Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,370
Sebilah Pedang, Gua Kelelawar, dan Seekor Buaya
Horor

Sebilah Pedang, Gua Kelelawar, dan Seekor Buaya

Cerpen Habel Rajavani


“ANDA menyimpan pedang itu, kan?” tanya tamuku.

“Maksudnya pedang apa?” tanyaku.

 “Pedang dari gua kelelawar.”

 “Ada apa dengan pedang itu?”

 “Jadi benar pedang itu ada di tanganmu?”

  Aku tak langsung menjawab. Kuperhatikan lagi dia dengan saksama. Dia bukan pembeli pupuk kotoran kelelawar. Tapi entah dari mana dia tahu tentang gua kelelawar dan tahu bahwa saya pada jam-jam begini ada di gua ini, menggali dan memasukkan kotoran kelelawar yang sudah jadi pupuk organik ke dalam karung-karung. Dan kemudian bertanya soal pedang itu. 

Aku mengingat-ingat kejadian beberapa tahun lalu. Kejadian yang membuat pedang itu ada di tanganku.

Kaca depan rumah kami dihantam sesuatu. Seperti benda berat yang dilemparkan. Cukup keras untuk menimbulkan suara yang mengejutkan kami. Kami baru saja selesai salat magrib. Aku tinggalkan zikir yang belum selesai, bergerak ke teras. Ada darah di kaca itu dan seekor kelelawar besar teronggok sekarat.

Tubuhnya pecah. Dan matanya! Matanya yang hitam itu dengan tajam menatapku. Mulutnya menyeringaikan taring dan setelah lengkingan yang nyaring, kelelawar itu mati.

"Buang!" kata bapak.

Aku terkejut. Tiba-tiba saja dia sudah ada di belakangku.

“Buang ke mana, Pak?”

“Buang ke sungai,” kata bapak.

Aku menating bangkai kelelawar itu dari ujung tangannya. Kukunya hitam dan tajam. Sempat tertusuk ujung jariku. Cukup dalam. Aku merasakan perih. Sampai di sungai di tengah kampung, luka itu masih berdarah. Dari tepian sungai aku mendengar suara dari gua kelelawar di hulu itu lebih bising dari biasanya. Hingar bingar ribuan ekor kelelawar.

Ketika bangkai kelelawar yang kubuang sampai di permukaan sungai aku dikejutkan kecipȧk suara air. Aku kira kelelawar itu hidup. Ternyata ada buaya yang menyambarnya. Disusul seekor buaya lain. Mereka lantas berebut. Aku sempat melihat tubuh kelelawar itu terobek jadi dua. Lalu dua ekor buaya itu menghilang dari permukaan sungai.

Aku segera pulang. Ibu menungguku di balik pintu dengan cemas. Aku tak melihat ada bapak.

“Bapak mana, Bu?”

 "Bapak ke gua," kata ibu ketika sudah masuk rumah. Ibu lekas menutup pintu.

 Bapak memang biasa begitu. Kadang-kadang, ada pembeli pupuk kotoran kelelawar yang kami kumpulkan dari gua, yang mengambilnya pada malam hari. Mereka datang dari kota. Mereka tak pernah menginap di kampung kami. Tadi siang, kami sudah menyiapkan beberapa puluh karung.

Aku mencuci tangan, membersihkan darah, sekalian mengambil wudhu lagi.

"Kenapa punggungmu berdarah?" tanya ibu. Aku tak tahu. Aku buka bajuku dan kulihat ada sobek memanjang seperti bekas cakaran.

"Punggungmu luka," kata ibu.

Aku tak merasakan apa-apa. Aku menghadapkan punggungku ke cermin. Ada luka persis seperti robekan pada bajuku. Tiga calar sejajar memanjang. Dan berdarah. Ketika aku melihat luka itu, baru kemudian tiba-tiba aku merasakan perih.

Ibu sedang membersihkan luka di punggungku, ketika tiba-tiba terdengar lagi suara yang mengagetkan kami berdua. Persis seperti suara tadi, suara benda berat yang menghantam kaca depan rumah kami.

Kali ini suaranya lebih keras. Aku spontan berdiri dan berlari ke depan. Seekor kelelawar yang lebih besar teronggok sekarat. Matanya yang hitam menatapku seperti ada api yang menyala di dalamnya. Gigi taringnya menyeringai, melengkingkan jeritan, lalu mati. Tubuh kelelawar itu pecah.

Aku dan ibu ketakutan. "Buang, Bu?" tanyaku.

"Tak usah. Biarkan saja. Tunggu bapakmu datang," kata ibu. Aku mendengar ketakutan juga pada suara ibu. Aku menutup pintu. Darah meleleh pada kaca depan rumah kami. Darah kelelawar. Aku dan ibu duduk di ruang tengah, mengitari lampu minyak. Tiba-tiba ada suara hewan besar berkejaran. Lalu keduanya terdengar berada di teras rumah kami. Aku mengintip: buaya!

Dua ekor buaya besar memperebutkan bangkai kelelawar. Sesekali ekor buaya itu menghantam kaca. Untungnya tak pecah. Kaca lima mili itu cukup kuat. Ibu tak berani mendekat kaca. la memanggilku untuk menjauh dari teras. Aku tak mendengarkannya. Aku seperti tersihir untuk menyaksikan perkelahian dua buaya sungai itu. Tak sempat kuperhatikan, tiba-tiba sesosok bayangan melompat dan menebas leher buaya itu satu per satu.

Pedang itu berkilat.

Menetes darah dari matanya.

Pedang yang sama tadi kutemukan ketika menggali kotoran kelelawar di gua. Ayah mengambilnya dari tanganku dan lama mengamati pedang itu seakan mengenalnya lalu dia sembunyikan di sebuah lubang di dinding gua.

Aku tak mengerti ketika ayah, malam itu menyerahkan pedang itu padaku.

"Ini pedangmu, Nak... Peganglah. Tapi besok kita harus kembalikan pedang ini ke gua… "

Lalu kelelawar yang sekarat tadi bernapas, hidup dan terbang.

Aku mengamati lagi orang yang menemuiku. Ia selalu menghindari bertatapan mata denganku. Matanya sekilas kulihat besar sekali bagian hitamnya. Seperti mata kelelawar. Dia merokok, dan baru kusadari asap rokokya itu hitam, seperti jelaga. Ia menghisap rokok yang dilinting dengan sesuatu yang berwarna hitam. Bukan rokok pabrikan.

Ketika bapakku meninggal beberapa tahun setelah ia menyerahkan pedang itu padaku, bapak tak berpesan apa-apa terkait benda itu. Kecuali bahwa aku harus menyimpannya saja. 

“Aku kenal siapa bapakmu,” kata tamuku itu. Ia lalu menyebut nama bapakku.

 Lalu tanpa kuminta dia bercerita, apa yang tak pernah diceritakan oleh bapakku padaku. Dia dan bapakku, ujarnya, dulu sama-sama berguru pada seorang sakti. Merekalah dua murid terakhir. Sebelum guru itu meninggal, dia meminta dua muridnya itu bertarung, mempraktikkan 24 jurus yang ia ajarkan.

 “Bapakmu menungguliku di semua jurus itu. Lalu guru kami memberikan pedang itu padanya,” kata tamuku itu. “Aku lalu meninggalkan perguruan. Bapakmu menjaga guru sampai dia mangkat.”

  Jenazah sang guru dimakamkan di gua yang semula kosong. Itulah amanatnya. Tanpa nisan. Itu juga amanatnya. Pedang itu dimakamkan di bagian lagi di gua itu. Beberapa waktu kemudian gua itu didatangi kelelawar. Ratusan lalu ribuan. Seperti bermigrasi dari gua lain yang entah di mana adanya. Kelelawar itu lalu berkembang-biak.

 “Apakah bapakmu pernah mengajarimu silat? 24 jurus yang dulu kami pelajari dari guru kami itu?”

  Aku lekas menjawab, “tidak pernah. Aku bahkan tak tahu soal itu.”

 “Maukah kau kuajari jurus itu? Sebagai imbalannya, kau berikan pedang itu padaku…”

 “Tuan. Kalau tuan memang menginginkan benar pedang itu, saya akan berikan. Tak perlu kau ajarkan aku silat atau tak perlu tuan memberikan apapun. Tunggu sebentar…”

 Aku lalu masuk ke dalam gua, menuju tempat yang kuingat di mana tempat bapakku menyembunyikan pedang itu dulu. Tak sulit bagiku untuk menemukan kembali pedang itu. Letakkan persis seperti dulu. Aku mengambilnya lalu kubawa ke mulut gua

 Lelaki, tamuku tadi, tak ada di sana.

 Lalu tiba-tiba saja seekor buaya menyerangku. Dengan mulut menganga buaya itu melompat, seperti terbang ke arahku. Aku menghindar dengan melompat ke samping. Meski lolos dari terkaman buaya itu, ekornya menghantam punggungku. Buaya itu berputar kembali, bersiap menyerangku. Aku ingat bagaimana dulu bapak menikamkan pedang ke arah dua ekor buaya, peristiwa yang terjadi di rumah kami pada suatu malam. Dan itulah yang kulakukan. Kusabetkan pedang ke leher buaya itu. Sekali tebas ada luka besar membelah, nyaris bikin kepala dan badan buaya itu terpisah.

 Buaya itu menggelepar, bergerak-gerak sebentar lalu sama sekali terdiam. Kemudian perlahan-lahan wujudnya berubah menjadi lelaki yang tadi mengaku teman seperguruan bapak, lelaki yang meminta pedang yang penuh darah yang kini berada di tanganku.   


© Habel Rajavani, 2024.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi