Cerpen
Disukai
1
Dilihat
7,155
Peneliti Negeri Sipil
Slice of Life

PENELITI NEGERI SIPIL


Pantulan cahaya dari sebuah binokular melesat membelah rimbunnya dedaunan pohon Leda; pohon endemik khas Sulawesi. Tidak pula ia terhentikan oleh semak belukar tinggi yang bertindak seakan menjadi pagar pembatas tangan-tangan buatan dari mengotori alam. Alam yang begitu kering dimana panas pasirnya berasal dari panas bumi. Panas itulah yang memberikan kehidupan kepada telur-telur Maleo. Burung itu tahu persis dimana mereka harus membenamkan telur-telurnya. Mempercayakan mereka pada panas pasir yang menganugerahi kehidupan.

Namun, burung ikonik Sulawesi ini tidak tahu ada lesatan teropong yang sedari tadi mengincar mereka. Mata dari teropong itu milik seorang pemuda paruh baya berambut gondrong dengan lengan kokoh berbulu lebat, beralis kelam nan tajam. Dia mematung dari balik gubuk pengintaiannya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari hewan-hewan itu. Khawatir dengusan dan tetesan keringatnya bisa menjadi denting alarm bagi Maleo yang awas.

Menjelang sore pun matahari masih cukup terik. Sudah 2 jam lebih Muhtar meneliti dengan teropongnya. Induk-induk maleo yang bertelur sudah menghilang di sekelabatan hutan keranggas bersama pasangannya. Dari gubuk pengintaian setinggi 2 meter itu, Muhtar keluar dan turun perlahan. Letih jelas tergambar dari kerutan dan kucuran keringat di wajahnya tetapi jelas pula kebahagiaan yang terpatri di sana. Sambil melonjorkan sebelah kaki dan menyundut rokok, Muhtar mulai membaca kembali penanda-penanda yang ia catat ketika pengamatan.

Rimbun dedaunan pohon palem yang melingkung tempatnya berihat memayungi sebagian punggungnya dari terik. Sementara coretan demi coretan digoreskannya dalam lembaran-lembaran kertas, kicauan nyaring burung tledekan surut dan pasang kian terdengar. Namun, sekalinya ia mendongak justru ada sepasang Prenjak Jawa yang meloncat kian kemari dari semak belukar beberapa depa di depan sana. Muhtar tersenyum. Dia terbawa kenangan lampau ketika masih menjadi bocah di kampungnya puluhan tahun silam.

Dahulu sekali, Muhtar kecil yang lahir di sekitaran Danau Poso sangat gemar berburu Prenjak Jawa bersama teman-teman sepermainan. Mereka biasanya menyusuri tegalan sawah untuk berbelok ke utara menuju wilayah rawa-rawa di sebelah barat laut Danau Poso. Di sanalah mereka berkomplot dan bersiasat membangun jerat. Jerat itu berupa pulut alias getah tumbuhan yang dioleskan pada sebuah ranting pohon. Muhtar kecil bertugas membawa burung Prenjak lain sebagai pikat. Kadang sehari bisa dapat dua tapi seringnya mereka pulang dengan tangan kosong.

Namun, ada satu peristiwa krusial yang mengunci hati Muhtar kecil menjadi peneliti. Itu terjadi Ketika sore terik seperti sekarang ini dimana semak belukar kering menjadi sarang favorit biawak untuk berteduh dan burung-burung kecil sulit sekali dipikat. Buah bersabar, Muhtar kecil menjinjing seekor Prenjak hasil buruan. Bulunya indah didominasi hijau zaitun dengan dada berwarna putih. Ada jingga khas melingkar di mata dan kakinya. Sepanjang jalan pulang dada Muhtar kecil penuh dengan kebahagiaan.

Langkah kakinya ringan dan sesekali meloncati batang-batang pohon Garonggang yang melintang di sisi jalan. Sial, seekor Maleo meloncat dari balik salah satu batang dan Muhtar hilang keseimbangan. Gebrukk, ia meringis kesakitan memegangi pantat dan menyumpah serapahi Maleo yang lalu lari melengos. Tak sadar Prenjak dalam sangkar sudah terbang hinggap di dahan seberang pandangan. Tak kuasa Muhtar begitu geram yang kemudian menangis menjadi isakan. Teman-temannya yang menyaksikan menggelak tertawa sementara Muhtar semakin geram.

Dendam itu ternyata singgah di hati Muhtar kecil karena keesokan harinya dia kembali ke lokasi yang sama. Dia sudah siap dengan sebuah ketapel kayu dan bersembunyi dengan baik di balik semak semak belukar. Tubuhnya yang mungil dan kaosnya yang berwarna coklat keabuan menyempurnakan penyamarannya. Matanya awas menatap sepasang Maleo yang mendekat; mengais-ngais pasir di ujung sana. Sesekali Maleo yang awas berhenti dan memperhatikan sekitarnya tetapi Muhtar sudah mengunci target. Sembari menahan nafas dia melepaskan sebuah peluru kerikil sebesar gundu yang telak menghantam kepala Maleo tersebut.

Si Maleo terkapar dan tidak bisa bangun. Mungkin sakit dan pening, yang layaknya manusia rasakan ketika kena terjang peluru. Maleo bangkit, jatuh lagi. Bangkit jatuh lagi. Sementara pasangan Maleo itu kabur ke hutan, Muhtar mendekat dengan penuh rasa puas. Dipandanginya korban yang tak berdaya. Hendak ia mengetapel sekali lagi tapi urung karena dari jauh dilihatnya seekor biawak berenang mendekat dari danau. Muhtar mundur dan bersembunyi di balik belukar. Dirinya mengira dendamnya akan lunas dibayarkan tatkala melihat daging Maleo itu dicabik dan koyak oleh gigitan biawak.

Memang benar pada permulaannya seperti itu, tetapi setelah biawak itu menggerogoti tanpa ampun Maleo yang masih hidup; perut Muhtar mual. Ia bangkit dan bertopang pada batang pohon untuk mengeluarkan kembali sarapannya tadi pagi. Lalu setelah biawak itu jelak dan merangkak pergi, Muhtar mendekat. Tak kuasa ia melihat cabikan sadis Maleo yang sudah menjadi bangkai. Penyesalan sontak memampat dalam dadanya, mendorong lenyap dendam sejak kemarin sore.

*

"Srek... srek...Pak Muhtar bagaimana situasi aman? Ganti" panggilan protofon membuyarkan memorinya. "Aman... aman. Pasangan terakhir sudah bertelur barusan siap balik kanan," seru Muhtar. "Mantab... di sini Tanjung Binerean juga sudah semua. Kami tunggu di pos kalau gitu, Ganti," "Baik. Siap," pungkas Muhtar lega. Ia kemudian bangkit dan membubuhkan catatan terakhir pada kertasnya. Betapa tidak senang! lima belas hari lebih dirinya mesti datang subuh dan pulang menjelang maghrib demi mengumpulkan data dan telur-telur maleo untuk dibawa ke penetasan semi alami.

Peneliti biologi seperti dirinya memang kerap kali wajib turun ke lapangan. Entah itu belantara hutan, kedalaman lautan, atau ketinggian gunung. Semua diukur atas nama ilmu pengetahuan. Tergantung subjek riset masing-masing. Maleo adalah subjek riset Muhtar sejak puluhan tahun silam. Berangkat dari dendam yang kini menjadi kasih tak terperi. Tak terhitung puluhan jurnal dan buku yang ia telurkan dari Maleo Senkawor. Semua dengan satu niatan: melindungi.

Pun dengan hari ini. Hari terakhir setelah 15 hari meneliti. Ia puas dan senang dengan semua data serta telur yang dimiliki. Data-data itu akan menjadi rujukan berharga dalam penulisan artikel ilmiah sedangkan telur-telurnya diamankan untuk penetasan. Sungguh pekerjaan yang jauh berbeda dari pertama kali ia bayangkan ketika mendengar profesi peneliti. Dikiranya profesi ini hanya berkutat di laboratorium dengan setelan jas putih dan kepala botak sebelah. Sangat jauh dari jelmaannya kini yang serupa pengangguran awut-awutan.

Meskipun demikian, Muhtar selalu merasa bangga dan puas menjadi peneliti. Tidak ada satu pun dari kampungnya yang dusun bahkan bermimpi menjadi peneliti. Terpikirkan saja tidak, sehingga perwujudannya sekarang apabila tengah pulang kampung selalu menjadi bahan olok-olok teman-teman sepermainannya dulu. Peneliti gendeng sebutan mereka. Anehnya Muhtar hanya terkekeh dan tidak pernah merasa terhina.

Sore ini pun, jelang akhir penelitiannya dia merasa senang dan perfek. Muhtar bersiul santai melantunkan tembang-tembang favoritnya sambil menyiapkan ransel berisi ransum hingga suara burung yang berkaok-kaok di kejauhan menegakkan kewaspadaannya. Bukan suara biasa karena ia kenal betul itu adalah lengkingan Maleo yang merasa ketakutan. Tidak ingin menduga, dalam sekejap mata Muhtar memanjat kembali tangga gubuk pengamatan. Ia arahkan binokularnya ke area peneluran dan mendapati 3-4 biawak tengah mengorek-orek pasir.

Hanya digerakkan insting, Muhtar turun bersicepat dengan rasa gempar yang tiba-tiba saja menyergap. Ia lari sekuat tenaga. Memutari pagar serupa semak belukar dengan duri-duri kecil di dalamnya yang tak hiraukan diinjaknya. Sampai dua kali nyaris terpeleset kerikil pasir, Muhtar tak peduli. Perhatiannya habis tersedot ketakutan yang sama dengan burung-burung itu. Ia juga tak bisa memperlambat lajunya ketika tiba. Nyaris menabrak seekor maleo yang bising berkoak, pasrah dan marah telurnya digeramus Sang Biawak.

Berbekal batu sekepalan tangan yang tertangkap sekenanya di dekat tubuh. Ia lemparkan sekuat tenaga ke arah kerubungan biawak tersebut. Tidak kena tapi sukses membuat satu dua biawak kaget dan mematung. Batu kedua dan ketiga melesat hampir bersamaan, menghamburkan niat perburuan para biawak. Mereka lari lintang-pukang kembali menghilang ke semak-semak. Meninggalkan Muhtar yang terengah-engah dan sepasang Maleo yang menatapnya dengan sungkan. Mungkin tatapan terima kasih.

Muhtar yang kini duduk berselonjor penuh dengan pasir mesem-mesem. Terkenang kembali masa kecilnya yang membenci burung-burung di depannya tersebut. Mereka tidak lari. Mungkin karena insting liarnya yang memberi tahu bahwa Muhtar bukan ancaman. Lagipula burung-burung itu pasti ingin memeriksa kembali telur-telurnya. Justru Muhtar yang merasa bersalah. Bertindak macam pahlawan. "Burung-burung ini tidak tahu jikalau sesungguhnya; manusia jauh lebih berbahaya dibandingkan biawak-biawak tadi," batinnya getir.

Bandung, 10 Februari 2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)