Cerpen
Disukai
4
Dilihat
27,415
Kenapa Mang Enjang Tak Suka Khutbah Bertema Politik
Drama

Kenapa Mang Enjang Tak Suka Khutbah Bertema Politik

Cerpen Habel Rajavani

KAMI ternyata mendukung calon presiden yang berbeda. Tapi apakah hubungan baik kami rusak karenanya? Rasanya tak perlu. Kami adalah saya dan Mang Enjang, tukang cukur langganan saya.

Sejak menempati rumah kontrakan baru di Ulumaji, saya berlangganan di Pangkas Rambut Laksana. Ada tiga orang tukang pangkas bekerja di situ. Kebetulan, Mang Enjang yang lebih sering kebagian memangkas rambut saya. Kebetulan saya pun cocok dengan hasil kerjanya.

Pangkas rambut itu ada di jalur jalan saya ke masjid di luar komplek perumahan. Saya cukup berjalan kaki saja karena tak terlalu jauh. Atau kalau harus bawa kendaraan saya parkir di Alfamidi seberang masjid. Masjid itu tak terlalu luas halaman parkirnya.

"Sudah lama gak cukur, Pak?" kata Mang Enjang tadi siang. Kebiasaan saya bercukur memang selalu setelah jumatan. Tadi saya keluar masjid lebih dahulu dan menunggu sebentar. Jakarta hujan, sejak pukul dua malam. Jemaah masjid tadi agak kurang.     

"Iya. Makanya sudah gondrong ya, Mang?" kata saya. Saya bercukur tak tentu waktu. Pokoknya asal terasa telah awut-awutan dan tak nyaman saya mampir di Laksana. Tapi rasanya belakangan daya tumbuh rambut saya melambat. Yang pasti ketebalannya sudah menipis dan sudah merata putihnya.

Di awal-awal berlangganan di sini Mang Enjang selalu menawarkan semir rambut. Setelah tahu saya bahagia saja dengan uban saya yang makin dominan, tawaran itu tak pernah ia ajukan lagi.

“Biasa ya, Mang. Rapikan, agak tipis. Janggut cambang dua mili. Natural, tak usah dikerik,” kata saya setelah duduk di kursi dekat jendela depan, satu dari tiga kursi di ruang sempit itu.

 Sambil memasang kain pelindung badan Mang Enjang menggerutu tentang isi khutbah tadi. Katanya tak seharusnya khatib membawa tema politik ke mimbar masjid Jumatan. Khutbah itu cukupkan saja rukunnya, baca alhamdulillah, baca salawat, sampaikan wasiat, lalu akhiri dengan doa.

“Ngapain tadi khatibnya bawa tema soal buzzer. Saya malas kalau dengar khatib Jumat bicara politik. Apalagi sampai secara khusus membahas buzzer. Rasanya seperti tidak sah Jumatannya,” kata Mang Enjang. Dia mulai memangkas rambut bagian pinggir kanan saya.

“Kalau mau dicari-cari dalilnya sih bisa aja. Tapi buat apa? Banyak tema khotbah lainnya yang lebih baik,” kata lelaki asal Garut itu. Garut memang kota asal banyak pemangkas rambut. Mereka menyebar ke mana-mana. Sebelumnya di dekat komplek perumahan lain di mana saya juga menyewa, pemangkas rambutnya juga dari Garut.

“Tadi sih rasanya khatib kita netral aja, Mang. Buzzer dikaitkan dengan penyebar berita. Itu bagus-bagus saja. Tapi kalau beritanya bohong nah jatuhnya fitnah. Follower yang men-share, me-like, apapun yang disebarkan buzzer tanpa filter, kalau fitnah jadi ikut kena dosa fitnah. Apalagi dicontohkan bagaimana fitnah atas Aisyah oleh ‘buzzer’ zaman Rasulullah,” kata saya.

“Tapi tak semua jemaah bisa menangkap pesan seperti yang Bapak bilang. Jemaah di sini partainya dan capresnya beda-beda, Pak. Pemilu tahun berapa itu dulu kita sempat pecah, sampai ada yang mau bangun masjid sendiri tak mau sembahyang di masjid sini karena beda dukungan,” kata Mang Enjang.

 Obrolan kami terhenti. Ada pelanggan lain datang. Sementara Mang Enjang terus memangkas rambut saya. Dia sudah menggarap sisi kiri kepala saya.

   “Sendiri aja, Mang Enjang?”

 “Iya… Mang Oding ambil jatah libur. Pulang kampung katanya, lagi panen durian.”

  "Eko ke mana?”

“Ah, kalau dia mah hujan gini tidur. Jumatan juga tadi gak ikut dia,” kata Mang Enjang.

 “Mang Enjang belum pulang ke Garut,” saya bertanya.

“Nanti pas hari coblosan aja, Pak,” kata Mang Enjang dengan kalimat yang agak ragu. “Kalau ongkosnya cukup he he he,” katanya. Ia mengeluh di awal tahun biasanya pelanggan memang selalu turun, makanya Mang Oding memilih pulang kampung dulu. 

Mang Enjang mengakhiri layanan untuk saya dengan memijat kepala dan pundak saya. “Beres, Pak,” kata Mang Enjang. Saya memberinya selembar uang seratus ribu. 

“Ngomong-ngomong Bapak dukung siapa, Pak?” tanyanya. Saya menjawab nama capres dan cawapres yang akan saya pilih.

“Wah, kita beda jagoan, Pak,” katanya. Saya sudah menduga dari poster yang dia pasang di sebelah cermin di belakang saya. Di situ ada kalender caleg satu partai dengan latar belakang pasangan capresnya.

Dia mengecek uang kembalian di laci kasir. Lalu memeriksa dompet. Tampaknya tak ada cukup uang untuk kembalian. Tarif pangkas rambut di Laksana Baru tergolong murah. Hanya Rp25.000 untuk orang dewasa. Ia juga bertanya kepada pelanggan yang tadi baru datang bersiap-siap dipangkas rambutnya.

“Uang saya juga gede, Mang.”

“Aduh, gimana nih, Pak?”

“Ya, sudah, Mang. Sisanya buat Mamang aja,” kataku, biasanya saya memang memberi dia sedikit uang tip. “Buat tambah ongkos pulang nanti pasti hari coblosan.”

“Aduh. Serius ini, Pak? Kita beda capres lo, Pak?” kata Mang Enjang.

Saya tertawa. “Ikhlas, Mang. Serius.”

Saya mengambil dan memasang songkok, lalu pamitan. Mang Enjang bersiap memangkas rambut pelanggan tadi. Dia tak menjawab salam saya. Dia seperti hendak menahan saya.

“Ada apa, Mang?” tanya saya.

“Pak, kalau boleh sebentar Bapak mau dengar cerita saya?” katanya.

Saya menahan langkah. “Cerita apa, Mang? Serius amat…”

Si pelanggan baru tertawa. “Masih diingat-ingat juga, Mang…”

Dia lalu bercerita kenapa dia sampai jadi tukang cukur di ibukota. Di kampungny di Garut dulu dia punya kebun jengjing yang cukup luas. Punya balong ikan juga, yang dari hasil panen ikannya cukup buat menghidupi keluarganya dan bisa menabung. Posisi Mang Enjang di kampung cukup dipandang. Pada dua pemilu lalu ada partai baru yang menawarinya jadi caleg kabupaten. Mereka bilang sudah menyelidiki banyak tokoh di daerah. Termasuk Mang Enjang. Mereka menyebut Mang Enjang sebagai politisi potensial. Dengan janji akan dibiayai seluruh biaya kampanye. Tapi dia harus setor dulu uang. Uang beli perahu istilahnya.

“Setelah masuk masa kampanye, seperti sekarang inilah kira-kira, sebulan lagi coblosan, saya ditunjukkan data yang katanya itu hasil survei tim partai. Katanya saya pasti menang. Elektabilitas saya tinggi katanya. Saya termakan juga omongan mereka. Mereka minta saya menggencarkan kampanye. Mereka minta uang lebih banyak katanya buat bikin poster, spanduk untuk dipasang di beberapa kampung yang di sana elektabilitas saya masih rendah. Sampai terjual semua harta saya, kebun, balong, rumah pun saya gadaikan,” kata Mang Enjang.

“Cerita lama, Mang…” kata si pelanggan yang sudah duduk di kursi pangkas.

“Iya. Tapi si Bapak kan belum tahu…” kata Mang Enjang.

Mang Enjang tak melanjutkan ceritanya. Tapi saya sudah tahu seperti apa akhirnya.


© Havel Rajavani, 2024.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)