Masukan nama pengguna
PEMIMPIN NEGERI SIPIL
Mobil SUV ber-plat merah itu baru saja memasuki pelataran kantor Kecamatan Talang Ubi. Keluar dari mobil seorang pria paruh baya berpenampilan necis. Ia melepas kaca mata hitamnya dan berdiri gagah di halaman kantor. Disekanya topi pet putih yang ia kenakan sembari menyapukan pandangannya ke seluruh bagian depan gedung. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum kepada warga desa yang keluar dari pintu bertulisan "Layanan". Warga desa pun menyadari aura keberadaan Si Dudeng. "Oh jadi ini camat baru yang datang dari Palembang," pikir mereka terkagum-kagum. Impresi yang baik tentunya bagi seorang pemimpin baru.
Seseorang dari dalam kantor menyadari kehadiran Si Dudeng. Pria bernama Suratman itu tergopoh-gopoh menghampiri dan menghaturkan salam. "Aduh tak ado kabar Bapak datang hari ini," kata Suratman. Berdiri di samping Si Dudeng, Suratman lebih nampak seperti bapak dari Si Dudeng, jika bukan karena baju dinas kecamatan dan kopiah hitam yang ia kenakan. "Dak papo Pak. Memang saya sengaja datang lebih awal. Rindu aku dengan desa ini," ungkap Si Dudeng. Mendengar perangai lembut Pak Camat. Suratman sedikit lega. Langkahnya terasa ringan mendampingi bos barunya menuju kantor.
Semua orang berdiri dengan hormat ketika Si Dudeng memasuki lobi kantor. Suratman dengan sigap mendahului Si Dudeng untuk menjadi penunjuk ruangan rapat. Para pegawai kecamatan Talang Ubi berbanjar dan secara bergantian memberikan salam selamat datang kepadanya. Tidak nampak raut wajah lelah atau jemu setelah ratusan km mengemudi seorang diri. Si Dudeng selalu berhenti sesaat dan memperhatikan dengan seksama wajah pegawai barunya. Dia mencurahkan seluruh perhatiannya saat menerima sapaan tangan mereka dengan sungguh-sungguh. Ia sudah mencuri hati mereka sejak hari pertama.
Ruangan rapat yang Suratman tunjukan adalah sebuah ruangan baru dengan bau cat yang masih tercium kental. Para pegawai segera menduduki meja rapat yang terbuat dari kayu jati; juga masih baru. Hanya AC yang sepertinya baru akan dipasang minggu ini karena bobokan temboknya masih menganga. Beruntung semilir angin dari tegalan bisa masuk melalui jendela-jendela yang terbuka lebar. "Aku lamo di sini Bapak/Ibu. Rumahku di daerah Talang Gudang dan sampai SMA bantu mamak jual ikan di pasak. Jadi ku tak asing dengan Talang Ubi. Bisa dibilang aku ini pulang kampung," ucap Dudeng berkisah.
Rapat pertama itu menjadi ajang nostalgia bagi Sang Camat. Satu jam lebih ia berkisah tentang masa kecilnya di Talang Ubi, mengorek-orek ingatan lama tentang tempat-tempat dan mencari tahu kebenaran kabar angin tentang nama-nama yang ia kenal. Anehnya, para pegawai tidak bosan dan justru masing-masing antusias mendengarkan dan terkadang mengoreksi kenangan Si Dudeng. Suratman pun begitu. Tidak ingat ia terakhir kali mengikuti rapat yang menyenangkan. Cuma rapat pembagian BLT yang paling berkesan sisanya hanya formalitas. "Ada hal baru yang dibawa camat ini," batinnya.
Suratman tidak tahu kosakata apa yang mewakili nuansa yang ia rasakan di kantor kecamatan. Orang-orang jadi lebih sering tersenyum dari biasanya. Kantor kecamatan jadi lebih ramai karena tiba-tiba saja Pak Camat membuka jalur layanan khusus setiap harinya bagi warga yang ingin mengadu. Ini adalah hal yang tidak biasa bagi Suratman dan pegawai lain yang terbiasa dengan aturan lama. Ada rasa risih sekaligus bangga melihat Pak Camat datang paling pagi dan sering kali pulang paling larut. Tentu saja ia dan pegawai lain juga mesti berusaha menyeimbangi etos kerja pimpinan barunya itu.
"Tak ado itu dana BOS boleh dipinjamkan," tegas Si Dudeng. Pagi itu dia sudah menerima keluhan dari warga desa yang mengaku tidak diperkenankan meminjam uang dari sekolah untuk membayar SPP. Pak Ridwan sebenarnya tidak terlihat seperti orang susah. Bajunya layak dan ia menggunakan celana bahan yang sepertinya masih baru. Di pergelangan tangannya juga melingkar jam tangan merk ternama, meskipun orang akan ragu jika itu orisinal. "Sungguh mati Pak. Duit aku dimaling pas tiduk di kelaso dekat sawah," tuturnya. "Bapak bekerja di sawah?" selidik Dudeng. "Ndak Pak tapi saya punya teman memang dia ado kerja di sawah itu," balasnya. "Lantas apa yang Bapak buat sampai bisa-bisanya tertiduk di sana?"
"Tek aguk nian dio Pak. Memang gawean dia ni dak pernah eder," ujar para pegawai kecamatan bersepakat. Mereka mengatakan kepada Si Dudeng jika orang bernama Ridwan itu acapkali berkeliaran mencari pinjaman duit. Siapa saja yang dia temukan di jalan akan dimintanya pinjaman. Konon, ia dengar kecamatan punya Camat baru yang sepertinya kaya dan baik. Hanya saja harapan Ridwan dapat uang mudah untuk meja judi, harus pupus karena meskipun Si Dudeng kaya dan baik, tetapi tidak goblok. Pak Camat malah menyuruh Ridwan menuliskan data-datanya agar pegawai kecamatan bisa langsung merekam dan memberikan bantuan sesuai prosedur. Karena itulah akhirnya Ridwan nampak keluar bersungut-sungut.
*
Mungkin ada satu bulan Si Dudeng menjadi Camat baru di Talang Ubi dan konsisten membuka "Sesi" konsultasi paginya. Para pegawai kecamatan sudah semakin terbiasa dan malah membuatkan jalur khusus bagi mereka yang hendak curhat kepada Pak Camat. Lengkap dengan nomor antrian. Tiada yang mengira jika kecamatan kecil ini menyimpan banyak ketidakpuasan dalam diri warganya. Ada yang meminta bantuan uang, sembako, hingga jodoh. Lain waktu Si Dudeng terpaksa sekedar mengelus-elus perut seorang ibu hamil yang berharap anaknya bernasib mujur. Semuanya dilakoni dengan senang hati oleh Si Dudeng hingga dua orang parlente dari sebuah kongsi datang bertamu.
"Apo ni?" tanya Si Dudeng heran. Ia melihat sebuah koper hitam berukuran kecil disodorkan ke hadapannya. Dua orang tadi tidak langsung menjawab. Kemudian, salah satunya berinisiatif membuka koper tersebut. Di dalamnya, bergepok-gepok uang nominal seratus ribu tersusun dengan rapi. Uang baru sepertinya karena masih terlihat licin dan kaku. Namun, Si Dudeng nampak tidak tertarik. Setidaknya itu yang dikatakan oleh sorot matanya. Alih-alih layaknya orang yang senang hati, muka Si Dudeng menyiratkan keraguan dan kebingungan. "Aku tanya sekali lagi nak buat apo ni duit banyak-banyak?" selidiknya tegas.
"Hm... maaf Pak Camat tapi saya pikir Pak Suratman sudah seperti biasa memperkenalkan kami sebagaimana sebelum-sebelumnya," kata salah seorang dari mereka sembari melirik penuh tanya kepada Suratman. Suratman hanya bisa mesem-mesem. Dia sendiri lupa dengan "Kebiasaan" ini karena terbuai aktivitas baru kantor kecamatan. "Kami dari PT Berkah Bumi Pak. Perusahaan pertambangan di Talang Bulang," lanjutnya. "Saya bersama teman saya hendak silaturahmi sekaligus mengantarkan titipan Haji Abrur. Direktur kami seperti biasa. Karena kan setiap tahun sudah menjadi kesepakatan begitu," pungkasnya.
"Ini titipan untuk siapa? Untuk aku kah Pak?" kali ini Si Dudeng mengarahkan pertanyaannya kepada Suratman. Si Dudeng tentu bukan orang dungu. Pengalamannya selama belasan tahun mengabdi di kantor gubernur sudah memberinya pelbagai pengalaman. Termasuk urusan setor-menyetor duit liar. Ia cuma ingin memastikan sekretarisnya mafhum apa yang terjadi. Pak Suratman hanya mengangguk pelan. Si Dudeng lalu menutup koper dan menyimpannya di samping meja. "Pekan depan datanglah kalian kemari. Ada yang ingin kutitipkan jugo kepada Haji Abrur." Kedua orang itu tersenyum, lalu bangkit untuk pamit.
"Dah berapo lamo Pak wong PT mamberi duit ke camat-camat sebelum aku?" tanya Si Dudeng. Nadanya kalem dan tidak mengancam. Melihatnya bertanya dengan wajah ramah, Suratman tiba-tiba justru merasa segan. Entah mengapa ia malah merasa bersalah berlagak naif selama ini. "Setiap tahun Pak. Dio wong biasanyo datang awal dan akhir tahun dan kalu ada pimpinan baru Pak," terang Suratman. "Dan Bapak tahu selama ni kah?" "Tahu Pak, tapi dak ado saya tahu berapo uang yang disetorkan," jawab Suratman. "Dan setahu saya dak ado masalahnyo dengan perda selamo ni," tambahnya.
"Oh cak tu, baiklah Pak. Tolong bantu saya. Siapkan berkas-berkas PT Bumi Berkah. Saya ingin tahu kerja dio wong. Saya dak mau ado wong galo di Tulang Ubi dirugikan," tandas Si Dudeng. Begitulah hari itu dan selama seminggu ke depan Pak Camat dan sekretarisnya bergelut dengan berkas-berkas. Mereka memeriksa dengan seksama setiap perijinan tambang PT Bumi Berkah. Ditelusurnya setiap rincian dan laporan. Dihitungnya semua catatan dan timbangan selama 5 tahun PT itu beroperasi di wilayahnya. Hingga satu minggu kemudian. Kedua orang itu datang kembali.
Haji Abrur menatap lekat-lekat koper yang dikembalikan. Tangannya memegang secarik kertas bertuliskan pesan dari Si Camat. Belum ia baca. Hatinya penuh prasangka kalau-kalau Camat baru ini ingin upeti lebih besar atau bahkan punya kontraktor lain yang siap memberikan bonus lebih banyak. Setidaknya kesan itu dia dapatkan dari kedua orang suruhannya. "Dak pacak dibeli tuan," begitulah kata mereka. Meskipun demikian, Pak Haji akhirnya mengenakan kaca matanya dan membaca surat dari Si Dudeng.
"Assalamualaikum,
Cakmano kabar Pak Haji? Terima kasih kemarin saya la terimo koper berisi duit ni. Tapi mohon maaf saya dak biso terimo. Bukan kerna dak butuh duit apalagi sok suci, tapi kerna memang Pak Haji dak perlu mengeluarkan duit lebih dari ketentuan peraturan. Saya la cek bersama pegawai kecamatan kalo PT Bumi Berkah dak ado masalah dari perijinan, laporan, sampai CSR.
Pak Haji, saya berterima kasih Pak Haji mamberi hadiah ni tapi saya berkewajiban untuk meluruskan kesalahan-kesalahan pendahulu saya di Talang Ubi. Saya janji Pak Haji, mulai detik ini Pak Haji dak perlu khawatir apalagi takut dipersulit oleh kami di pemerintahan Talang Ubi. Cukup jaga kejujuran Pak Haji menaati peraturan dan keselamatan masyarakat. Yang belamburan digemeti yang loncok dibuat putting.
Wassalamualaikum,
Salam hormat,
Camat Tulang Ubi
M. Dudeng Ranau"
Bandung, 10 Januari 2023