Masukan nama pengguna
Karena Dia Sahabat Kyai Yassin
Cerpen Habel Rajavani
SAYA berjalan ke gedung pertemuan itu dengan perasaan yang sangat tidak nyaman. Ini hari Minggu. Harusnya jatah saya ambil libur, pulang menengok ibu. Tapi bukan karena kehilangan jatah libur itu yang memberatkan hati dan langkah saya. Ini perintah Kyai Yassin. Dan bagi saya perintah dari beliau adalah perintah. Saya tak pernah berani membantahnya. Meskipun kali ini urusannya di luar tugas saya sebagai wakil ketua yayasan bidang kesiswaan.
Saya ambil air wudhu lebih dahulu. Air yang sejuk tak juga bisa banyak menenangkan perasaan saya. Laluss aya membaca lagi pesan Whatsapp Kyai Yassin: Ustaz Amir, tolong bantu urusan ini ya. Haji Osman itu sahabat saya dari muda. Dia banyak sekali jasanya membantu saya membangun pesantren kita ini.
Saya bisa memahami betapa rikuhnya Kyai Yassin. Dia dikenal sebagai tokoh yang netral, tak memihak. Beliau terbuka, menerima siapa saja. Sahabatnya Haji Osman pun sebenarnya tokoh terpandang yang juga tak pernah diketahui orang secara politik mendukung kelompok atau partai apa. Dia pengusaha hasil bumi yang dermawan dan terbuka bekerja sama dan membantu siapa saja.
Soalnya, kali ini, adalah mas Azghan, anaknya yang jadi caleg DPRD kabupaten. Azghan adalah santri di pesantren kami semasa ibtidaiyah dan tsanawiyah. Dia alumni yang membuat kami bangga. Azghan kini menjadi politisi muda dari daerah kami yang sangat potensial.
Usianya saya kira kurang-lebih seperti saya. Saya masuk aliyah di sini, dia ambil aliyah ke kota. Jadi kami tak sempat bertemu di pesantren. Orangnya, katanya, sejak dahulu cerdas dan aktif berorganisasi. Dia terlibat di kegiatan sosial selama kuliah di Yogyakarta, dan punya rintisan usaha yang membuatnya mandiri secara ekonomi. Andai tak didukung dana Haji Osman pun Azghan mampu membiayai pencalegannya.
Dua malam lalu, Haji Osman berkunjung ke pesantren. Kyai Yassin meminta saya mendampinginya dalam pertemuan itu. Hanya saya. Ini di luar kebiasaan. Biasanya, apabila ada tamu penting, seperti Haji Osman ini, saya tak pernah ikut. Urusan saya tak terkait dengan hal-ihwal yang biasanya dibicarakan dalam pertemuan seperti itu.
Setelah pertemuan itu saya jadi tahu benar bagaimana beratnya Kyai Yassin menghadapi persoalan ini. Dan saya seakan merasa beban itu dia pindahkan ke saya. "Ustaz Amir, saya berat sekali mengambil keputusan kalau urusannya sama Haji Osman. Bantu saya ya... Saya yakin ustaz Amir bisa menimbang jalan yang paling baik buat kita, buat pesantren kita," kata Kyai Yassin setelah pertemuan malam itu.
Saya membaca lagi pesan dari Kyai Yassin. Yang ini kali ini dikirim oleh Ning Wahidah, anak pertamanya yang sejak setahun ini mulai banyak dipercaya mengambil alih pekerjan Kyai Yassin. Kami yakin dia yang akan menggantikan ayahnya, mengelola dan memimpin pesantren ini.
Abah menghormati Haji Osman. Dia tak mungkin mengecewakan sahabat baiknya itu. Ust. Amir putuskan saja kita harus bagaimana. Abah dan kita tak ada kaitan apa-apa dengan apapun risiko dari pertemua itu. Sekedar menjalankan amanah.
Santri yang sudah punya hak pilih dikumpulkan di aula besar. Jumlah santri di sini besar, dalam perkiraan saya mungkin sudah terkumpul sepertiga dari angka pembagi untuk mendapatkan satu kursi DPRD kabupaten. Belum lagi kalau diperhitungkan suara keluarga santri yang kalau mau diarahkan pasti akan mendengarkan suara Kyai Yassin. Ini sangat menggiurkan politisi dari pemilu ke pemilu. Tapi orang tahu reputasi Kyai Yassin dan pesantren kami.
Haji Osman tak datang. Saya duduk mendampingi Mas Azghan. Ning Wahidah ikut sebentar memberi kata sambutan, berbasa-basi mewaikil ayahnya. Saya memanfaatkan pertemuan itu sedikit untuk pendidikan politik bagi para santri. Saya katakan pada Mas Azghan jangan terlalu terang-terangan berkampanye. Dia bicara tentang sistem politik di negeri ini, peran partai, dan pentingnya anak-anak muda memahami politik, bukan anti pada politik.
Azghan tampil dengan sangat menarik. Rasanya ia memang pantas dipilih. Retorikanya sangat menarik. Pengetahuan agamanya menambah kuat argumen pembangun alasan untuk memilih dia. Saya yakin, tak sulit untuk meyakinkan para santri untuk memilih dia. Tak soalnya bukan hanya itu.
Soalnya yang “bukan hanya itu” membuat saya harus menggelar rapat dengan ketua-ketua kelas. Kyai Yassin melarang saya mengumpulkan guru-guru kelas. Ada satu tas berisi uang yang sudah dibagi ke dalam amplop sejumlah murid yang masuk daftar pemilih tetap. Inilah soalnya. Saya harus bagikan atau tidak? Kalau tidak dibagikan mau diapakah uang itu? Kyai Yassin sudah menolak sejak awal. Tapi dia juga tak menyuruh mengembalikannya.
“Itu politik uang, Ustaz,” kata Wawan, salah seorang murid yang kritis. Jago debat, andalan kami kalau ada lomba antarpesantren.
“Soal itu sudah jelas. Itulah dilemanya. Kyai Yassin pun posisinya tak enak. Itu harus kita pahami. Ini keputusannya diserahkan pada kita,” kata saya.
Kami pun beradu pendapat. Menguji satu usulan, membantah pendapat lain. Mendebatkan satu pikiran, menggali tawaran lain. Usulan Firman, ketua OSIS madrasah aliyah akhirnya kami terima sebagai solusi sementara. Dia usul kami beri tahu saja semua murid tentang uang itu, dengan demikian pesan tersampaikan, tapi kami sepakati uang itu tak akan dibagikan. Itu jalan terbaik di antara pilihan buruk lain. Kami beri tahu saja bagaimana hubungan Haji Osman dan Kyai Yassin dan kenapa kita harus membantu beliau dengan memilih Azghan.
“Sementara kita simpan saja uang itu. Setelah pemilu, baru kita kembalikan.” kata Firman.
“Tapi bagaimana mengembalikannya?”
“Siapa yang harus mengembalikan?”
“Apakah Haji Osman tak tersinggung?”
“Kalau Mas Azghan tak menang gimana?”
Saya setuju dengan usulan Firman. Urusan bagaimana mengembalikan uang itu biar saya yang memikirkannya nanti. Pulang dari pertemuan dengan perwakilan murid-murid malam itu saya merasa sangat lelah dan belum bisa tenang.
Berhari-hari kemudin saya masih memikirkan apa yang akan terjadi nanti saat pemilu dan sesudahnya. Ning Wahidah dan Kyai Yassin tak bertanya. Mereka seakan-akan sudah melupakan dan menyerahkannya pada saya. Saya merasa dipojokkan, terus-terang saja. Ustaz-ustaz dan kyai lain pun tak mau tahu. Saya merasa apabila nanti terjadi apa-apa, misalnya apabila Maz Azghan kalah, saya adalah orang yang berada pada posisi paling lemah dan paling mudah disalahkan.
Saya merasa sedang ditumbalkan. Ya, Allah. Benar sekali dulu nasihat dari almarhum kakek saya. Kalau bisa, kata beliau, jangan terjun ke politik, kecuali kalau kamu bisa berdusta pada hati nuranimu. Nasihat itu saya turuti benar. Saya selalu menjauh dari urusan politik praktis. Tapi kenapa juga akhirnya saya harus terseret ke dalam urusan ini?
Saya menyempatkan benar pulang menemui ibu. Kata ibu, saya sudah mengambil jalan yang paling baik. “Niatmu baik, Nak. Caramu jug sudah sangat baik. Yakinlah Allah akan kasih jalan yang baik,” kata ibu. Saya sedikit tenang mendengar kata-kata ibu.
Apa yang kucemaskan tak terjadi. Mas Azghan lolos ke DPRD kabupaten dengan perolehan suara nyaris untuk dua kursi. Partainya di dapil kami nyaris memborong seluruh kursi. Saya lega. Lepas sudah rasanya seluruh beban berat yang beberapa bulan ini saya tanggung. Saya yakin Kyai Yassin senang dengan bagaimana cara saya menangani persoalan terkait Haji Osman ini. Beliau dan Ning Wahidah tak pernah bertanya soal uang titipan itu. Tinggallah saya memikirkan bagaimana mengembalikan uang yang tak kami bagikan itu. Rencana saya diam-diam, tak perlu minta izin Kyai Yassin saya akan menemui Mas Azghan.
Beberapa hari kemudian, justru orangnya Mas Azghan yang menemui saya. Saya diminta menemuinya di rumahnya. “Ada gugatan sengketa pemilu di MK. Lawan kita mencurigai perolehan suara kita yang besar sekali. Lalu dikait-kaitkan dengan money politic. Intinya mereka curiga kita bagi-bagi uang ke santri. Apalagi seluruh TPS di mana para santri kita mencoblos kita menang semua, Ustaz,” kata sang utusan.
“Saya harus apa nanti, Mas?”
“Jadi saksi di persidangan, Ustaz”
“Kenapa harus saya?”
Haji Osman rupanya sudah juga bicara soal itu dengan Kyai Yassin. Saya tak heran jika beliau tak bicara tentang hal ini dengan saya. Toh sejak awal beliau telah serahkan urusan ini kepada saya. Saya kira urusannya sudah selesai setelah Mas Azghan menang.
Saya menemui Mas Azghan yang sudah menunggu bersama tim pemenangan dan pengacaranya. Saya datang membawa tas berisi uang dalam amplop yang masih utuh. Saya kira inilah saat yang paling tepat untuk mengembalikan tas itu. Mas Azghan terdiam dan saling pandang ketika saya letakkan tas itu di atas meja.
“Saya kembalikan ini, Mas. Masih utuh. Kalau perlu silakan dihitung. Mungkin bisa dipakai untuk keperluan lain. Saya kira kita tak perlu takut. Tak akan ada bukti terkait tuduhan bagi-bagi uang di pesantren kami. Saya siap jadi saksi. Kapan sidangnya, Mas Azghan?”
© Habel Rajavani, Jakarta, 28 Januari 2024.