Cerpen
Disukai
1
Dilihat
18,042
Berhenti Saja Kau Jadi Guru
Drama

 "BERHENTI saja kau jadi guru. Sudah kacau sekali pendidikan di negeri ini," kata Haji Darmawi. Itulah kata-katanya yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Ingatan dari percakapan terakhir kami. Beberapa bulan kemudian dia meninggal.

 Haji Darmawi adalah pamanku. Abang dari ayahku. Dia juga guruku sejak kelas 1 SD. Dialah yang mendorong saya jadi guru, mengikuti jejaknya. "Kamu itu pintar, Wang. Menurutku sebaiknya nanti kau sekolah guru. Biarlah anak muridku yang pintar lainnya jadi insinyur, dokter. Tapi harus ada yang jadi guru. Aku berharap kau, Wang. Aku sudah bicara dengan ayahmu," katanya ketika saya lulus SMA.

Saya nyaris saja tidak kuliah. Ketika hendak kuliah itulah ayahku meninggal. Ibuku berat melepasku ke kota meninggalkannya dan dua adikku.

 "Ikhlaskan saja dia sementara ke kota. Empat tahun itu tak akan terasa. Kalau biaya kuliah yang dicemaskan saya akan bantu. Saya banyak kawan dosen. Sudah jadi pejabat juga di dinas. Saya kira tak susah mengupaakan beasiswa buat Awang. Yang penting kau dan adik-adiknya Awang cukup makan di sini," kata Paman Darmawi meyakinkan ibuku.

 Begitulah, empat tahun berlalu dan saya lulus dengan nilai terbaik. Nyaris saya tak pernah membayar biaya kuliah karena selalu dapat pembebasan bahkan saya juga selalu dapat beasiswa prestasi.

Yang paling bahagia menyambut saya kembali ke kampung selain ibu tentu Paman Darmawi. Proses saya diangkat jadi guru berstatus pegawai negeri pun lancar. Dari guru biasa hingga menjadi kepala sekolah saya benar-benar seperti menempuh jejak yang dirintis olehnya.

 Paman Darmawi suka membanding-bandingkan pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Dulu dia murid terakhir sekolah rakyat atau SR. "Kami hafal peta buta. Jago mencongak. Dan yang penting itu logika. Anak sekarang? Ah, kasihan saya. Terlalu banyak dijejali pelajaran. Tambah parah lagi tiap menteri ganti kurikulum juga ganti. Guru sibuk dengan urusan administrasi. Mengajar asal-asalan. Bukannya tambah baik, eh malah tambah tak keruan, tak jelas mau dibawa ke mana masa depan anak-anak murid...," katanya.

 Paman Darmawi meskipun sudah lama pensiun masih selalu bertanya padaku tentang situasi di sekolah. Saya pun sering meminta pendapat dia terkait persoalan-persoalan di sekolah. Pengalamannya menjadi guru, kepsek, bahkan sempat jadi penilik sekolah adalah sumber ilmu yang tak kudapat di sekolah.

Kekacauan mulai dirasakannya ketika politik di tingkat nasional bahkan lebih parah di tingkat lokal mengacak-acak dunia pendidikan. "Anggaran pendidikan wajib 30 persen itu bagus. Tapi kacau ketika kepentingan politik masuk ke situ," katana.

Dan itulah yang kurasakan. Saya menjadi kepala sekolah karena memang saya mengajar dengan baik, melewati jenjang kepangkatan yang wajar, dan saya mampu. Saya tak pernah punya ambisi jadi ini dan itu dalam karir saya sebagai guru berstatus PNS. Mengajar bagiku adalah pengabdian, dan penghormatan pada Paman Darmawi.

             Lalu terjadilah apa yang membuat Paman Darmawi marah dan menyuruhku berhenti saja jadi guru. Pada pilbup terakhir, di ke kecamatan kami, kecamatan dengan suara pemilih yang signifikan, bupati petahana kalah.  Padahal sebelum pemilihan saya, seperti para kepala sekolah lain, ada dipanggil oleh bupati. Dia minta kamj bantu arahkan agar orang tua murid di sekolah saya memilih dia. Bukan hanya para kepsek, semua guru diminta kumpulkan dua puluh KTP pemlilih dan diminta memilih dia. Guru-guru itu juga diperintahkan menyiapkan amplop dengan uang yang sudah ditetapkan bupati.

Saya iyakan saja. Meskipun permintaan itu tak saya lakukan. Saya juga melarang para guru mematuhi perintah itu. Buat apa. Itu bukan tugas guru. Kenapa kami harus diseret ke urusan politik praktis begitu?

Maka ketika hasil pemilihan keluar dan di kecamatan kami sang petahana kalah telak, dia pun marah. Selain karena guru-guru tak mematuhi arahan, warga di kampung-kampung di kecamatan kami terkenal kritis dan logis. Itu saya kira berkat didikan guru-guru kami dan terutama Paman Darmawi, guru kami yang kami hormati dan paling legendaris itu.

Untungnya dia masih menang tipis. Saya dipanggil lagi olehnya. Dia mengancam hendak memindahkan saya ke sekolah di daerah terpencil. Saya bilang silakan saja.

Surat dari Dinas Pendidikan saya terima tak lama kemudian. Saya di-nonjob-kan. Dipindah tidak, diberhentikan juga tak ada alasan. Orang di kampung kami marah dan minta saya melakukan perlawanan. Saya bilang tak perlu. Dan yang paling marah siapa lagi kalau bukan Haji Darmawi, pamanku, guruku itu.

 "Berhenti saja sudah kau jadi guru, Wang.... sudah kacau sekali pendidikan kita ini," katanya. "Bupati Indrawan itu dulu pernah jadi muridku. Aku tak pernah mengajari orang jadi picik dan culas begitu."

 "Dia tidak culas, Paman," katanya.

 "Apanya tak culas! Menyuruh kau mengerjakan apa yang bukan tugasmu demi kepentingan politik dia itu culas namanya. Mentang-mentang petahana!"

 "Sabar, Paman!" kataku.

  Saya memerlukan bicara dengan Sekdabup, orang yang kukenal baik, senior saya di kampus, meski beda fakultas, dan saya kira dia bisa kupercaya. "Sabar, Pak Awang. Tunggu situasi tenang. Kita masih sangat memerlukan Pak Awang," katanya.

Meski hanya menerima gaji pokok, selama menjalani masa-masa non-job, saya merasa lebih tenang. Saya punya banyak waktu membaca, menulis, dan mengaji. Saya juga punya waktu mengurus kebun. Ada sedikit kebun warisan almarhum bapak yang ditanami kopi dan buah durian. Dulu dengan hasil kebun itulah ibu membiayaiku dan adik-adikku sekolah hingga semua bisa lulus kuliah. Pas-pasan, makanya beasiswa dari sana-sini itu dulu sangat membantu.

Paman Darmawi meninggal ketika saya masih non-job. Saya tahu dia sangat kesal dengan kediaman saya. Saya memang tak melakukan perlawanan apa-apa. Buat saya tak perlu sebab hanya akan menambah runyam situasi. Dan Paman Darmawi meninggal membawa kekesalannya itu.

Selama itu saya sebenarnya tak pernah berhenti mengajar. Ada pesantren di salah satu kampung di kecaamatan kami yang meminta saya mengisi kelas. Bahkan saya ditawari menjadi kepala sekolah, dan saya menolak karena masih berstatus PNS.

Melihat pohon-pohon kopi tumbuh subur dan berbunga lebat karena terawat saya jadi yakin untuk pensiun dini. Berhenti jadi guru seperti yang dikatakan Paman Darmawi. Istri dan anak-anak saya pun sangat mendukung. Surat permohonan sudah saya siapkan. Lalu berangkatlah saya ke kota kabupaten. Saya sedang menunggu di ruang kepala dinas ketika seregu petugas KPK melakukan OTT pada kepala dinas. Saya menyaksikan bagaimana dia dibawa oleh petugas dengan sejumlah bukti. Beberapa orang juga ditangkap termasuk guru yang akan menggantikan saya sebagai kepala sekolah. Sementara wakepsek yang menggantikan saya.

Rupanya hari itu petugas KPK juga melakukan hal yang sama di kantor bupati. Bupati terpilih yang belum dilantik itu tertangkap menerima suap dari kontraktor di beberapa dinas termasuk dinas pendidikan. Ada permainan proyek pembangunan gedung sekolah, apa yang sebelumnya pernah saya ributkan ketika saya jadi kepala sekolah.

 Saya tak jadi menyerahkan surat permohonan pensiun dini. Saya pulang dan sesampainya di kampung saya langsung berziarah ke makam ayah yang bersisian dengan makam Paman Darmawi. "Maafkan saya, Paman," kataku membatin, "saya mungkin belum akan berhenti. Saya tak tahu pasti akan melakukan apa tapi rasanya saat ini berhenti bukan pilihan."

Saya sedang berada di kebun kopi, dengan udara pagi yang harum dan segar, ketika ponsel saya berbunyi, menerima panggilan sekdabup. "Pak Awang, saya ditunjuk gubernur menjadi Pj. Bupati. Pesan beliau lekas lebih dahulu benahi dinas pendidikan. Saya perlu orang yang bersih di sana, saya tak punya calon kecuali Pak Awang. Bantu saya ya, Pak Awang..."

Saya terdiam.

"Pak Awang? Pak Awang mendengar saya?"

  "Ya, Pak. Saya mendengar."

 "Oh, syukurlah. Besok pagi ketemu saya di kantor bupati, ya, Pak."


(c) Habel Rajavani, 2024.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)