Masukan nama pengguna
KERJA, KERJA, DIKERJAIN
Pekerjaan kantor hari ini cukup melelahkan. Sedari pagi tamu datang tidak berhenti. Mereka kebanyakan pelanggan yang komplain karena barang kirimannya masih juga belum sampai. Ada juga yang mengirimkan dokumen surat lamaran kerja seperti Pak Agus. "Mudah-mudahan yang kali ini sukses Mas Dudeng fuuuuh," do'anya sembari meniup amplop suratnya. Kasihan juga sih, sudah berumur lebih dari 40 tahun bekerja sebagai supir dan di-PHK karena korona. Pekerjaan apa yang mungkin didapatkannya? Begitu pikirku.
Seketika saya bersyukur sudah menjadi PNS. Gaji PNS golongan II sepertiku memang tidaklah bisa membuat kaya tapi setidaknya aku tak perlu khawatir dipecat semena-mena. Wong negara sudah menjamin kok. "Saya pamit yah mas, assalamualaikum," seru Pak Agus sambil melangkah keluar. "Wa'alaikum salam," balasku dengan agak terperanjat karena sesaat setelah Pak Agus keluar atasanku Bu Susan justru baru masuk. "Itu pot bunga di luar kok kering sih Deng tolong kamu nanti siram yah," suruhnya sambil berlalu. Mendadak saja rasa syukur tadi menguap entah kemana.
Sebagai frontliner alias garda terdepan Kantor POS cabang Ciawu tentunya saya dituntut siaga manakala ada pelanggan datang. Saya harus selalu tersedia alias availibil. Begitulah yang didengung-dengungkan Bu Susan setiap rapat. Namun kenyataannya justru dia sendiri yang membuat saya tidak bisa senantiasa tersedia alias availibil tadi. Ada-ada saja tugas sekonyong-konyong yang tak masuk SOP-ku. Seperti barusan, nyuruh siram tanaman? "Memangnya saya tukang kebun juga di kantor ini?" gerutuku dalam hati saja. Tidak berani.
Kantor POS Cabang Ciawu ini memang ramping cenderung kekurangan personil. Kantor POS Cabang Ciawu melayani sekitar 25 ribu warga di Kecamatan Ciawu; saya tidak terlalu mengerti itung-itungannya yang jelas bagian frontliner seperti saya hanya saya sendiri di sini. Dulu ada Bu Rodhiyah tapi sudah pension hampir setahun lalu. Hingga kini saya masih menunggu penggantinya yang konon sedang "Diusahakan". Usahanya sampai mana? Entahlah. Sini saya kasih tahu, tugas frontliner itu tidak gampang. Kami harus siaga tatkala pelanggan datang dengan berbagai macam kebutuhan mulai dari kirim surat/paket, pembayaran tagihan, sampai kadang-kadang nawarin barang produk juga. "Dudeng sini sebentar ya, ibu minta tolong!" Tiba-tiba suara panggilan Bu Susan terdengar kembali.
Sambil beringsut karena enggan saya berjalan ke ruangan Si Ibu. "Iya bu ada apa yah?" tanyaku memasang wajah tersenyum. "Udah disiram tadi? Ini tolong nanti siang antarkan barang yah ke daerah Cicurug. Penting ini soalnya untuk keperluan buka bersama saudara saya besok," pinta Bu Susan. "Waduh kalau penting kenapa gak sekalian dipaketin aja bu? Terus nanti yang stand by di depan siapa bu?" tanyaku agak menyamarkan nada tinggi yang mulai bergerombol di kerongkongan. "Ya makanya nganter-nya jangan lama-lama biar nunggu kalau ada pelanggan yah! Udah ah ibu banyak kerjaan nih mau jum miting," ketusnya sambil mengibaskan tangan isyarat untuk saya segera ingkah.
*
Sepanjang perjalanan pulang Ciawu-Cicurug, perasaan geram sekaligus putus asa terus menemani. Geram karena tingkah polah Si Ibu yang gak kenal aturan, seenak jidat memerintah orang. Putus asa karena yah, apalah daya hanya pekerja. Beruntungnya di antara keluh kesah kekesalan itu masih terselip rasa bersyukur, apalagi kalau ingat Pak Agus. Benar kata motivator-motivator di TV Si Gulden Woiss bahwa rasa syukur adalah salah satu senjata terampuh melawan ketidakberdayaan. Zuper syekali.
Saya baru tiba di kantor pos sekitar jam 2 dan melihat loket sudah ada 2 orang yang antre; selebihnya sekitar 5 orang berdiri di luar. Beberapa dari mereka nampak bermuka masam. "Pastilah ia menunggu terlampau lama," pikirku. Setengah berlari setelah mengunci motor, saya langsung bergegas ke balik konter. "Lama pisan ini saya nunggu dari setengah 12 kalau gak butuh duit mah udah balik lagi! Kemana sih?!" cerocos bapak yang antre paling depan. "Iya hampura Pak maaf," balasku kilat. Ya kurang lebih satu jam lima belas menitan semua antrean di loket diselesaikan. Plus bonus umpatan-umpatan halus khas tatar pasundan.
Baru saja saja hendak selonjoran kaki, tiba-tiba ponsel di kantong berdering. Kulihat Emak yang nelepon. "Assalamualaikum ada apa Mak?" tanyaku. "Wa'alikum salam Jang. Kapan pulang?" tanya suara di seberang sana. "Besok kan sudah puasa. Emak di sini cuma ditemenin Siti," katanya. "InsyaAlloh Mak Rabu Dudeng udah pulang," jawabku tegas. Iyalah. Soalnya saya sudah mengajukan permohonan cuti sejak 2 bulan lalu dan sudah acc pula. "Alhamdulilah iya jangan lupa oleh-olehna," seru Emak terkekeh. "InsyaAlloh Mak doakan lancar perjalanan nanti," jawabku nyengir. Terbayang sudah asyiknya perjalanan Bandung-Garut Selatan. Meskipun hanya berjarak kurang lebih 5 jam, tetapi pulang pada momen-momen jelang Ramadan selalu berkesan. Namun indah penantian itu berubah seketika menjadi rasa was-was sehari sebelum saya balik.
"Maaf tidak bisa ya Deng soalnya kalau kamu mudik terus siapa yang jaga loket?" lantang suara Bu Susan membuatku bengong tidak percaya. Hari ini adalah hari terakhir sebelum besok Rabu harusnya aku OTW pulang kampung. Hari ini juga tiba-tiba Bu Susan memanggilku ke ruangannya untuk membatalkan rencana cuti saya; H-1. "Apalagi nih yah Deng, Hari Kamis-Jumat itu kan ada tamu dari pusat. Saya pasti sibuklah!" tambahnya sambil membolak-balik dokumen di mejanya. Ada hening nan kaku sesaat. Sengaja biar tambah dramatis karena saya sudah punya jawabannya. "Mohon ijin bu tapi saya sudah koordinasi dengan Bu Sanny dan beliau bersedia gantiin saya 3 hari itu bu," tegasku. Si Ibu Susan cuma bengong dan saya langsung pamit pelan-pelan.
Jadi, beberapa hari sebelum mengajukan cuti saya sudah menyiapkan pelbagai strategi. Strategi untuk mengamankan tanda tangan persetujuan cuti dari Si Ibu. Salah satunya menyiapkan pengganti saya ketika cuti. Kebetulan sekali ada Bu Sanny. Bu Sanny dulu juga frontliner yang kebetulan sekarang bertugas di administrasi data kiriman. Dia paham betul bagaimana menjalankan fungsi frontliner terlebih, bagian administrasi juga sedang ada 3 siswa magang sehingga kerjaannya tidak terlalu padat. "Okelah Deng dengan syarat oleh-oleh khas Garut yak," celotehnya. Saya sih senang aja. "Nanti saya bawain sekardus!" janjiku bersemangat.
*
Wuuuuuissh... wuuuuuissh... wuuuuuissh... suara deburan ombak terdengar dari sela-sela helm yang saya pakai. Ah... indahnya pulang kampung. Sesekali saya menatap hamparan laut tak bertepi nun jauh di ujung pelupuk mata. Kalau kalian pernah wisata atau lewat di Jalur Selatan pasti hafal betul dengan keindahan pantainya di sepanjang jalur. "Ini yang aku tunggu-tunggu," seruku dalam hati. Boleh dibilang ini adalah kemenanganku yang gemilang. Gila aja. Sudah 2 tahun terakhir tidak bisa pulang brow! Hampir aja sore itu saya gak bisa pulang. Bu Susan tetap berkeras saya gak boleh cuti walaupun dia sendiri yg sudah acc. Hitung-hitungannya kalau saya masuk maka tetap tidak bisa pulang kampung, tidak dapat uang makan serta cuti yang hangus.
Beruntung sekali entah seakan do'a dari Emak yang ingin anaknya lekas pulang. Plus, Tuhan tahu saya selama ini kerja tapi lebih banyak dikerjain. Hanya saja saya tidak mau mikirin kantor dulu brow. Mumpung momen pulang kampung ini terwujud, biarlah saya nikmati deru debur ombak, semilir angin pantai, dan kesegaran oksigen Garut Selatan. Kenikmatan tiada tara ini berbanding terbalik dengan apa yang tengah terjadi di kantor. Saya tahu belakangan dari Bu Sanny sepulang dari kampung.
Di kantor, hari dimana saya OTW pulkam; datang rombongan dari Jakarta. Kantor POS Pemeriksa ternyata melakukan resktrukturisasi organisasi di kantor POS Cabang Luar Kota Ciawu. Mereka menilai kinerja kantor pos Ciawu sudah menurun sejak 3 tahun terakhir. Terbukti dari jumlah transaksi pengiriman yang kian menurun plus layanan kerja sama yang mandeg. Evaluasinya adalah menempatkan Pelaksana Tugas (Plt.) melengserkan Bu Susan yang ditempatkan sebagai sekretaris. Menariknya, konon Si Plt. Kepala cabang baru ini juga setipe dengan Bu Susan. Hobi lempar kerjaan.
"Bu Susan tolong yah nanti parsel untuk rekanan kerja sama bisa dikirimkan sore ini," lirih suara Bu Syarifah Plt. Kepala Kantor Cabang terdengar ketika saya lewat di depan ruangannya. Rupanya ybs sedang menelepon Bu Susan yang dia tugaskan menggantikannya rapat di kantor pusat. Saya sih cuma senyum-senyum sendiri. Terbayang gimana repotnya Si Bu Susan yang mesti ikut rapat tapi juga ditugasin setor parsel. "Ah... ternyata roda memang berputar," batinku nyengir. "Eh Dudeng kebetulan banget tolong bisa siramin pot tanaman ibu di ruangan yah!" pekik Bu Syarifah sekonyong-konyong.