Masukan nama pengguna
PAMAN Awang memintaku menjemput Ira. Sepupuku itu akan melanjutkan kuliah di kota provinsi di mana aku tinggal. Paman Awang adalah abang dari ayahku. Sebagai sepupu aku cukup dekat dengan Ira, putri paman Awang. Mungkin karena dia anak bungsu dan aku anak tunggal. Ayahku dan Paman Awang hanya berdua saudara. Maka bagiku, saudara sepupu yang sepantaran hanya Ira. Tiap libur panjang, kalau tak aku yang main ke kampung, maka dia yang ke kota. Kami lahir di tahun yang sama. Tapi sekolahnya terlambat setahun dariku, karena dia pernah sakit keras sehingga sekolahnya tertunda.
Momen berkunjung ke kampung paman, desa kelahiran ayahku, selalu menyenangkan bagiku. Meskipun itu bukan perjalanan yang mudah. Dari kota aku harus naik kapal besar, kami menyebutnya bis air, dua hari satu malam. Berangkat pagi, sampai sore esok harinya. Itu sebabnya Paman Awang memintaku menjemput Ira. Ia tak bisa mengantar karena sedang panen rotan. Paman Awang mengelola kebun, atau tepatnya hutan rotan peninggalan kakek. Ada jatah ayahku juga dari hasil panen itu, setelah dipotong biaya panen dan pengolahan.
"Saya berangkat pas awal libur kuliah saja, ya, Pak..." kataku pada ayahku, "...biar bisa lebih lama di kampung Paman. Tahun lalu kan saya tak libur ke sana."
"Kalau tidak sedang sibuk begini Bapak juga mau ikut, Pang," kata ayah, "sudah lama juga saya tak pulang kampung."
Ira sekarang jadi gadis yang cantik dan pintar, aku melihatnya dari foto-foto yang dia kirim di aplikasi percakapan. Kalau pintar memang dari dulu, tapi kalau cantik...hmmm, kayaknya dulu kamu jelek, deh, Ra... Ha ha ha. Aku senang dan bangga punya sepupu seperti dia. Kalau bukan sepupu, sepupu dari saudara ayah pula, yang secara genetis sangat dekat, sudah kujadikan pacar dia. Aku pernah katakan itu pada Ira tentu dengan becanda. Tapi kami memang sedekat itu, seperti saudara kandung, seperti kakak dan adik, meski tak jelas siapa kakak dan siapa adik, kami saling berebut mengklaim sebagai kakak. Ira memang bukan tipe anak cewek yang apa-apa mau dilindungi, dibantu, dilayani. Dia hanya perlu ditemani, dia butuh teman yang mengerti dia, dan kami berdua bisa saling mengerti.
Sejak SD dulu aku sering minta liburan ke kampung paman itu antara lain karena dia. Ira gadis pemberani. Kadang-kadang dia lebih berani dari aku. Tak cocok jadi anak bungsu, kataku. Bersamanya aku tak pernah kehabisan petualangan dan itu kalau kuceritakan kepada teman-teman sekolahku di kota membuat mereka iri.
Dulu Ira sebenarnya sudah berencana hendak masuk SMA di kota. Dia akan tinggal bersama kami. Tapi pada tahun itu ibunya meninggal karena sakit. Paman Awang meminta Ira agar sekolah di kampung dulu, setahun baru pindah ke kota. Dua kakaknya semua sudah menikah. Paman tak siap tiba-tiba sendiri di rumah besarnya, dan dia tak pernah menikah lagi. Eh, akhirnya Ira keterusan tiga tahun sampai tamat SMA.
Bis air yang membawaku ke desa pamanku penuh. Ramai sekali penumpang. Padahal, informasi dari pengelola pelabuhan tadi, jumlah kapal yang dioperasikan pun sudah ditambah. Biasa pada musim liburan seperti ini banyak yang pulang kampung.
Aku melihat banyak di antara penumpang itu adalah anak-anak pedalaman yang sekolah dan kuliah di kota. Kesadaran tentang pendidikan memang sudah tinggi di penduduk hulu sungai. Kakekku yang menularkan semangat itu. Ayahku dan paman dikirim kakek ke kota, sekolah SMP (waktu itu memang belum ada sekolah di kampung), hingga SMA, dan tamat kuliah. Ayahku membangun hidup di kota, meniti karir di perusahaan swasta, dan pelan-pelan membangun usaha sendiri, sementara Paman Awang, atas permintaan almarhum kakek, kembali ke kampung jadi pegawai kecamatan dan merawat kebun rotan.
Aku menikmati perjalanan satu hari satu hari dua malam ini. Tak pernah bosan rasanya menelusuri sungai Mahakam dengan kecepatan kapal yang tak terlalu cepat itu, seperti memberi kesempatan aku untuk mencermati pemandangan di sepanjang sungai. Aku biasanya lebih banyak berada di luar atau di atas dek.
Aroma sungai, terpaan angin, dan suara-suara hewan liar kunikmati benar.
“Hei, lihat ada pesut!” Aku mendengar suara cewek di sebelahku. Dia memakai jins dan kaos, lalu dilapisi jaket berbahan tipis. Sepatunya New Balance. Penampilannya dipermanis dengan kupluk yang membuat wajahnya yang cantik itu jadi menonjol. Hmm, manis juga, pikirku.
Aku menoleh ke arah yang dia tunjuk. Sekelompok pesut seperti sedang memainkan atraksi. Berenang mengikuti arah bis air dan sesekali melompat ke permukaan, bergantian. Aku segera mengarahkan kamera ke arah kawanan pesut itu. Ini obyek langka dan ini momen langka, beberapa kali jepretanku mendapatkan komposisi foto yang bagus sekali.
“Dapat?” tanya cewek itu.
“Dapat apa?” tanyaku. Hmm, agresif juga dia, pikirku.
“Foto pesutnyalah…”
“Oh, dapat dong.”
“Bagus?”
“Mau lihat?”
Aku mendekatinya. Kami bersandar di pagar kapal. Aku tunjukkan foto-foto hasil jepretanku lewat display kamera.
“Bagus, kan?” tanyaku.
“Boleh juga,” kata dia. “Kamu memang suka motret, ya?”
“Lumayanlah.”
“Kamu?”
“Saya tak suka ..”
“Kalau dipotret suka?”
“Oh, kalau itu suka. Mau fotoin saya?”
Sepertinya dia semakin agresif dan dengan ringan membuka diri. Saya harus mengimbanginya.
“Biasanya sih saya ada tarifnya kalau memfoto cewek…” kataku.
“Oh, profesonal? Semahal apa tarifmu?”
“Ya, lumayan. Tapi karena kamu sudah ngasih tahu saya ada pesut dan karena kamu cantik saya bisa gratiskan sih…”
“Ah. Gombal. Anak kota memang gombal gitu ya?”
Dia mulai menganalisaku. “Kok tahu saya anak kota?”
“Tahulah. Kelihatan kok.”
“Dari mana ngeliatnya?”
“Satu, saya tak pernah lihat kamu di kapal ini. Kedua, jarang ada anak hulu yang pulang bawa kamera. Ketiga…. “ Sementara dia bicara aku telah beberapa kali menjepretkan kamera dengan lensar tepat ke arahnya.
Inilah yang kusukai dari perjalanan jauh. Selalu ada kejutan. Ketemu orang baru, melihat hal-hal baru, atau berkenalan dengan cewek secantik Hani ini. Oh, ya. Namanya Hani. Lengkapnya Mahani. Dia ternyata anak kampung di sebelah kampung pamanku.
“Kamu kenal Ira?” Pertanyaan random. Tapi lumayanlah sebagai pemecah kediaman di antara kami.
“Siapa dia? Pacarmukah?”
“Bukan. Sepupuku. Ini saya mau liburan ke rumahnya.”
“Ira anak Pak Awang ‘kan?”
“Betul sekali. Kenal ya?”
“Kenallah.”
Hani dan Ira ternyata satu SMP di kecamatan. Sementara Ira melanjutkan ke SMA setempat, Hani melanjutkan ke kota, seperti rencana Ira yang batal itu.
“Kok Ira tak pernah cerita punya sepupu cowok ganteng kayak kamu, ya?”
“Iya, ya? Kok Ira juga tak pernah cerita punya teman cewek cantik kayak kamu…”
Hani tertawa, menambah manis wajahnya di mataku. Ah, pertemuan dan perkenalan yang manis dan hangat. Terima kasih pesut, kalian muncul pada momen yang tepat. Melihat pesut, kata orang-orang tua, berarti mendapat keberuntungan. Akan ada hal-hal yang menyenangkan yang dialami oleh siapa yang melihat pesut di Sungai Mahakam. Aku sudah mendapatkan keberuntungan itu. Rasanya perjalanan satu hari dua malam kali ini akan jadi lebih adventurous. Ira kawan seperjalanan yang ramah dan seru. Ia membagi cemilan kentang dan minuman ringan.
“Eh, Pang. Saya bawa minuman yang lain, lho. Kamu mau?”
“Wah, minuman apa?”
“Minuman yang kalau ketahuan awak kapal akan disita…”
“Hah? Apa? Bir?”
“Mau kan?”
Kalau ketahuan gimana? Memang di kapal boleh bawa dan minum minuman beralkohol? Aku mau tanya begitu tapi malu juga rasanya. Ego dan harga diriku sebagai cowok tertantang. Yang keluar dari mulutku adalah jawaban seorang cowok. “Boleh juga buat menghangatkan badan nanti malam…”
“Oke, nanti malam ya…” kata Hani dengan senyum nakal dan liar.
“Minumannya mana?”
“Ada lah… pokoknya aman. Saya bawa agak banyak. Kalau saya minum sendiri pasti tak habis dan saya tak sekuat itu juga. Kalau ada teman rasanya lebih seru… ” Hani tersenyum dan menggerakkan keningnya dengan nakal. Ah, asyik juga cewek bernama Hani ini. Ira, kamu pasti akan iri dengan ceritaku bersama Hani di kapal ini. Sorry ya, Ira...
Hani bercerita bahwa dia sudah diterima di kampus perguruan tinggi negeri di kota provinsi, kampus yang berbeda dengan kampusku. Sepupuku Ira akan masuk di universitas yang sama denganku, beda fakultas. Hani terbiasa pergi ke kota dan pulang kampung sendirian. Katanya, “apa yang perlu ditakutkan? Di kapal dengan orang sebanyak ini… iya kan?”
Aku bertepuk tangan tanpa membuat bunyi tepukan. “Salut. Anak-anak hulu memang pemberani, sih. Kayak sepupuku Ira…” kataku.
Hani memandangiku seperti takjub atau kagum. “Sepupumu itu kayaknya dekat sekali ya sama kamu,” katanya.
“Ya, kami dekat sejak kecil. Sudah kayak saudara kandung. Ini saya sebenarnya mau menjemput dia, tahun ini dia kuliah...” kataku.
“Seperti apa sih dia sekarang?”
“Dia itu…. masih kayak dulu. Dia bisa menarik batang rotan tanpa sarung tangan. Telapak tangnnya kayaknya kebal duri, dia bisa berlari di jalan becek tanpa tergelincir. Dan nah ini dulu waktu kecil kalau kami lagi main, dia pipis tidak mau jongkok. Kalau pipis dia juga berdiri seperti saya…”
Hani tertawa terpingkal-pingkal. “Penasaran. Pengen ketemu… apa dia masih ingat saya ya…”
“Entar main aja ke kampung kami ya… Atau nanti kuajak dia main ke kampungmu. Dia pasti senang. Tapi jangan cerita soal pipis berdiri itu ya… Nanti dia marah.”
Hani makin terpingkal-pingkal sampai kepalanya nyender-nyender ke bahuku dan tangannya memegangi lenganku. Sekelebat dari tubuhnya aku mencium aroma pandan, seperti ada musang bulan lewat. Pilihan parfum yang unik, dan aku langung suka. Aku akrab dengan aroma pandan. Mamaku kalau bikin kue kampung hijau-hijauanya selalu memakai pandan yang ia lebihkan porsinya. Jadi lebih harum aromanya. Seperti aroma tubuh Hani tapi ini dalam versi yang sangat lembut dengan campuran aroma lain yang aku tak tahu apa namanya.
“Kamu pakai parfum apa, Han?”
“Kenapa? Kamu suka?”
“Hmm, saya mencium aroma pandan.”
“Memang sih. Kenapa? Saya jadi kayak kue gitu ya?”
“Jadi pengen kumakan, deh….”
“Oh, jadi kalau saya kue kamu mau memakanku?”
“Tergantung, sebagai kue seenak apa kamu?”
“Kue apa yang paling enak yang pernah kamu makan?”
“Kue yang pakai pandan?”
“Boleh, tapi kue lain juga boleh, bebas…”
“Kue jongkong!”
Hani tak tahu itu kue apa. Aku jelaskan bahwa itu kue khas orang Sumatera, khususnya Bangka-Belitung. Lembut, manis, harum. Aku tak tahu persis apa campuran bahannya, seingatku tepung beras, tapioka, santan kelapa muda, dan gula merah yang dikukus dan disajikan dalam wadah yang dibuat dari daun pandan. Mama memang keturunan orang Melayu Bangka.
“Kalau itu bahannya, saya bisa bayangkan enaknya gimana… Tapi saya yakin ada kue yang lebih enak dari itu…”
“Kamu?”
“Lho, saya kan bukan kue…”
“Tapi kamu pasti seenak kue yang lebih enak dari kue jongkong itu?”
“Apalagi kalau disantap ketika sedang panas-panasnya. Kalau sudah dingin pun perlu dihangatkan lebih dahulu,” kata Hani.
“Penasaran. Itu namanya kue apa?”
“Kue Hani…,” katanya. Dan aku tertawa keras mendengar jawabannya itu. Sampai orang-orang di atas dek semua memandang ke arahku. Aku merendahkan tawaku. Tapi Hani tampaknya tak peduli. Dia menikmati perhatian orang-orang kepada kami. “Paling tidak, wangi pandannya lebih harum dari wangi pandan kue jongkongmu itu… Percaya, deh,” kata Hani sambil mengerdip-ngerdipkan matanya dengan manis.
Di dek penumpang di dalam bis air ini tak ada tempat duduk. Hanya bentangan lantai di mana penumpang duduk menghampar atau berbaring. Itu sebabnya aku lebih suka duduk di atas dek. Ada beberapa kursi panjang di sana. Tapi penumpang yang tak kuat dengan terpaan angin lembab tak akan betah berlama-lama di udara terbuka seperti itu.
Hari telah senja ketika aku dan Hani turun kembali ke dek penumpang. Ada pemisahan tempat untuk penumpang laki-laki dan perempuan yang diberi tirai kain. Tapi pemisahan itu tak terlalu ketat. Mereka yang bepergian suami istri dan membawa anak biasanya duduk berkumpul saja. Kami berjanji ketemu lagi jam 9 malam.
Tiba-tiba ada suara perempuan menjerit-jerit di dek perempuan. Tak jelas bagiku apa yang dijeritkan. Mungkin itu bahasa Dayak. Orang-orang saling berpandangan dan bertanya-tanya, beberapa bergegas menuju sumber suara. Sekilas aku melihat Hani juga lekas menuju perempuan itu.
“Ini kesarungan, kerasukan hantu orang,” kata seorang penumpang, lelaki tua yang tampak tenang. Ia memakai peci hitam yang sudah agak lusuh, memakai kaos cap angsa dan merokok kretek dengan pipa tulang.
Aku melihat Hani mendekat perempujan itu. Memegang kakinya yang menendang-nendang. Jeritannya makin keras, menceracau dalam bahasa Dayak.
“Itu bahasa Dayak, ya, Pak?” tanyaku pada si lelaki tua.
“Iya. Dia minta tolong supaya jangan disiksa, jangan dibunuh…”
Aku memperhatikan bagaimana Hani mencoba mengendalikan perempuan itu. Dia perlahan-lahan bergerak memegang tangan, dan kemudian kepala perempuan kerasukan itu. Perempuan itu seperti mendengus-dengus, hendak melawan, tapi tak lagi bertenaga. Matanya yang tadinya membelalak marah perlahan redup dan terpejam. Keringat membahas di sekujur tubuhnya.
Hani saya lihat juga sedikit berkeringat. Ia lalu mengusapkan tangan ke wajah perempuan itu. Perempuan itu tertidur tenang. Orang-orang memandang pada Hani dengan berbagai model ekspresi. Ada yang heran, tak percaya, kagum, takut, seram, dan seperti aku semua seperti bertanya-tanya: siapa sebenarnya dia? Kenapa dia semuda itu bisa mengusir roh hantu yang merasuki perempuan tadi itu?
HANI datang hanya beberapa saat setelah aku telah kembali ke dek. Malam itu cuaca cerah. Langit malam jernih. Bintang gemerlapan. Dia datang dengan celana kargo sedikit di atas lutut dan kaos agak ketat lengan panjang. Aku menunggunya dengan dua gelas Popmie yang kubeli di kantin kapal.
“Tidak pakai jaket, Han? Nanti kedinginan kamu…”
“Kan ada yang akan bikin kita hangat,” kata Hani. Dia menepuk-nepuk kantong celana kargonya yang tampak penuh. Dek masih agak ramai. Beberapa orang bercakap-cakap. Kursi panjang penuh. Kami duduk di lantai dek, bersandar pada pagar kapal.
“Kamu itu sakti ya?” kataku. Sambil mengaduk Popmie.
Hani seperti tak mendengar pertanyaanku. Aku ulangi pertanyaan itu.
“Hah? Kenapa?”
“Tadi itu kenapa? Kerasukan apa dia?’
Hani lalu menjelaskan tentang hal-hal mistis yang ada di daerah hulu Mahakam. Termasuk keberadaan makhluk halus atau yang oleh manusia umumnya disebut hantu. Saya tentu sudah tahu tentang hal itu. Paman dan ayahku selalu mengingatkan. Hati-hati berkelakuan kalau sedang di kampung. Ada hal-hal yang tabu, kewajaran yang dijaga oleh makhluk-makhluk halus itu.
“Kamu tadi tanya apa? Saya sakti?”
‘Ya. Kamu bisa usir roh halus yang merasuki orang itu tadi?”
“Saya kebetulan bisa berkomunikasi dengan roh halus itu.”
“Ayahmu dukun ya? Kamu keturunan orang sakti?”
“Ada yang tak bisa kuelakkan, sesuatu yang harus ada yang meneruskannya di keluargaku, Ping.”
Masing-masing kami telah menghabiskan makan malam kami. Orang-orang sebagianj besar telah kembali ke dek penumpang. Kursi panjang kosong. Aku mengajak Hani pindah, tapi dia bilang tidak usah. Dia mengeluarkan sebungkus rokok dan menawariku.
“Kamu tak merokok ya, Ping?”
“Tidak,” kataku. “Tapi malam ini saya temani kamu…”
“Kamu kuliah apa, Ping?”
“FIB. Jurusan sastra. Sastra Indonesia,” kataku. Ketika Hani bertanya apa yang kupelajari di jurusan itu saya menjawab, “saya belajar mencari dan melihat titik terang dari gelapnya kehidupan.”
Hani tertawa kecil mendengar jawabanku. Ia menyalakan sebatang rokok lagi. Sementara rokokku terbakar setengah pun belum. Dia perokok yang serius. Dan aku melihat bagaimana dia menikmati setiap hisapan dan hembusannya.
“Kamu masuk jurusan apa?”
“Eh, saya? Saya…. Jurusan Antropologi.”
“Belajar apa kamu di jurusan itu?”
“Kan belum masuk, ya belum tahu, dong.”
“Saya ganti pertanyaannya: pelajaran apa yang kamu harapkan di jurusan itu?”
“Belajar apa ya? Mungkin ini: belajar mencari dan melihat kegelapan dari kehidupan yang terang-benderang.”
“Ah, curang. Jawabannya nyontek.”
“Nggak papa dong. Jawaban kamu juga gak jelas gitu.”
“Nggak jelas kok dicontek.”
“Biar sama-sama tak jelas.”
“Belum minum sudah mabuk,” kataku. Kami lantas tertawa bersama.
“Mau minum sekarang?”
“Yuk,” kataku. Hani mengeluarkan satu botol dari kantongnya.
“Satu aja?” tanyaku.
“Masih ada dua di kantong. Kita minumnya sama-sama dari satu botol. Kita tenggak gantian, sampai habis. Kalau mau kita buka botol berikutny,” dia lalu membuka tutup botol minuman pipih itu. “Kamu duluan, sebagai penghormatan pada orang yang pertama kali minum, memerawani lambungnya dengan alkohol.” Hani menyerahkan botol padaku, kusambut dan kutenggak perlahan. Tapi seperlahan apapun, aku toh tersedak juga! Mulut dan tenggorokanku seperti terbakar. Hani tertawa.
“Pelan-pelan aja, Ping.”
Kami sudah menghabiskan setengah botol. Dan malam terasa panas. Aku membuka jaket. Menggumpalnya menjadi bantal dan aku berbaring di situ. Hani membuka kaos lengan panjangnya, menyiakan kaos tanpa lengan, lapisan terakhir yang mengemas tubuhnya dengan ketat. Lalu dia berbaring di pahaku. Beberapa saat kami saling terdiam. Hanya terdengar deru arus sungai, dan suara mesin kapal. Dan kalau Hani bisa mendengar pasti dia tahu bagaimana degup jantungku terpacu keras.
Tiba-tiba ada api melintas di atas kami dari satu sisi sungai ke sisi lain.
“Han? Kamu lihat?”
“Lihat apa?”
“Api. Itu, itu….ada dua, Han. Ada lagi...” kataku menunjuk ke arah api yang sama menyusul api yang pertama tadi.
“Hantu suluh,” kata Hani.
‘Apa, Han? Hantu suluh?”
Aku pernah mendengar nama hantu itu, tapi tak pernah melihatnya. Kalau itu hantu suluh bentuknya seperti kepala orang dengan bagian-bagian seperti mata yang paling terang, rambut yang terbakar, dan wajah yang gelap pada beberapa bagian dan merah seperti bara di bagian lain. Tak ada tubuh, hanya sulur-sulur api, menjulur dari leher, seperti usus-usus terjurai tapi juga seperti sumbu panjang yang menyala, mengobarkan api. Aku terkejut dan ketakutan. Tapi kujaga sikapku di hadapan Hani. Aku tak mau tampak sebagai lelaki penakut. Sementara dia tampak sangat tenang.
“Kamu mau masuk ke dek? Atau mau terus di sini?” tanya Hani.
“Kenapa?”
“Kamu akan banyak melihat makhluk-makhluk seperti tadi.”
Baru saja Hani selesai bicara kepala berapi tadi melintas lagi, susul-menyusul dalam jarak yang lebih dekat. Aku mencium bau daging busuk yang terbakar. Terus-terang aku merasa takut juga. Hani duduk dan mengambil posisi seperti berdoa. Matanya memejam. Dia seperti membaca mantra. Di dek kapal tak ada siapa-siapa lagi. Hanya kami berdua. Aku ingin minum lagi, untuk membunuh rasa takutku. Kuambil botol pipih, kali ini dalam satu tegukan besar. Rasa panas segera menyebar di dadaku. Dan saat itulah dua kepala api tadi menyerang Hani dari dua arah yang berbeda. Hani dengan sigap merentangkan tangan dan kedua hantu itu dia tangkap. Dengan satu gerakan cepat Hani lantas membenturkan keduanya lalu api itu padam, lantas lekas dia melemparkan ke sungai. Terdengar bunyi bara api tersiram air. Lalu senyap.
Aku tak percaya semua kejadian itu terjadi tepat di hadapanku. Lebih tak percaya lagi karena itu dilakukan oleh Hani – oh ya nama lengkapnya Mahani - cewek yang baru saja kukenal. Siapa sebenarnya kamu, Mahani?
© Habel Rajavani, 2024.