Cerpen
Disukai
2
Dilihat
16,084
Malam Itu Laut Sedang Surut
Drama

SAYA pernah punya trauma terhadap banci. Sewaktu saya kecil saya melihat dua orang banci berkelahi. Mula-mula mereka bertengkar hebat. Mereka memperebutkan pelanggan salon. Tak ada yang melerai. Lalu mereka entah dari mana masing-masing memegang pisau. Seorang di antaranya tewas dengan beberapa luka di tubuh. Seorang terkapar dengan tubuh bersimbah darah, lalu dia dijemput polisi.

Peristiwa itu terjadi di depan mataku. Saya ikut ayahku mengantar kelapa ke pasar di kota. Biasanya apabila terlalu malam untuk kembali ke kampung kami menginap di rumah milik tengkulak di dekat pasar. Rumah itu bersebelahan dengan rumah kontrakan yang banyak dihuni orang-orang di sekitar pasar. Termasuk dua banci yang pagi itu berkelahi.

Setelah peristiwa itu, setiap kali melihat atau bertemu dengan laki-laki berpakaian dan berpenampilan seperti perempuan saya dihinggapi perasaan ngeri, selalu teringat dua banci yang berkelahi itu.

Trauma itu perlahan hilang ketika aku mengenal Baha. Namanya Baharuddin. Dia teman sekelasku di kelas 5. Tentu saja dia laki-laki. Tapi dia sangat gemulai. Di sekolah dia berseragam seperti anak-anak laki-laki lainnya. Tapi apabila dia tak bersekolah dia memakai sarung dan blus. Dia berjualan sop singkong di halaman masjid. Sop singkong itu dia masak sendiri dan rasanya enak. Sesekali Baha mengikat rambutnya yang agak panjang dan memakai pita. Sesekali dia bergincu dan berbedak tipis.

Baha teman yang baik dan menyenangkan. Setiap kali diolok-olok sebagai banci atau bencong dia tak pernah marah. Dia hanya tertawa dan menunjukkan sikap genit memancing kami tertawa lebih keras. Dia juga suka bernyanyi lagu-lagu berbahasa Bugis yang tak sepenuhnya aku mengerti. Tapi suaranya merdu. Tamat SD Baha dan keluarganya pindah ke kota, ada juga yang bilang mereka kemudian pulang ke Sulawesi.

Saya teringat Baha ketika redaktur kota menugasiku membuat liputan tentang merebaknya waria di Balikpapan. Saya baru saja tiga bulan menjadi wartawan di koran lokal, setelah lulus kuliah. Sebenarnya saya masih sedikit trauma, tapi dengan mengingat Baha, trauma itu bisa kuatasi.

Untuk liputan itulah saya berada di Monumen Perjuangan Rakyat alias Monpera malam itu. Ini ruang publik di tepi pantai di kota kami yang menjadi tempat mangkalnya para waria. Saya mengincar dua orang waria yang penampilannya sulit dibedakan dengan perempuan. Kenapa dua? Agar tak terlalu dicurigai bahwa aku hendak memakai mereka. Lagi pula sebagai narasumber dua lebih baik dari pada seorang saja. Saya mengajak mereka makan nasi goreng. Saya memperkenalkan diri dan menyebutkan bahwa saya adalah wartawan yang hendak menulis tentang kehidupan waria.

Mula-mula mereka keberatan diwawancarai, sampai akhirnya kami bersepakat, dengan apa yang saya tawarkan dan satu syarat yang mereka ajukan. Tawaran dariku adalah kami akan wawancara selama dua jam. “Saya akan bayar dengan harga berapa perkiraan pelanggan yang kalian bisa dapat selama dua jam itu,” kataku. Mereka setuju dengan syarat beritanya tak boleh diterbitkan jika Mama Kori tak setuju.

“Mas harus minta izin dengan Mama Kori,” kata Yona, satu yang paling cantik di antara mereka berdua.

“Oke, kasih saya alamat atau nomor teleponnya,” kataku. Saya malah bersyukur dengan syarat itu. Ini akan jadi tambahan data menguatkan liputan saya. 

Dari wawancara dengan Yona dan Wiwik saya dapat gambaran bagaimana mereka bertahan hidup. Menjual diri di kawasan Monpera biasanya hanya untuk cari tambahan. Pekerjaan utama mereka terutama bekerja di salon atau berjualan di pasar. Detail-detail layanan tarif blowjob, handjob, hingga mandi kucing, mereka ceritakan dengan ringan. “Oke misalnya kita mau main, nih, kita kemana?”

“Ke situ,” kata Yona menunjukkan ke ujung kiri pantai tempat kami duduk. Ada tembok penahan ombak di sana dan tak ada lampu.

“Di situ? Gelap-gelapan? Di pasir pantai itu?”

“Ada tikar kok bisa di sewa, Mas…” kata Wiwik.

Untuk wawancara malam itu aku menghabiskan lebih dari separo gaji reporterku. Mereka juga ambil rokok low tar low nicotine yang saat itu lagi mulai ngetop-ngetopnya. Tapi saya puas dengan bahan-bahan berita yang kudapatkan. Wiwik dan Yona bersedia difoto dengan posisi wajah yang tersamar.

 Tidak sulit menemukan alamat Mama Kori. Tak jauh dari pasar ada jalan pelantar ke arah perumahan panggung di atas laut. Rumahnya agak di ujung pelantar. Ada papan nama persatuan waria se-Indonesia cabang Balikpapan. Pagi Minggu itu, Mama Kori menyambutku dengan ramah. Ia merokok.  

“Sama siapa kau sudah wawancara?” tanyanya setelah mempersilakan aku duduk.

“Lola dan Wiwik, Mbak,” kataku. Mereka berdua ternyata tinggal tak jauh dari rumah Mama Kori.

“Panggil aja aku Mama. Mama Kori itu namaku. Semua orang memanggil begitu,” katanya.

“Eh, iya, Mama Kori…” kataku canggung.

Mama Kori menerimaku dengan kesehariannya. Kaos tanpa lengan itu menampakkan tali kutang yang menyangga payudara palsu, saya kira dia dapatkan itu dengan operasi, dan celana short. Alisnya jelas palsu. Ada banyak alat perawatan rambut dan wajah di ruang tamu. Juga meja dengan cermin besar untuk latihan para pekerja salon. Katanya dia mengelola empat salon dan mempekerjakan belasan waria binaannya. Dia beri saya data perkiraan jumlah waria di kota kami, berapa yang jadi anggota perkumpulan, dan berapa yang tidak. 

“Kamu nonton sinetron Si Doel, nggak? Yang jadi guru salon Atun itu anak Balikpapan, lo… itu anak binaan saya. Sukses dia sekarang di Jakarta,” kata Mama Kori dengan nada sangat bangga.  

“Tolong kamu tulis ya, Mas wartawan, kami ini orang terpinggirkan. Tak dianggap, kami tak mengganggu tapi kami mau hidup seperti manusia lain. Cukup makan, ada jaminan masa depan. Rata-rata kami di sini ini mengontrak rumah. Yang murah yang cuma rumah panggung di kawasan ini…” kata Mama Kori.

Mama Kori memanggil seseorang untuk memberi saya minum. “Bet, Betty, kasih nah ini tamu kita minum,” katanya. Betty membawa segelas kopi untukku. “Eh, ini Baha ya?” kataku. Saya kenal benar dengan wajahnya, dan terutama tahi lalat di dagunya. 

“Kamu siapa?” tanya Baha eh Betty. Saya menyebut nama dan mengingatkannya bahwa kami satu sekolah di kampung dulu. Betty langsung ingat dan memelukku. Mama Kori tersenyum melihat aku gelagapan.

“Jadi wartawan kau ya?” kata Betty. “Tunggu, sebentar.” Ia menyelinap ke dapur lalu keluar dengan semangkuk sop singkong. Betty berjualan di sop singkong di pasar, kata Mama Kori. “Nanti mampirlah ke warungku, ya. Cerita-cerita kita, tapi jangan ditulis,” kata Betty. 

Rencana liputanku berkembang. Saya merasa harus melengkapi dengan wawancara dengan dinas terkait, dalam hal ini Dinas Sosial. Ada rencana kota merelokasi penduduk di rumah liar di tepi pantai itu ke kawasan baru, Ringroad 1 dan 2. Saya hendak memastikan apakah mereka yang statusnya penyewa juga dapat kesempatan mendapatkan rumah murah di sana.

Liputanku dinaikkan sebagai feature di halaman satu edisi Minggu. Bangga sekali rasanya. Seperti seluruh kota membaca namaku ditulis dengan penuh di bawah judul. Saya minta tiga eksemplar koran untuk kuantar ke Mama Kori, seperti yang dia minta. Rencanaku pagi itu untuk menemuinya dan mengantar koran itu batal. Ada acara Wali Kota menyerahkan rumah tahap pertama relokasi warga tepi pantai itu. Koordinator liputan meminta saya meliputnya. Hari Minggu sebenarnya jatah saya ambil libur. Tapi biasalah, kalau ada liputan Minggu wartawan senior yang sebagian besar sudah berkeluarga malas. Sekalian saja kupikir saya mengonfirmasi pesan titipan Mama Kori.

 Pak Wali Kota ternyata membaca beritaku.

“Ini ya wartawan yang menulis soal waria? Bagus sekali liputannya,” katanya. Rasanya tambah besar saja kelapa saya. Sehabis acara seremonial itu saya malah diajak oleh Wali Kota melihat rencana pengembangan kawasan ringroad tahap berikutnya. “Sampaikan ke narasumbermu itu, mereka asal mau direlokasi, memenuhi syarat, pasti dapat kesempatan untuk dapat jatah rumah. Kita akan bangun banyak,” katanya.

Kunjungan itu berlarut sampai malam hari. Malam itu saya tertidur di kantor setelah mengetik berita. Nyenyak sekali karena lelah sekali rasanya. Tiga eksemplar koran masih ada di ras ransel, perangkat liputanku itu. 

Pukul tiga subuh saya dibangunkan satpam. “Han, bangun, Han! Kebakaran! Barusan pemred nelepon nanya siapa yang ada di kantor. Disuruh meliput,” katanya. 

“Kebakaran? Di mana?”

“Pasar Klandasan!” Saya mengambil ransel dan kunci motor.

Api meninggi. Terang sampai ke tengah laut. Dari tempatku berdiri di pantai Monpera saya melihat seluruh rumah kayu di tepi pantai itu telah terjilat api semua. Aku tak bisa mendekat. Aku memikirkan nasib mereka, orang-orang yang kutulis dalam beritaku di halaman satu…

Saya mengetik satu per satu nama korban kebakaran malam itu dari daftar yang kudapat dari kantor polisi.

…..

Maryono.

Alwi.

Baharuddin.

Ahmad Koriun.

…..

Puluhan orang meninggal terjebak api. Kebakaran yang mendadak. Mereka adalah orang-orang yang bertahan menuntut ganti rugi yang lebih layak dan meminta kepastian jatah rumah relokasi. Malam itu laut sedang surut. 

 

© Habel Rajavani | Jakarta, 14 Januari 2024.                 

  

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi