Cerpen
Disukai
1
Dilihat
8,695
Misteri Kampung Mati dan Hantu Berang-berang
Horor

Misteri Kampung Mati dan Hantu Berang-berang

Oleh Habel Rajavani

KE KAMPUNG mati ini aku datang hanya untuk menemukan tambak-tambak yang terbengkalai dan rumah-rumah kosong. Pemandangan yang bikin batinku pun hampa. Aku menempuh perjalanan yang melelahkan. Kalau bukan karena permintaan ibuku aku tak akan melakukan hal yang tak masuk akal ini.  

Aku memerlukan behenti sejenak, duduk di teras masjid yang kotor dan terbengkalai. Lantai kayu telanjang. Beberapa sajadah koyak tergumpal. Matahari tergelicir. Angin laut bertiup kencang. Membuat atap seng masjid tersingkap, terhempas-hempas, menimbulkan suara bising dan bergema di lebatnya hutan bakau, memecah sunyi yang malah terasa aneh bagiku.

Seekor anjing kurus berlari dengan cemas melintas di hadapanku. Ia memandangi aku dengan terkejut. Barangkali ia sudah lama tak pernah lagi melihat manusia. Bangkai berang-berang  tergigit di mulutnya. Mungkin itu makanan pertama yang ia dapatkan hari ini.

Dengan air di penampungan bak semen di samping masjid aku mengambil air wudhu. Bak itu terisi sepertiganya. Ada sekawanan jentik-jentik berbiak di situ. Talang air yang menyalurkan air hujan dari atap masjid terlepas. Selepas sembahyang aku mengingat lagi letak rumah yang kuingat, rumah yang sedang kucari, yang menjadi alasan kenapa aku datang ke kampung mati ini.

Dari masjid itu susuri jalan sepanjang kawasan tambak. Di ujung tambak itu ada sisa tegakan hutan bakau, seperti tambak yang gagal dibangun. Lalu ada deretan rumah-rumah yang hancur. Papan-papan dindingnya berlepasan. Atapnya tak ada lagi. Ada pematang kecil, di kiri-kanannya rawa. Ikuti. Di ujung jalan pematang itu ada rumah panggung. Itulah rumahnya.

Aku berdiri di hadapan rumah itu sekarang. Sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa di situ ada penghuninya. Senyap belaka. Angin lirih. Beberapa bangkai burung gagak mengering. Elang mengulik di atas pohon mati. Sisa bulu-bulu yang terlepas. Terhambur. Aku menaiki tangga kayu. Mendorong pintu yang tak tertutup rapat. Angin dari jendela tak berdaun di belakang rumah itu membawa bau pesing dan kotoran manusia ke arahku. Lalu tampaklah dia. Terbaring nyaris telanjang. Seperti mayat yang mengering. Tanda-tanda kehidupan kulihat hanya pada gerak naik turun di dadanya dan matanya yang menatap kosong.

 Ia lekas menyadari kedatanganku. Ia sepeti telah lama menungguku.  Ia dengan susah payah memberi isyarat agar aku menuju ke kotak di sudut lain rumahnya. Kotak itu berisi sebilah pisau yang berkarat. Tanpa karat itu saya bayangkan lekukannya yang elok.

Juga ada selembar surat dengan noda bekas cap darah yang mengering. Isinya membenarkan apa yang kudengar selama ini. Si penulis surat mengakui bahwa ilmu hitam itu memang ada. Ia menguasai kemampuan gaib mengendalikan hantu-hantu berwujud berang-berang. Binatang itu dia kerahkan untuk mencuri udang dari tambak-tambak warga.

Ilmu hitam itu harus diwariskan ke anak kandung si pemilik ilmu. Atau harus ada seseorang yang membunuhnya dengan pisau berkarat itu. Si penulis surat menjelaskan bahwa tak ada seorang pun anak kandungnya dari istri-istrinya yang mau mewarisi ilmu hitam itu.

Si penulis surat, pemilik ilmu hitam itu adalah lelaki yang terbaring sekarat itu. Dia ayahku. Ibuku adalah perempuan yang terakhir ia nikahi. Aku dan ibuku pergi meninggalkannya sejak aku belum lagi sepuluh tahun. Saya waktu itu tak mengerti kenapa ibuku meninggalkannya. Tapi mungkin terkait ilmu hitam itu. Sejak itu, lelaki tak pernah lagi menikahi perempuan manapun.

Apalagi kemudian kampung itu berangsur-angsur mati. Kosong. Tak lagi berpenghuni. Penduduk kampung tak tahan karena usaha tambak selalu rugi. Tambak-tambak pun terbiar dan mati. Pohon-pohon kelapa meranggas. Pintu air yang mengatur masuknya pasang surut air laut jebol. Kebun kelapa tergenang air asin.  

Secara spontan aku meraih pisau itu ketika kudengar suara batuk yang aneh dan menakutkan. Aku berpaling dan kulihat lelaki itu duduk. Seperti segumpal kain yang disangkutkan pada sebatang tongkat.Kulihat ia mengucapkan sesuatu. Aku mendekat. Pada jarak sejengkal dari telingaku suara dari mulutnya jelas.

"Aku bukan ayahmu. Bukan. Aku bukan ayahmu. Aku membunuhnya ketika ibumu hamil. Ketika dia mengandung kamu. Aku lalu mengawini ibumu. Hanya ayahmu yang bisa mengalahkan aku.... Jadi hanya kamu yang bisa mengakhiri hidupku. Mengakhiri penderitaanku..."

Aku memandanginya dan memandangi pisau di tanganku. Lelaki itu kembali terbaring. Tatapannya seperti menunggu aku menikamkan pisau itu ke tubuhnya. 

Jadi, ini jawaban dari semua yang diperintahkan ibu? Aku mengingat lagi apa yang ibu katakan padaku agar aku pergi ke kampung ini, menemukan lelaki ini dan membunuhnya?

Aku memegang pisau itu. Kalau bukan karena permintaan ibuku, aku tak akan pernah terlibat dengan urusan ini. Apalagi setelah mendengar pengakuan si lelaki yang harus kubunuh ini.

 “Kamu mau aku duduk atau berbaring?” katanya, dengan suara yang nyaris tak kudengar. Aku tak peduli. Toh sama saja. Aku sudah mengayunkan pisau itu, sekali sentakan pisau ini akan menembus dada dan merobek jantungnya. Lalu terdengar suara mengejutkanku dari arah pintu rumah di belakangku.  

"Setelah itu, kau harus membunuh aku juga.." kata ibuku. Aku tak tahu sejak kapan ia sudah ada di pintu masuk itu. Aku tak tahu ia mengikuti kepergianku ke kampung ini.

"Aku memberi peluang padanya agar dia membunuh ayahmu. Aku mungkin melakukan itu di bawah pengaruh ilmu hitamnya. Tapi aku tetap saja salah... Aku ingin menebus seluruh dosaku itu. Ilmu itu harus sirna. Itu sebabnya semua janin yang kukandung dari benihnya kugugurkan. Aku sempat mendapatkan ilmu itu juga darinya. Meskipun tak pernah kupakai. Kamu yang bisa memutus ilmu hitam itu, Nak. Bunuh dia. Bunuh saya. Dengan pisau itu."

Aku menguburkan dua mayat itu di rawa-rawa di samping rumah itu. Rumah yang segera hancur tertimpa pohon api-api tua yang tiba-tiba tumbang setelah aku selesai menimbun dua kubur itu.  Aku melempar pisau yang berkarat yang tidak kupakai, dan sebilah pisau lain yang kupakai untuk membunuh kedua orang itu. Pisau yang kupersiapkan sejak berangkat pergi ke kampung ini. Aku tak mau terjebak. Aku tak mau melanjutkan kutukan, melanjutkan hutang darah lewat pisau berkarat itu.

"... ilmu hitam itu hanya bisa diputus jika ia dibunuh oleh orang yang tak tersambung darah keturunan dengannya, orang yang ia setujui untuk membunuhnya, dengan pisau itu..." Kata-kata ibuku terngiang-ngiang kembali, berkali-kali di sepanjang jalan ketika aku meninggalkan kampung kosong itu. Dan aku tak percaya pada ibuku.

Tapi, benarkah begitu? Kenapa ada ribuan berang-berang riuh mengikutiku? Jangan-jangan ilmu itu sekarang ada dalam diriku? Aku mempergegas langkah mencapai jembatan batas desa. Lalu aku menyeberangi jembatan itu. Dari seberang aku menoleh kembali. Kampung itu kosong. Mati. Hanya angin gemuruh di antara dedaunan bakau, buta-buta, dan api-api.

Mana ribuan berang-berang yang tadi mengikuti aku?


© Habel Rajavani, 2024

   


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)