Cerpen
Disukai
0
Dilihat
11,543
Di Pulau Itu Setiap Hari adalah Hari Sabtu
Drama

MEJA yang di pojok itu.

Selalu di situ.

Dia memesan kopi saring.

Dan telur.

Terserah dimasak apa saja. Setengah matang, atau diteguk mentah, begitu saja. Kebiasaan terbawa dari penjara. Di sana dulu dia menjadi tukang masak. Dengan upah sebutir telur tiap hari. Bagian dari cara bertahan hidup di penjara yang keras, apalagi bagi dia yang masuk penjara karena membunuh ibunya. Para terpidana di dalam sana itu tak peduli, apapun alasannya. Mereka memang punya standar moral yang mungkin bagi orang lain dianggap rendah, karena tindak kriminal yang mengantar mereka ke dalam penjara itu, tapi ibu masih diberi tempat terhormat dalam tatakrama mereka.

Meja yang di pojok itu.

Tiap hari Sabtu.

Selalu Sabtu. Lia hafal benar perilaku pelanggan yang satu itu. Mantan napi yang setahun lalu muncul begitu saja. Menciptakan rutinitasnya sendiri. Jadwal yang ajeg. Dia baru saja bebas. Tak pernah ada yang menemani atau menemuinya. Tak juga ia pernah bicara dengan para pelayan di situ. Lia, pelayan paling senior di sana, tak juga punya rencana, tapi akhirnya ia yang paling sering melayani lelaki dengan lengan penuh tato itu.

“Aku kerja di pelabuhan. Jaga kapal. Jaga gudang. Jaga kontainer yang sudah turun tapi belum dibongkar. Aku tak ada kartu nama. Aku tak perlu pass untuk keluar masuk pelabuhan,” kata lelaki itu.

“Di pelabuhan itu kan ada sekuriti. Ada polisi. Tentara juga ada. Mereka masih perlu kau juga untuk menjaga semua itu?” kata Lia.

“Di pelabuhan juga ada preman. Ada buruh yang mudah marah. Mereka semua malas berurusan dengan preman. Makanya urusan itu diserahkan kepadaku. Preman punya aturan sendiri. Preman juga punya masalahnya sendiri. Preman juga punya cara menyelesaikan persoalannya sendiri. Aku tahu itu dan aku bisa selesaikan masalah preman dengan cara preman…” kata lelaki itu.

“Karena itu mereka perlu engkau?”

“Ya.”

“Karena masalahnya kau juga yang bikin?”

Lelaki itu tertawa. Lia ikut tertawa.

“Mereka sendiri yang bikin masalah. Mereka bikin situasi sehingga orang-orang seperti kami ini selalu dalam masalah.” 

“Sampai kapan kau akan hidup di pelabuhan itu?”

“Suatu hari aku akan meninggalkannya. Itulah satu-satunya cara untuk terlepas dan terbebas dari persoalan di pelabuhan itu…”

Begitulah. Pelan-pelan Lia semakin mengenalnya.

Selalu. Di meja yang di pojok itu.

Pertama kali bicara pada Lia adalah ketika lelaki itu mengajari atau tepatnya memberi instruksi bagaimana memasak telur seperti yang ia inginkan. Tak ada dalam daftar menu. Juru masak menolak melayani. Lia ambil inisiatif memenuhi permintaan itu. Sederhana saja: pecahkan dua butir telur, kocok lepas, taburi garam, beri sobekan sayur, tambah rajangan cabai, dan masukkan dua centong nasi. Kocok lagi. Lalu didadar dengan minyak yang sangat panas! Seperti kerak telur.

"Bukan, nasi telur," kata si lelaki pada Lia.

Ketika Lia semakin dekat dengan lelaki itu hal-hal pribadi pun terungkapkan. Termasuk cerita yang membuat lelaki itu menjadi preman. Ini soal kemarahan dan dendam. Lelaki itu menceritakan dengan sangat tenang. Tak ada tampak rasa sesal. Mungkin karena dia sudah menjalani hukuman karena perbuatannya itu.

"Ayahku dibunuh oleh seorang lelaki. Kemudian saya tahu, pembunuhan itu terjadi sebagai persekongkolan ibuku dengan lelaki yang diam-diam dengannya ibuku mengkhianati ayahku," kata si lelaki meja pojok itu kepada Lia.

“Lelaki pembunuh ayahmu itu ditangkap?”

"Lelaki itu tak pernah ditangkap. Aku marah pada ibuku. Lalu aku lari dari rumah. Setelah mencapai usia yang cukup untuk balas dendam aku kembali dan mendesak ibu untuk menunjukkan di mana lelaki itu. Kala itu si lelaki sudah mencampakkan ibuku. Kami bertengkar dan itu berujung pada kematian ibuku, dengan pisau di tanganku. Aku membunuhnya."

Lia bertanya, "berapa tahun kau di dalam penjara?"

"Pasal 340 KUHP. Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Pas, aku dapat yang 20 tahun itu. Hukumanku seumur hidup, bebas karena berkelakuan baik, dikurangi remisi dan lain-lain," ujar si lelaki meja pojok.

Datang lagi sebuah Sabtu.

Meja yang di pojok itu kosong.

Lelaki itu tak datang. Lia sudah membuat kopi saring dan meletakkannya di meja itu. Seperti sebuah rutinitas yang baginya malah tak nyaman kalau tak dilakukan. Lalu datang sebuah Sabtu lagi. Meja itu kosong lagi. Lalu sebuah Sabtu lagi, hingga tiga kali Sabtu. Seseorang lain duduk di meja itu. Memesan minuman lain, dan makanan yang lain. Lia berharap si lelaki penggemar telur itu kelak datang lagi.

Ketika lelaki meja pojok itu datang, pada suatu Sabtu, justru Lia yang tak masuk kerja. "Ayahnya meninggal," kata teman Lia.

"Sakit?"

Teman Lia tak tahu, ia selama ini bahkan tak pernah tahu apakah ayahnya Lia masih ada atau tidak.

Lia tak pernah bercerita banyak tentang kehidupan pribadinya.

"Kapan dia masuk?"

Teman Lia juga tak tahu. Si lelaki memesan kopi saring, dan telur setengah matang. Ia duduk di meja pojok. Dia tampak tenang sekali kini. Itu terlihat dari caranya menghisap dan mengembuskan asap rokok. Seperti telah menuntaskan sebuah tugas besar. 

Bukan urusan yang sulit bagi lelaki itu menemukan alamat Lia.

“Sudah lama, dia hanya berdiam di rumah. Beberapa hari lalu dia pergi untuk satu urusan, katanya. Urusan lama yang belum selesai. Lalu dia tak pulang. Sampai polisi menemukan mayatnya di pelabuhan,” cerita Lia, “…beberapa preman ditangkap. Polisi bilang itu perkelahian antarpreman.”

Lelaki itu menyimak cerita Lia tanpa komentar.

"Mungkin seperti ini yang kau rasakan dulu ketika ayahmu dibunuh," kata Lia pada lelaki itu, "tapi waktu itu kan kamu masih sangat muda ya?"

Tak sampai sebulan berkabung, ah mungkin itupun istilah berkabungt itu terlalu mewah, Lia masuk kerja seperti biasa. Lelaki itu kini datang tiap hari, bukan hanya Sabtu.

Mereka makin akrab, sampai lelaki itu berani mengungkapkan isi hatinya. "Kalau aku melamarmu, karena aku mencintaimu, apakah kamu akan tetap melaporkan aku sebagai pembunuh ayahmu?"

Lia terdiam sejenak. Dia tampak sedikit terkejut tapi dengan lekas dia kembali tenang. “Aku tak yakin apakah dia benar-benar ayahku Tapi dia memang pantas dibunuh,” kata Lia.

Lia dan lelaki itu lalu hidup di sebuah pulau kecil. Tak ada pelabuhan di sana. Hanya pelantar kecil tempat menambatkan perahu-perahu kecil. Orang-orang datang, menyeberang, dan menginap di rumah-rumah kecil yang terlindung oleh pohon-pohon bakau dari ombak. Seorang anak lelaki kecil berlari di sepanjang pantai berpasir bersih tak jauh dari pelantar kecil itu. Lia dan lelaki itu memandangi anak kecil itu sambil saling bertukar senyum.

“Sekarang hari apa ya?” tanya si lelaki.

“Sejak tinggal di sini saya lupa hari. Tapi anggap aja di sini setiap hari adalah hari Sabtu,” kata Lia sambil tersenyum.

© Habel Rajavani, 2024.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)