Cerpen
Disukai
2
Dilihat
11,906
Seekor Anjing Bernama Si Jon
Drama


"ADA anjing di depan, Pak!"

"Anjing siapa? Dari mana?"

"Ndak tahu, Pak. Ndak pernah lihat."

Aku menengok ke teras. Seekor anjing hitam duduk menghadap ke teras. Di bawah salah satu papan ucapan duka cita. Seperti menunggu. Wajahnya ramah. Aku tak pernah melihat anjing itu. Apalagi beberapa hari ini aku tak pernah memperhatikan apa-apa yang ada di rumah, dan di sekitar komplek, hingga Indah dimakamkan, dan rumah kini kosong.

"Apa Bu Indah ada ngadopsi anjing, Yun?

"Ndak ada, Pak."

"Coba kasih makan. Ada sisa makanan? Kayaknya lapar dia."

Yuna ngasih makan anjing dengan sisa lauk yang ada di meja makan. Anjing itu makan dengan lahap. Yuna juga memberinya minum. Setelah makan anjing itu duduk dengan sopan lalu menatapku yang memandanginya dari teras. Anjing itu lalu pergi.

"Ikuti Yun. Ke mana anjing itu pulang..."

Aku kembali ke kamar. Tak ada lagi Indah. Indah sudah meninggal. Indah sudah pergi. Indah sudah dimakamkan. Aku merasa asing di kamar ini, Indah.

"Pak Ping... anjingnya kayaknya ke blok F. Tapi saya tak tahu ke rumah yang mana..."

"Ya, sudah. Yun. Kamar depan masih berantakan?"

"Sudah saya rapikan, Pak."

"Saya mau pindah ke depan aja, Yun."

"Pindah, Pak? Ke kamar depan?"

"Iya. Aku gak bisa tidur di sini. Pindahin meja kerja saya aja. Tolong bawain kabel colokan sama lampu mejanya."

Ini malam pertama aku sendiri tanpa Indah. Kemarin anak-anak sudah kembali. Ino ke Jepang. Mei ke Bandung.

Kamar depan ini kami siapkan untuk tamu dan kerabat yang kami ajak menginap. Perasaan sepi dan asing yang kurasa lumayan bisa kutekan. Aku memposisikan diriku sebagai tamu di rumah sendiri. Aku merasa asing di rumahku sendiri. Karena tak ada lagi Indah. Aku mencoba mengetik tapi tak ada yang bisa kuketik. Laptop kututup dan aku mencoba tidur. Jika aku pun akhirnya tertidur itu karena tubuh tuaku ini sudah sangat capek.

"Pak, si anjing itu datang lagi..." kata Yuna.

Pagi-pagi dia membangunkanku sambil membersihkan kamar. Aku memang berpesan padanya kemarin agar saya dibangunkan kalau jam 7 aku belum bangun.

Aku bangun, mandi cepat, berganti pakaian dan pergi ke teras. Anjing hitam itu duduk persis di tempatnya duduk sore kemarin. Ekspresi wajahnya kali ini tampak lebih riang.


"Halo, Jon!" kataku.

"Guk..."

Yuna tertawa. "Wah, namanya Jon, Pak? Kok Bapak tahu?"

"Aku asal sebut aja, Yun."

Yuna tertawa lagi. Dia sedang kasih makan kucing-kucing yang kini kayak anak piatu tanpa Indah, ibu yang menyayangi mereka.

Aku bilang ke Yuna gimana kalau kami piara aja anjing itu. Kata Yuna apa nanti bisa rukun sama kucing-kucing peninggalan Indah. Kubilang coba aja.

"Tapi ini anjing pasti ada tuannya. Bentar saya tanya sekuriti, kataku. Lalu aku telepon Andri, kepala sekuriti komplek. Aku jelaskan ciri-ciri Si Jon, hitam, besar, kekar, aku tak tahu ini anjing jenis apa.

"Ndak ada talinya, Ndri. Bekasnya juga ndak ada. Ndak pernah ditali kayaknya."

Andri janji akan cari info.

Sementara aku minta Yuna kasih makan untuk Si Jon. Si Jon makan dengan lahap. Lalu duduk di pojok garasi. Seperti berjaga. Beberapa anjing yang dibawa jalan-jalan oleh tuannya tampak segan melihat Jon.

"Si Jon itu kayaknya mau jagain rumah kita, ya, Yun?"

"Mau jagain Bapak kayaknya," kata Yuna.

"Ngawur kamu, Yun. Saya ngapain dijaga," kataku. Tapi barangkali Tuhan punya pendapat lain dan Dia kirim seekor anjing buat menjagaku. Atau dia pengganti Indah? Ah, mana mungkin. Indah tak akan pernah bisa tergantikan oleh apa pun atau siapa pun.

Yuna minta izin belanja ke supermarket di mal tak jauh dari komplek perumahan kami, di mana kami biasa berbelanja atau makan di sana kalau kami ingin makan di luar. Aku memintanya juga beli makanan anjing.

“Yang gimana, Pak?”

“Wah, aku ndak tahu, Yun. Kamu tanya aja penjualnya, merek apa yang bagus dan cocok untuk anjing kayak si Jon.”

“Kayaknya semua anjing makannya sama aja, Pak…”

TAK lama setelah Yuna pergi Andri datang dengan cerita tentang siapa pemilik Si Jon. Ada rumah di blok paling ujung yang dihuni pasangan dari Belanda. Beberapa bulan lalu si pemilik rumah pulang ke Belanda. Si Jon, atau siapa pun namanya, ditinggal bersama pembantunya. “Katanya si suami meninggal di Belanda, jadi istrinya tak balik lagi ke sini,” kata Andri.

“Terus si mba yang jaga rumah kemana?”

“Nah, minggu lalu si mba pulang kampung karena orangtuanya meninggal.”

  “Ya, sudah kalo gitu, biar Si Jon saya piara, Pak Andri. Kalau nanti si nyonya Belanda pulang atau si mba kembali ambil aja lagi…” kataku.

Sejak itu Si Jon resmi jadi penghuni rumahku. Sebagai pendatang baru dia berkelakuan baik sehingga diterima dengan baik oleh kucing-kucing piaraan Indah. Malam pertama di rumah Si Jon membunuh seekor ular hitam besar di halaman depan. Yuna yang ngeluh jadi tambah kerjaan, katanya. Kubilang ya sudah nanti kutambah gajinya. Kupikir tak apa, toh dia sekarang juga mengerjakan apa-apa yang dulu dikerjakan oleh Indah.

“Rumah sebesar ini harusnya dikerjakan dua orang, Pak,” kata Yuna. “kayak rumah Pak Topik itu lo, Pak. Rumahnya kan sama gedenya sama rumah Bapak… pembantunya lima, Pak.”

Iya juga sih. Yuna tampak keteteran mengerjakan sendiri pekerjaan di rumah ini. Dulu aku tak meperhatikan karena semua diurus Indah. Membersihkan lukisan, benda-benda perhiasan, kolam dan akuarium, aviarium burung di belakang, pohon mangga dan nangka di depan, bunga-bunga dalam pot,….. semua bisa tumbuh, terawat, karena sentuhan tangan Indah.  

“Kamu punya teman? Ajak aja kerja di sini, Yun…”

“Ada, Pak. Besok saya ajak…”

Ketika Yuna datang bersama Witri, perempuan yang lebih muda dan katanya temannya yang dia ajak kerja di rumah ini, Si Jon gelisah, berjalan bolak-balik. Ia memandang curiga pada Witri.   Puncaknya Si Jon menggonggong keras ke arah Witri. Witri ketakutan.

“Ndak papa, Wit, baru kenal dia. Nanti juga terbiasa..”

“Ndak, Mba… takut aku… Ndak jadi, Mbak. Saya cari kerja di tempat lain aja,” kata Witri.

TAK lama setelah Witri pergi Andri datang. Dia menyampaikan rencana manajemen komplek mengadakan vaksinasi hewan piaraan. Itu kegiaran rutin yang digagas oleh warga pencinta hewan. Aku minta tolong pada Andri supaya Si Jon nanti dia bawa ikut vaksinasi.

“Ini ada urunannya, Pak. Bu Indah dulu donator rutin. Sekalian akan divaksinasi kucing-kucing liar di komplek,” kata Andri.

“Berapa urunannya?”

“He he…. Kurangnya masih banyak, Pak.”

“Ya, sudah, nanti saya tombok berapa kurangnya.”

Andri sudah pamitan ketika dia bertanya lagi, “Oh, ya, Pak, Bapak jadi jual rumah ini?”

“Kok kamu tahu saya mau jual?”

“Dulu kan Bapak yang bilang, minta tolong Andri carikan pembeli. Udah ada peminat nih, Pak. Tadinya mau beli rumah yang di blok B. Udah laku.”

Aku tak menanggapi Andri beberapa saat. Mengitarkan pandang ke rumah, teringat Indah, dan melihat Si Jon yang tampak riang bermain dengan kucing-kucing.

“… kalau Bapak ada waktu orangnya mau saya ajak ke sini, Pak. Lihat-lihat…”

“Ndak usah, Ndri.”

“Ndak jadi dijual, Pak?”

“Iya. Ndak jadi….,” kataku. Aku mau meninggal di rumah ini. Seperti Indah meninggal di sini. Mungkin itu pesan yang disampaikan Indah lewat kedatangan Si Jon.

© Habel Rajavani, 2024.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi