Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,272
Pendidikan Negeri Sipili (Bag-2)
Slice of Life

PENDIDIKAN NEGERI SIPIL (BAG-2)

Catatan 1 Mei, Patah hati.

Hanya ada 15 anak yang menjadi murid kelas 6 di SD Bedes. Sebagian besar tinggal di Desa Bedes dan hanya 4 orang anak yang berasal dari dusun Pranten. Dusun itu terletak sekitar 5 km dari sekolah dan berbatasan langsung dengan desa-desa lain di sekitar Kecamatan Bawang. Tidak terasa kegiatan belajar mengajar sudah berlangsung beberapa waktu. Aku masih sering pulang-pergi ke Alun-alun Batang untuk menginap di rumah Sany jika akhir pekan. Rumah mes yang disediakan dinas setempat terlalu menyeramkan untuk kutinggali sendiri meskipun masih ada rumah warga di kiri dan kanannya. Aku juga sudah semakin hafal jalur keluar masuk areal hutan menuju kota.

Sany masih sering berkunjung ke sini. Dia ternyata baru akan berangkat 1 bulan lagi ke NTT. Dia bilang senang ikut mengajar di SD Bedes karena para siswanya sangat santun dan semangat ketika di dalam kelas. Ia mengaku baru pertama kali dalam hidupnya merasa menjadi orang yang sangat dibutuhkan. "Koe liat to pas aku setel video yutub iku loh wiss paling pol ekspresine bocah-bocah," serunya tertawa. Wajah sih karena teknologi adalah barang mahal di sini. Jangankan internet, listrik saja masih sering mati. Distribusi dan daya masih belum stabil sejak dulu kata Pak Imron. Entah sampai kapan.

Kekhawatiranku sebagai guru bukan hanya ada pada infrastruktur tentunya. Aku juga mengkhawatirkan kesiapan para murid kelas 6 ku yang akan menyongsong Ujian Nasional. Pak Imron memang berkali-kali meyakinkanku kalau aku sudah berusaha dengan baik. Toh tetap saja ada yang mengganjal di hati. Mungkin karena sudah semakin mengenal mereka. Secara akademis, mereka memang sudah cukup siap tapi beberapa tidak memiliki kemudahan untuk memperoleh hak-nya mendapatkan pendidikan. Kau mungkin tidak tahu tapi hidup di tempat seperti ini adalah tentang bertahan hidup.

Bulan lalu misalnya ketika tanah sudah memasuki musim tanam. Kelas mendadak sepi dalam beberapa hari. Rupanya mereka diminta orang tuanya yang notabene petani untuk membantu di sawah dan di ladang. Kebanyakan adalah petani penggarap yang mendapatkan bagi hasil dari panen kelak. Hanya sedikit petani guram yang membajak tanahnya sendiri. Itupun biasanya tidak lebih dari seperempat ha. Jika sudah begitu, biasanya aku dan sesekali Pak Imron yang akan datang berkunjung ke sawah dan ladang. Kami akan membawa buku-buku dan perbekalan serta mengajak mereka belajar barang sebentar ketika istirahat. Khusus kelas 6 hanya fokus pada pelajaran UN saja.

"Urip wiss susah Ndhuk, wiss sepuh yen ora bocah-bocah iki ndak ada yang nglanjengkeun urus ladang," ucap Mbok Katemi salah satu orang tua murid. Dulu ia juga pernah bersekolah katanya, tapi sudah lama sekali. Tepatnya ketika zaman orde lama. Malah Mbok Katemi bilang dia dan Pak Imron adalah teman sebaya sepermainan. Cuma nasib memang tidak lebih memihak Mbok Katemi. Tatkala Pak Imron bisa lulus sekolah sampai SMA, Mbok Katemi sudah harus menikah sejak lulus SD. "Untung aku iki wiss biso moco," kelakarnya sembari tertawa.

Namun tidak banyak yang bisa membaca dan menulis seperti Mbok Katemi. Kebanyakan buta huruf dan menyerahkan urusan hitung-hitungan atau selebaran pengumuman dusun kepada anak-anaknya yang sudah pandai membaca. Meskipun mereka sadar pendidikan penting tapi urusan perut juga tidak bisa diabaikan. Mbok Katemi dan banyak petani lain yang sudah berusia senja tidak mungkin menggarap hektaran lahan seorang diri. Salah atau terlambat saja menanam, panen bisa hanya menjadi angan.

"Assalamualaikum, Bu iki ada tutut dari Sibu," kata Tuti. Gadis kecil itu tersenyum membawa bakul berisi tutut yang diperolehnya langsung dari sawah. "Wah... banyak sekali ini. Matur suwun yah Tuti," ujarku berterima kasih. Hari itu kami berpesta tutut sepanjang istirahat siang. Hari itu adalah 2 minggu menjelang pelaksanaan UN. Aku dan Pak Imron (Sany datang sesekali karena persiapan menuju pemberangkatan ke NTT semakin dekat) semakin intens memberikan pelajaran IPA, Matematika dan Bahasa Indonesia kepada anak-anak kelas 6. Syukur alhamdulilah dalam 3 kali tes percobaan mereka selalu bisa lulus. Kendati demikian, hari itu juga menjadi hari paling getir dalam hidupku.

"Bu...," tiba-tiba Tuti menghampiriku. Kelas sudah selesai memang dan semua murid sudah pulang setidaknya itu yang kupikirkan ketika dia kembali memasuki kelas. Kulihat wajah Tuti sendu. Dia tidak memakai kerudung sebagaimana biasanya. Hari itu Tuti membiarkan rambutnya yang panjang digelung dengan ikat karet. Ragu-ragu tapi ia tetap bergeming di hadapanku. Kata-katanya seperti tercekat entah karena segan atau takut tapi bukan takut kurasa. Karena kami sudah begitu akrab satu sama lainnya. "Ada apa Ndhuk?" selidikku mulai terusik penasaran. "Tuti pamit Bu. Tuti badhe omah-omah. Sibu wiss titipanipun iki," tuturnya menyodorkan sebuah kartu; uleman pernikahan.

Suasana hatiku benar-benar bergolak saat itu. Jadi seperti ini rasanya gagal menjadi guru. Tak pernah terbayangkan dari sekian banyak alasan, kawin adalah cara kejam merampas hak bermain dan pendidikan mereka. Aku menangis sendirian di kelas. Tuti sudah pulang setengah jam lalu. Rasa pahit kehilangan murid ternyata sebegitu sakit. Mungkin beginilah naluri seorang ibu, walaupun aku belum kawin dan Tuti bukan anak kandungku. "Tapi ia muridku yang berharga Pak! Aku tidak sudi dia kawin sedangkan menstruasi saja belum!" pekikku kepada Pak Imron.

Amarahku meledak di rumah Pak Imron malam itu. Aku tahu bukan beliau yang salah tapi aku merasa penat, payah, dan tak kuasa menahan murka. Kertas undangan pernikahan sudah kusobek-sobek ketika berjalan dengan langkah cepat kemari tadi sore. Namun, Pak Imron sudah tahu dari raut wajahku ketika kumengucap salam. "Ora sing pertama murid neng kene dadi pengantin. Dua taun wingi juga ada yang menikah mergo wis ora duwe bapak biyung," ungkapnya menenangkan. Kata Pak Imron, kemiskinan dan kebodohan sering menjadi penyebab utama pernikahan dini.

Kutak peduli. Alasan apapun yang merenggut mimpi Tuti adalah kezaliman bagiku. Semua penjelasan Pak Imron malam itu terasa tidak masuk akal. Mungkin karena aku terlampau emosi dan sakit hati. Aku malah mendebat beliau dan bahkan menyalahkannya; kenapa membiarkan budaya ini tetap ada. Kuhujami dia dengan rentetan pertanyaan yang memojokkan. Sebagian nadanya mendelik dan pongah. Aku lupa diri. Hingga ujung-ujungnya kembali menangis sesenggukan. Budhe (istri Pak Imron) lalu memelukku. "Sabar kuwi pancen rekoso, mergo sabar iku ganjarane suwargo," ucapnya menguatkan.

Pagi hari setelah bangun dari tempat tidur yang kurasakan adalah penyesalan. Menyesal sekali aku telah menghardik Pak Imron. Tidak seharusnya aku melimpahkan kemarahan dan frustasiku kepada beliau satu-satunya guru yang mau bertahan di sekolah terpencil ini. Aku sudah berniat untuk kembali ke rumah beliau dan memintaa maaf ketika kudengar suara salam dari teras rumah. Kudapati Pak Imron, Budhe, dan Pak RT (Aku mengenalnya ketika melapor sebagai warga) tersenyum dan sudah berpakaian rapi. "Kito ke rumah Tuti. Ra gelem rapopo sing penting kito coba iso yakinkeun biyungne Tuti kanggo tunda tekan wiss ujian," ucap Pak Imron. Aku mengangguk dan langsung melesat berganti pakaian.

Perjalanan ke rumah Tuti ternyata jauh lebih lama dari perkiraanku. Hujan yang turun semalam menyebabkan jalanan menjadi licin dan berlumpur. Untuk sampai di rumahnya, kami harus melewati jalan setapak menembus hutan selama setengah jam, dilanjutkan dengan mendaki bukit-bukit kecil di sepanjang jalur masuk pendakian gunung, lalu memasuki areal perkebunan teh dan sayuran milik warga. Perjalanan lalu menurun melewati anak-anak sungai yang mungki berasal dari curug. Sekitar 1,5 jam kami akhirnya tiba di pelataran rumah Tuti. Tak terbayangkan perjuangan Tuti dan teman-temannya setiap hari hanya untuk bisa menimba ilmu.

Begitulah kami akhirnya diterima oleh Sang Ibu. Baiti namanya, usianya mungkin baru menginjak 50an, sepantaran dengan ibuku. Hari itu dia berada sendirian di rumahnya karena Tuti baru dibawa oleh kerabatnya dari kota kemarin. Ia mempersilakan kami memasuki rumah panggungnya. Kuperhatikan sekilas hanya ada 3 ruangan di rumah ini, satu ruangan tamu atau serba guna tempat kami berada, ruang kecil yang kukira kamar tidur, dan langsung dapur. Bu Baiti menyuguhkan singkong rebus dan menuangkan teh dari cereknya. Lantas bertanya maksud kedatangan kami yang sepertinya sudah ia duga.

*

Catatan 8 Mei, UN.

Pertemuan kami pada waktu itu tak membuahkan apapun. Tidak kepastian nasib UN Tuti, pernikahan, ataupun perasaan lega yang setidaknya kuharapkan datang. Perasaanku, Pak Imron dan mungkin Pak RT yang saat itu hadir malah lebih menjadi tidak pasti. Meskipun Bu Baiti mengutarakan alasannya menikahkan Tuti yang baru berumur 15 tahun dengan penuh kromo tetapi pesan yang disampaikannya tegas. Ia tidak akan membatalkan pernikahan Tuti. Segala bujukan dan alasan kami pun mentah dengan keteguhannya. "Kulo wong cilik sa panjenengan ngertos, Tuti wis mboten dhuwe bapak. Urip Tuti mesthi seneng yen omah-omah karo ustadz," pungkasnya saat itu dan kami hanya terdiam.

Pekan UN sudah tiba dan aku tidak pernah lagi mendapatkan kabar apapun tentang Tuti. Yang kutahu, hajatannya berlangsung pada hari Minggu kemarin di Semarang. Semua murid kelas 6 hadir. Mata ujian hari pertama adalah Bahasa Indonesia. Aku tidak khawatir karena mereka sudah belajar dengan sangat baik dan bersungguh-sungguh. Baru satu semester aku menjadi guru CPNS di sini dan lihatlah sekarang. Sebentar lagi aku meluluskan anak-anak baik dari SD Bedes sebagai didikkan pertamaku mengajar. Bangga sekali rasanya.

Hingga jam ujian selesai pada pukul 11. Tuti tidak datang. Kelas memang sudah selesai dan semua murid sudah pulang, tetapi aku masih berada di mejaku dan sesekali melihat ke arah pintu. Berharap Tuti tiba-tiba datang dan membuatku percaya keajaiban di film atau novel memang bisa terwujud di dunia nyata. Namun, tidak ada siapapun yang mengetuk pintu dan memberikan salam. Kututup kelas lalu membawa semua berkas ujian anak-anak untuk kuserahkan kepada Pak Imron. "Loh iki kurang siji lembaran soal UN nya Ndhuk?" tanya Pak Imron. "Sengaja Pak, saya ninggal siji di ruangan," jawabku seraya pamit.

Bandung, 1 Januari 2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)