Masukan nama pengguna
SI PENDIDIKAN NEGERI SIPIL BAG-1
Catatan 12 Januari 2011, tiba di Prau.
Puncak gunung Prau tampak lebih menjulang dan megah dari tempatku berdiri saat ini. Lerengnya tidak terlihat jelas karena begitu tebalnya kabut, namun aroma khas bunga-bunga Daisy yang semerbak diantarkan angin, meneguhkan kesadaranku bahwa ini adalah Gunung Prau. Gunung yang sudah lebih dari 5 tahun silam aku daki dan aku kembali padanya. Bukan untuk kembali menghampiri kenangan di puncaknya tapi justru untuk menetap jauh lebih lama di kaki-kaki gunungnya. Aku kembali untuk berbakti pada negeri.
Ini adalah hari pertama sejak aku tiba di Desa Bedes. Desa ini terletak di sebelah utara kaki gunung Prau, berbatasan langsung dengan lereng gunung Sipandu di sebelah timur. Aku datang bersama 2 temanku yang juga lolos seleksi CPNS program Guru Garis Depan (GGD). Meskipun mereka ditempatkan di lokasi yang berbeda tapi mereka keukeuh ingin ikut mengantarkanku ke lokasi penugasan. "Sekalian cuci mata dan penyegaran dong," kata Andi yang berasal dari Depok. Satu lagi Sany yang aslinya memang berasal dari Batang.
Di rumah Sany pula, sehari sebelumnya kami menginap. Beruntung lokasi rumahnya dekat dengan Alun-alun Kota Batang sehingga aku tidak kesulitan lagi mencari informasi aksess ke Desa Bedes. "Wes lama neng kene San?" tanyaku sambil bersandar di gapura 'selamat datang'. "Lumayanlah dulu wes mondok di keputren neng kene sampai kelas 6 SD," jawabnya terengah-engah. Wajar sih, perjalanan kami memang cukup melelahkan. Walau jalan desa dari Alun-alun Batang hingga desa ini sudah dibeton tapi untuk menuju SD tempatku bertugas masih mesti berjalan kaki sekitar 5 km, dan kami bahkan belum berjalan setengahnya.
"Ini hutan cuma sejam-an jalan kaki ke desa tapi kok bener-bener sepi ya," cetus Andi. Benar juga komentar doi. Suara hilir mudik kendaraan sama sekali tidak terdengar. Padahal mungkin jarak ke Jalan Raya Bawang hanya beberapa puluh meter dari tempat mereka berdiri. Entahlah, mungkin itu karena begitu rimbunnya pepohonan di hutan ini. Hanya suara-suara serangga, desau dedaunan pohon Trembesi, dan langkah-langkah gontai kaki kami bertiga yang mengisi kesenyapan hingga mendadak, suara-suara itu hilang bagai ditelan bumi. Hening, senyap, sesunyi-sunyinya.
Intuisi kami menyuruh berhenti. Kulihat Andi menempelkan telunjuk ke bibir sebagai isyarat untuk diam. Memang itulah yang terjadi selanjutnya. Kami mematung dan kurasa itu bukan karena kehendak kami melainkan suasana ngeri yang tiba-tiba saja menyergap. Kulihat Sany menyapukan pandangannya ke sekeliling. Tidak banyak yang bisa dilihat selain semak-semak belukar dan pakis resam yang menjulang dikelilingi pohon-pohon trembesi. Hampir kupecahkan kesunyian jika saja mataku tidak menangkap sekelabatan bayangan dari balik Pohon Sonokeling di ujung jalan.
Di sana di ujung jalan setapak itu, kulihat lamat-lamat sebuah titik blur yang perlahan semakin jelas menyeruak. Garis panjang hitam lebat itu adalah ekor dan kilatan cahaya itu adalah secercah pantulan taring. Tak heran jantungku berdegup semakin kencang. Khawatir jika "Si Mbah" tiba-tiba loncat menerkam. Jarak 5 meter tidaklah jauh untuk seekor macan menerkam buruannya. Namun, kami ternyata bukan buruan "Si Mbah", setidaknya untuk saat itu. Kulirik Andi rupanya sudah siap-siap dengan sebilah kayu di tangannya, meski tetap saja raut wajahnya menyiratkan ketegangan.
Sejurus kemudian, suara-suara seakan kembali menghinggapi kekosongan. Desau dedaunan dan kicauan burung lagi terdengar di antara keriuhan angin serta bunyi-bunyian alam. Tiba-tiba saja tenagaku menguap. Aku hilang keseimbangan dan jatuh terduduk tapi sadar. Hanya Andi yang masih berdiri gontai sementara Sany malah mulai menangis sesegukan. Kupeluk dia berusaha menenangkan padahal diriku pun masih gerun merengket. "Oi Sih, koe yakin mulang neng kene?" tanya Andi dengan ekspresi tidak rela.
*
Catatan 21 April 2011, kelas
Ingatan dan trauma yang dihasilkan pertemuanku dengan "Si Mbah" sudah memudar berbulan-bulan kemudian. Aku menemukan diriku terbenam bersama para murid SD Negeri Bedes. Satu-satunya sekolah yang ada di desa ini. Hanya ada 25 siswa di sini, mereka terbagi di kelas 4, 5, dan 6. Tidak ada kelas di bawahnya karena SD ini sudah tak menerima murid baru sejak 2 tahun lalu. Ketika aku datang, hanya ada Pak Imron. Dia adalah satu-satunya guru yang masih mengajar di sekolah. Dulu sempat ada 3 guru lain tetapi semuanya sudah mutasi ke sekolah lain yang lebih dekat dengan kota. "Anak-anak neng kene bukannya ndak mau belajar Nduk... bukan, mereka justru sangat merindukan guru yang bisa mengajari mereka banyak hal tentang dunia," kata Pak Imron suatu sore.
Perkataan Pak Imron terngiang-ngiang di telingaku dan menetap di benakku. Entah kenapa dadaku dipenuhi semangat dan haru yang membuncah. Aku ingin sekali memberikan semua ilmu yang kupelajari di bangku kuliah kepada mereka anak-anak baruku. Cerita Pak Imron tentang gigihnya anak-anak ini menuntut ilmu seakan menjadi suluh yang membakar semangat. Pak Imron tidak berbohong. Tidak pula melebih-lebihkan karena aku sendiri menyaksikan betapa perjuangan anak-anak ini untuk datang setiap hari ke kelas. Ada yang harus berjalan naik-turun bukit, ada yang selalu datang terlambat karena membantu orang tua berladang, banyak pula yang datang ke sekolah membawa gembalanya (Biasanya diikatkan ke tiang bendera).
Oh mengenai tiang bendera. Bagian tulisan ini selalu membuatku terharu. Sekolah ini sudah lama sekali tidak pernah menyelenggarakan upacara bendera pada hari Senin. Tidak ada tiang bendera dan bendera merah-putih satu-satunya yang dimiliki sekolah sudah robek dan lapuk dimakan rayap. Aku pernah bertanya tentang terakhir kali mereka mengikuti upacara bendera? Sebagian menjawab 3-4 tahun lalu tapi kebanyak menggelengkan kepala. Pak Imron mengamininya, dan mungkin karena merasa bersalah, pada suatu hari di akhir pekan dia mendatangiku. Aku yang sedang menginap di rumah Sany diserahi kantong plastik berisi bendera baru.
"Ikiloh Nduk, kanggo upocoro," ucapnya sembari tersenyum. "Iki benderane tumbas ndi Pak?" tanyaku penasaran. Berceritalah Pak Imron panjang lebar. Keinginannya untuk bisa menyelenggarakan upacara bendera ternyata sudah terpatri cukup lama dalam hati. Hanya saja Pak Imron ragu karena sudah sangat lama sekali sejak ia mengikuti upacara bendera di daerah Alun-alun dan ia tidak yakin bisa membina para murid dengan betul. "Sip, uwis nanti aku temeni koe ajarin anak-anak yo," celoteh Sany tersenyum lebar.
Butuh lebih dari 5 minggu mempersiapkan anak-anak kelas 5 dan 6 menjadi petugas upacara. Aku dan Sany bergantian melatih mereka setiap hari Selasa, Rabu, dan Jumat. Aku mengajarkan sedikit peraturan baris-berbaris dan membagi peran dalam upacara nanti sedangkan Sany fokus pada pengerek bendera. Kami juga meminta bantuan Pak Imron untuk melatih lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta. Beruntung, Pak Imron bilang dia sudah sering mengajarkan lagu-lagu tersebut selama ini.
Semasa kuliah Sany adalah anggota Paskibra di kampus. Tidak heran kulihat caranya mengajari anak-anak membawa dan mengerek bendera sangat lugas dan efektif. Kadang-kadang galaknya muncul juga sih kalau anak-anak terlalu banyak bercanda tapi, ia lalu akan kembali lembut dan memuji-muji mereka kalau berhasil. "Wooii bengong siang-siang ora sugih-sugih," candaku melihatnya melamun. "Lah enggak, ituloh Sih, aku ra percoyo Awakdhewe berhasil," suara Sany sedikit bergetar. Hari Jumat itu, kami berdua sama-sama trenyuh karena Senin mendatang akan menjadi sejarah baru bagi SD Bebes.
Hujan tadi subuh menyebabkan lapangan upacara yang berupa tanah liat menjadi becek dan licin. Namun kami tidak peduli. Anak-anak tidak peduli. Mereka bahkan sudah berbaris rapi di sana menggunakan seragam lengkap sebagaimana yang mereka miliki. Tidak setiap hari para murid menggunakan seragam karena itu adalah harta yang berharga. Hanya acara-acara khusus seperti kelulusan barulah mereka akan mengenakannya; sehingga hari ini boleh jadi adalah salah satu hari khusus itu: upacara bendera.
"Siaaaap gerak!" Abun murid kelas 6 sekaligus ketua kelas meneriakkan aba-aba. Kami semua langsung mengambil sikap sempurna. Tiga murid lain yang menjadi komandan pleton kelas adalah Ana, Rusli, dan Syarif. Lalu kemudian Pak Imron bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dia memakai kopiah hitam baru yang kukira dibeli pada waktu yang sama dengan bendera merah-putih baru kami. Bendera baru kami ada di sana, dibawa oleh Putri yang dihapit Icang dan Faisal; merekalah tim pengibar bendera. Ada juga Tuti yang menjadi dirigen, Ruslan dan Noto yang bertugas sebagai Pembawa Naskah Pancasila dan Pembaca Pembukaan UUD 1945.
Abun melapor dengan suaranya yang lantang serta memberi hormat kepada Pak Imron. Setelah ia kembali ke tempat, derap langkah para pengibar lalu melaju seirama menuju tiang bendera. Aku menyaksikannya dengan takzim ketika Faisal menarik bendera lalu berteriak lantang "Bendera siap!". Sesuai aba-aba Abun, serentak kami memberi hormat. Dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang amat membuncah. Kugigit bibirku untuk menahan tangis. Terasa lebih khidmat dari puluhan bahkan ratusan upacara bendera yang selama ini pernah kuikuti.
Tak kusangka, semangat nasionalisme itu kutemukan kembali di sini. Di pelosok hutan di kaki sebuah gunung nan terpencil. "Tegaaak gerak!" pekik Abun sekejap setelah Sang Saka Merah-Putih terkibar sempurna. Bendera kami begitu gagah tertiup angin dan semoga menjadi penanda perubahan lebih baik bagi SD Beles. Kupalingkan wajahku sesaat untuk menghapus titik-titik air mata yang tak tertahan. Aku malu dan tak ingin para murid mengiraku cengeng tapi, pandanganku lalu jatuh kepada Pak Imron di ujung sana. Baru kusadari bahwa ia tengah menangis sesegukkan dengan senyum yang mengembang.
Bandung, 31 Desember 2022