Cerpen
Disukai
0
Dilihat
12,404
Ada Cinta antara Pekayon dan London
Romantis

Ada Cinta antara Pekayon dan London

Cerpen Habel Rajavani


(untuk Adib La Tahzan, teman yang berulang tahun bulan depan)


"MAAF, kalau Anda mau ambil hasil kerja kami karena kasihan sama saya mendingan kontrak kita batalin," kata Obet dengan kalimat tegas.

Tina kaget. Salah omong apa dia tadi? "Oh, maaf. Maksud saya bukan begitu," kata Tina.

"Saya hanya minta lihat dulu barang kami. Ambil kalau memang bagus dan bisa dijual. Saya memang cacat begini tapi para pengrajin yang bekerja sama saya adalah orang-orang yang punya kemampuan artistik yang saya tahu persis potensinya," kata Obet.

Tina makin merasa bersalah. Obet sebenarnya sudah menyiapkan barang contoh untuk Tina, pemasok barang-barang kerajinan untuk dipasarkan jaringan toko cindera mata di Bali. Tapi dia belum sempat mengirim ketika Tina datang mendadak ke kampung Pekayon, di mana Obet membina warga setempat menjadi pengrajin sovenir.

Karena buru-buru harus kembali ke kota untuk urusan penting, setelah menerima telepon, Tina menolak untuk melihat bengkel kerja para pengrajin, apa yang ingin dia lakukan dengan datang ke Pekayon. Obet pun sudah meminta para pengrajin bersiap.

Obet belakangan memang mudah tersinggung. Ia kerap merasa diremehkan orang lain, karena kekurangan fisiknya. Dia sudah kenyang dipanggil sebagai Daus Mini atau Adul, dua komedian bertubuh mungil itu. Masalahnya Obet sama sekali tak berbakat menjadi pelawak. Dia orang yang serius. Di sekolah dia selalu juara 1 dan pendidikannya lancar hingga kuliah di jurusan seni kriya dan lulus dengan nilai sangat bagus. Tiap tahun dia dapat beasiswa prestasi.

Dengan nilai akademik yang cemerlang Obet berkesempatan menjadi dosen di kampusnya. Obet senang sekali menerim tawaran itu. Tapi ia kecewa ketika ada pihak-pihak yang mengatasnamakan orang berwenang minta sejumlah uang agar urusan lancar. Obet menolak. Dia tak mau menyuap dan dia memang tak punya uang. 

“Uang segitu bisa kami pinjamkan, Mas Obet. Nanti kalau SK sudah keluar bisa dijadikan jaminan di bank, bisa lunasin pinjaman kami,” kata si makelar.

"Tawarkan saja pada orang lain, pasti banyak yang mau menyogok. Saya memilih mengabdikan ilmu dan diri saya di tempat lain, pasti banyak yang membutuhkan," kata Obet pada si makelar jabatan itu.

Keputusan itulah yang membawa Obet kampung Pekayon. Dia sudah lama jatuh cinta pada kampung itu dan penduduknya. Semasa kuliah beberapa kali dia datang ke sana untuk praktik dan penelitian. Potensi artistik orang kampung itu di mata Obet luar biasa. Di tangan mereka kayu itu seperti lempung yang dengan mudah bisa dibentuk menjadi apa saja. Obet datang membuka bengkel kerja produksi dan percontohan. Dia dipinjami tanah dan bengkelnya semula kecil dan seadanya. Dia membuat contoh barang berdasarkan riset pasar, lalu apabila ada pembeli dalam jumlah besar dia membagi pekerjaan dengan pengrajin di desa itu.

Desa Pekayon berkembang menjadi desa pengrajin sovenir kayu. Pada tahap itu mulailah orang-orang di dinas berdatangan. Ada tawaran bantuan mesin kerja, pelatihan pengolahan kayu, dan lain-lain. Obet paham benar kelakukan para birokrat itu. Mereka mau numpang prestasi saja atas keberhasilan yang sama sekali tak ada kontribusi mereka.

Hasil kerajinan Desa Pekayon bahkan diminta mewakili provinsi untuk dipamerkan di Inacraft di Jakarta. Obet sebagai perintis dan penggerak diminta hadir atas biaya pemerintah provinsi. Obet dengan senang hati menerima permintaan itu.

Tapi sehari sebelum berangkat rencana itu batal. Orang provinsi hanya datang untuk mengambil dan membawa barang contoh yang dipinjam dan dipamerkan tanpa menyebut nama Obet. Padahal semua sovenir itu didesain olehnya. Tentu saja Obet kecewa dan jadi berpikiran macam-macam. Apa karena kecacatan fisikku ini maka mereka dengan mudah membatalkan keberangkatanku? Obet tak pernah tahu jawabannya dan itu bikin dia tambah kesal.

Kekecewaan Obet sedikit terobati ketika ada seseorang menelepon. Itulah kontak pertama Obet dengan Tina. Tina melihat sovenir Pekayon di pameran dan tertarik untuk membeli dalam jumlah besar, dengan kontrak tetap, untuk dipasarkan di Bali.

Tina menelepon lagi beberapa kali, bahkan untuk melihat contoh desain lain, mereka tersambung lewat panggilan video. Dan selain bersuara bagus, tutur kata yang santun, Tina di mata Obet juga seorang perempuan yang manis. Hanya itu, Obet tak berani menilai apalagi berharap lebih. Sebagai lelaki normal tentu saja dia boleh dan bisa jatuh cinta. Itu yang tak bisa ia hindarkan, ia tertarik pada Tina. Tapi saya ini siapa? Hanya si cebol merindukan bulan, kata Obet sambil tertawa mengejek dirinya sendiri.

Setelah kejadian salah paham itu, Tina malahan makin sering datang menemui Obet ke Desa Pekayon. Obet menerima saja sebagai mitra bisnis. Tina kadang datang dengan ide dan Obet menerjemahkannya dengan desain yang memungkinkan dikerjakan secara massif oleh para pengrajin Pekayon dan kertersediaan bahan yang ada.

Yang diperhatikan Obet, Tina selalu datang sendiri ke Pekayon. Apakah dia masih sendiri? Obet hanya menyimpan pertanyaan itu dalam batinnya. Tidak pernah dia punya alasan dan keberanian untuk bertanya. Lagi pula buat apa? Kalau masih sendiri atau sudah bersuami apa urusannya?

Obet masih juga tak berani bertanya meskipun Tina menampakkan sikap yang berbeda. Ia tak lagi datang dengan sikap sebagai mitra dagang. Dia mengembangkan sikap baru, memperlakukan Obet sebagai teman. Sesekali ia mengeluh soal pribadi, juga tentang Denpasar yang belum pernah dikunjungi oleh Obet, dan tentang hobinya memasak dan mendesain. Untuk urusan yang terakhir itu Obet royal. Dengan antusias dia menjelaskan apapun pertanyaan Tina.

Rumah Obet di desa Pekayon menyatu dengan bengkel kerjanya. Dia merancang rumah yang artistik yang nyaman untuk ditinggali dan untuk bekerja. Ah, bukan! Bagi Obet dan beberapa pekerja yang membantunya, mereka tidak pernah bekerja. Mereka seperti para seniman di studio yang menghasilkan karya seni. Tina betah di rumah itu.

Obet membangun beberapa kamar terpisah yang dilindungi rindang pepohonan tempat para tamu menginap. Beberapa kali Tina menginap di sana. Apalagi ketika Tina membawa orderan dari luar negeri, sebuah produk yang harus didesain khusus dan dikerjakan dengan agak ribet. Tak ada gambar hanya konsep. Bayarannya dilunasi di depan. Pemesan ingin dibuatkan karya yang setengah patung setengah instalasi berdasarkan tafsir atas pertemuan Dewi Satyawati dan Prabu Santanu dari penggalan epik Mahabharata. Tina sampai harus menginap beberapa hari. Beberapa kali Tina memasak untuk Obet dan pekerja-pekerjanya.

“Mas Obet punya paspor kan?” tanya Tina ketika produk pesanan selesai.

“Wah, saya tak pernah punya paspor, Mbak…” kata Obet.

“Bikin ya, Mas… Saya bantu urus. Pesanan ini harus kita instal di galeri London. Yang bisa melakukan itu kan cuma Mas Obet,” kata Tina. Soal itu tak pernah dibicarakan oleh Tina sejak semula. Tapi Obet tak keberatan. Biaya keberangkatan dan akomodasi ditanggung si pemesan.

Di London Obet menemukan dirinya. Tanpa setahu Obet sebenarnya Tina menyiapkan karya Obet dipamerkan di sebuah galeri seni modern. Tak ada pemesan itu. Itu hanya “akal-akalan” Tina supaya Obet membuat karya yang bukan sovenir, tapi sebuah karya seni. Obet tampil sebagai seniman dan dia disambut antusias oleh publik seni di sana, para pengunjung pameran. Karya Obet terjual dengan harga fantastis. The Guardian bahkan memberi penilaian yang mengejutkan dalam liputannya: tafsir modern yang mengejutkan dan dramatis atas fragmen Mahabharata.

Obet dan Tina menghabiskan malam terakhir di London di sebuah kafe yang mewah.

“Mbak Tina…”

“Panggil Tina aja, Mas…”

Obet bertanya kenapa Tina mengatur itu semua, dari pesanan palsu, hingga pameran yang baru saja selesai, apa yang membuat mereka kini berada di London.

“Saya ingin melihat Mas Obet berkembang maksimal. Tapi saya tahu berat sekali menjadi orang seperti Mas Obet. Maaf, saya sama sekali tak bermaksud merendahkan atau menyepelekan. Saya memaklumi. Kalau Mas Obet melihat saya sempurna, maka sesungguhnya saya ini juga cacat, Mas. Saya ini juga tak sempurna. Itulah yang saya rahasiakan. Dan berat sekali rasanya menyimpan rasahasia itu.”

“Apa rahasiamu itu?”

“Kekuranganku?”

“Iya”.

“Saya tak akan bisa punya anak. Rahim saya diangkat karena kanker. Saya selamat tapi ya itulah, saya tak sempurna sebagai perempuan. Itu yang membuat saya takut mendekati dan didekati laki-laki. Takut ditolak ketika orang tahu cacatku sebagai perempuan. Mungkin perasaan itu juga dirasakan Mas Obet.”

“Ya. Saya juga takut. Ditolak karena kekurangan fisikku ini. Lebih takut lagi kalau saya diterima karena orang kasihan pada kekuranganku ini.”

“Saya paham banget. Itu juga ketakutan saya.”

Mereka berdua beberapa saat kemudian terdiam.

Seperti menikmati momentum langka yang tak terumuskan dengan perasaan apalagi dengan rasio pikiran. Mereka menghabiskan makanan dan minuman yang telah dipesan.

“Mas, mau nggak kita saling menerima dan saling melengkapi dengan segala kekurangan kita masing-masing??”

“Bentar. Harusnya itu kalimat saya yang mengucapkan. Ulang….”

Tina tertawa lepas sekali. Bahagia sekali. Dari restoran ke hotel mereka berjalan bergandengan. Sesekali berangkulan.

Di London Obet menemukan cintanya.


© Habel Rajavani, 2024.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)