Cerpen
Disukai
1
Dilihat
6,616
Sesaat Sebelum Bom Itu Meledak
Aksi

Sesaat Sebelum Bom Itu Meledak

Cerpen Habel Rajavani


MALAM ini tugas itu harus dia tuntaskan. Tugas yang membuat dia menyerahkan nyawanya, mengakhiri hidupnya, dan di alam sana dia akan dijemput 70 bidadari. Ia mengunci kamar kosnya. Ada beberapa barang yang tak seberapa berharga di sana. Kasur. Kipas angin. Pakaian dan beberapa kitab sudah ia berikan pada temannya. Praktis ia tak meninggalkan apa-apa.  


Ya, malam ini dia akan meledakkan bom di sebuah hotel bintang lima, hotel yang menjadi simbol kehadiran dan dominasi negara kafir itu. Akan ada pertemuan para duta besar negara-negara  rezim zalim di sana. Dia menyandang tas tenteng yang sama sekali tak akan menimbulkan kecurigaan. Tas berisi bom rakitan jenis baru, kecil saja tapi berdaya ledak tinggi. Tas itu berbahan kain belacu dari pesantren di mana dia mondok.


Ia memesan ojek lewat aplikasi online. Tak lama kemudian, nah, driver found! Di aplikasi ponselnya tertera nama Syahid Rahmat, nama pengemudinya, juga jenis motor dan nomor platnya. Tiga menit lagi tiba. Dia memperkirakan perjalanan ke hotel tak sampai 30 menit. Dia masih punya waktu dua jam sebelum masuk ke hotel dengan cara yang sudah ia pelajari. Masih cukup banyak waktu baginya.


Lalu tukang ojek datang, lebih cepat dari perkiraan di aplikasi tadi. 


"Sofyan? Mas Sofyan kan ya? Assalamuaalaikum, Akhi.."


"Lho? Mas Jalil? Tapi tadi di aplikasi namanya Syahid?"


Rupanya, si pengemudi ojol yang menjemputnya adalah temannya satu pesantren. Sudah lama mereka tak bertemu, tapi mereka berdua masih saling kenal. Secara fisik penampilan tak mereka berdua tak banyak berubah.


Sofyan menenangkan dirinya. Bertemu orang lain dia bisa tenang tapi bertemu orang satu pesantren tak ayal dia kikuk juga pada situasi itu. Dia tak tahu apa yang dikerjakan Jalil saat itu, sejak beberapa tahun setelah mereka berdua meninggalkan pesantren.


“Ngojek, Mas?” tanya Sofyan.


"Ini saya pakai motor dan aplikasi teman. Saya lagi nabung beli motor juga. Ini motor kawan sudah hampir lunas. Ana ngojek begini buat tambahan aja…"


"Syahid Rahmat? Itu siapa?"


"Bukan teman pesantren kita. Ana baru kenal di Jakarta, kok."


Sofyan agak gelagapan ketika Jalil bertanya apa tujuannya pergi ke hotel itu. Saat itu jalan ke hotel agak gelap. Kalau pun terang, Jalil juga tak bisa melihat ekspresi wajah serba salah di balik helm hijau kawannya yang membonceng di belakang. Sofyan mendustakan jawaban. Dia katakan dia hendak ke daerah di sekitar hotel itu ketemu teman. Jalil segan bertanya lebih lanjut. Seingat dia di sekitar hotel bintang lima itu semuanya perkantoran. Mungkin saja kawan Sofyan bekerja di masjid di salah satu perkantoran itu. 


"Antum buru-buru? Kalau tidak ana mau ajak antum makan. Kebetulan ana dari tadi belum makan," kata Jalil setibanya mereka di tujuan. Sofyan sempat ragu menimbang. Ia minta izin menelepon dan mengambil jarak yang cukup jauh sehingga Jalil tak begitu jelas mendengar apa dan dengan siapa Sofyan bicara dan membicarakan apa.


Mereka kemudian tampak menikmati pecel lele di sebuah warung tenda di antara deretan penjual maknan lainnya di situ. Jalil bercerita rencananya balik ke pesantren. Dia diminta ustaznya untuk kembali menjadi pengajar. “Antum ingat Ustaz Kholil?”


“Sudah kembali beliau dari Mesir?”


“Sudah. Sepulangnya dari Mesirlah beliau mencari dan minta saya kembali. Katanya dia mau mengembangkan pesantren kita itu. Perlu banyak tenaga pengajar. Antum kalau kembali nanti ana sampikan….,” kata Jalil.


“Jadi antum pasti mau pulang ke pesantren kita?”


“Masih saya pertimbangkan, Akhi…”


“Antum sudah menikah?”


“Belum. Kata Ustaz Kholil kalau saya kembali dia akan pilihkan santri untuk dinikahkan dengan saya…”


Jalil dan Sofyan tertawa.


Makan malam itu berakhir, makan malam terakhir bagi Sofyan, satu setengah jam sebelum ia menjemput maut dengan bom di tasnya.


"Antum kerja di mana?" tanya Jalil.


Kali ini Sofyan jujur. Ia bekerja menjadi pengelola masjid di sebuah kantor BUMN. Muazin. Kadang imam. Sesekali khotbah jumat. Ia mencari tambahan dengan mengajar karyawan yang belajar mengaji padanya.


Yang tidak ia ceritakan adalah dia bergabung dengan sel kelompok yang oleh penguasa dicap radikal. Kelompok yang tak peduli meski media menyebut mereka sebagai teroris. Yang mereka yakini mereka berada di jalan yang benar, jalan jihad. 


Setelah makan mereka pun berpisah. Jalil ambil order antar penumpang ke Masjid Besar di pusat kota. Sofyan mengambil tas bomnya dari bawah meja warung tenda. Ia sedapat dan sewajar mungkin menghindarkan tas itu agar tak menarik perhatian kawannya.


Sebelum berpisah Jalil memeluk Sofyan erat sekali.


Satu jam lagi. Ia mengingat lagi apa yang sudah ia pelajari: masuk lewat mana, siapa yang orang dalam hotel yang menyeludupkan barang tanpa lewat pemindai, lalu dia sembunyi di mana bersama bom itu, dan booom! Ledakan dikendalikan dari jauh. Ia bisa saja meletakkan bom itu lalu pergi. Tapi tentu saja dia tertangkap CCTV dan jika dia tertangkap jaringan akan terbongkar. Tidak. Dia tak akan melakukan hal itu.


Dia sudah putuskan untuk mati syahid malam itu. Dan 70 bidadari sedang menunggu untuk menjemputnya.


Semua berjalan lancar.


Tamu-tamu konferensi sudah mulai meramaikan hotel itu. Besok akan pembukaan pertemuan para duta besar negara zalim. Bom itu adalah pesan politik. Bahwa ada gerakan politik besar ultranasional, yang menyuarakan perlawanan, yang tak mau terus-menerus didikte negara-negara besar yang tak adil pada umat muslim di beberapa negara.


Sofyan sudah berada pada posisi yang direncanakan.


Bom itu tidak dimaksudkan sebagai serangan yang memakan banyak korban. Hanya peringatan. Targetnya membatalkan pertemuan besok. Kalau pun akan ada korban itu hanya ekses yang tak bisa dihindari.


Sofyan menunggu bom itu meledak.


Ketika ditawarkan kepada beberapa anggota jemaah kelompoknya siapa yang akan melakukan aksi malam itu, Sofyan langsung mengajukan diri. Beberapa rekannya yang lain juga melakukan hal yang sama. Pemimpin kelompok mereka akhirnya memilih Sofyan.


Sofyan menjalankan tugas itu dengan gembira. Baginya sudah terpatri benar bahwa  akhirnya semua manusia toh pasti mati. Cuma soal waktu. Dan mati terbaik adalah mati dengan jaminan surga. Pemahaman itu selalu disampaikan di setiap pengajian mereka.  


Tinggal beberapa detik..... Tapi tak ada ledakan.


Sofyan menunggu.


Belum meledak juga. Hampir sepuluh menit berlalu. Tetamu hotel riuh. Orang-orang melihat televisi. Ia ikut menonton dari jauh. Bom meledak di tempat wudhu Masjid Besar di pusat kota. Sofyan membuka tasnya. Tak ada bom rakitan itu di sana. Hanya jaket seragam ojek online! 


Ia ingat tadi Jalil membawa tas tenteng dari pesantren yang sama dengan tasnya!

 

© Habel Rajavani, 2024.




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi