya pernah baca tentang pianis yang mengalami gangguan kontrol kontraksi pada dua jari tangannya. Botox menyelamatkan karirnya.

“Ini fiksiagra-nya. Silakan selesaikan administarsi di depan.”

“Terima kasih.”

   Selangkah dari ruang praktek, dengan fiksiagra di tangan, dan terngiang pesan ragu sendiri Dr Drusba, saya mulai ikut ragu. Saya membayar di perawat merangkap kasir. Sempat saya lirik di buku daftar pasien hari itu. Hei, ada beberapa nama yang saya kenal. Ini kuitansinya, Pak. Saya ucapkan terima kasih. Dia membalas. Saya menuju pintu keluar.

“Tunggu, Pak…”

“Ya, ada yang belum saya bayar?”

  “Oh tidak, Anda Pak Kamal, kan?”

 “Ya..”

Dia mengambil sesuatu di laci mejanya. Dera Derita Cinta! “Saya baru selesai baca buku ini. Boleh minta tanda tangan Anda di sini?” Oh, boleh, boleh. Ia sodorkan pena. “Ya, di sini, Pak..” Namamu? Maksud saya, saya harus tulis buat kamu kan? Ia mendiktekan namanya. Saya membubuhkan tanda tangan. Saya semakin ragu, sekarang apakah saya benar-benar perlu Fiksiagra ini.

Di luar tempat praktek ada tong sampah. Agak besar. Saya menuju ke sana. Melemparkan kantong berisi botol suspensi fiksiagra. Hei, ada benda serupa di sana! Saya jadi ingat Heru. Saya ingin meneleponnya tapi, ah, saya tidak tahu nomor telepon genggamnya.

Di rumah bergegas saya mengaktifkan komputer. Membuka email dari beberapa pembaca novel saya. Mereka terhibur dan berterima kasih karena saya telah menuliskan cerita itu. Sekarang saya benar-benar yakin dengan tindakan saya membuang fiksiagra di tong sampah di depan kamar praktek Dr Drusba. Saya tiba-tiba ingin membalas email itu satu per satu. | © Habel Rajavani, 2024

      

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)