Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,228
Menunggu Petang
Slice of Life

MENUNGGU PETANG

Suasana kantin kantor Balai Penelitian Teknik itu nampak lengang. Lebih lengang daripada biasanya, padahal waktu sudah tengah hari dan pastilah banyak perut-perut kosong pegawai yang perlu diisi. Hanya seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai beruban di sana-sini duduk termenung sembari sesekali menyesap kopinya. Pria itu bernama Engko. Bergantian ia menyeruput kopi lalu menghisap rokok kreteknya. Dihembuskannya asap rokok itu jauh sambil menerawang suasana batinnya sendiri yang tengah masygul.

"Woi... nyebat mulu. Inget umur Ngko," cerocos Bi Ahun. Engko hanya tersenyum masam dan lalu sibuk kembali melamun. Ia tahu persis Bi Ahun Si Penjaga kantin kantor ini paham alasannya termangu. Cuma memang perangai Bi Ahun yang ceria dan nerimo sehingga perkara ruwet urusan birokrasi ini tidak sampai menjadikannya gundah. Setidaknya tidak nampak dari romannya. "Bi kalau kantin jadi ditutup gimana?" tanya Engko. Yang ditanya malah terkekeh lalu balik ke dapurnya.

Engko lalu kembali menyesap kopinya. Nikmat. Di tengah hari yang pengap dan gerah ini tiba-tiba gerimis turun. Aneh. Cuaca panas tetapi hujan pikirnya. Namun, memang ini zaman yang aneh. Peraturan-peraturan hidup aneh. Hingga kantin tempat ia ngopi ini juga berbentuk aneh. Satu-satunya kantin yang kalau malam berubah menjadi arena badminton, padahal lokasinya sendiri berada di atas lapangan futsal. Ah entahlah. Engko merasa penat dan suntuk memikirkan semuanya, apalagi bukan dia yang membuat peraturan-peraturan aneh.

Namun, kalau dipikir-pikir keberadaannya di balai ini juga aneh. Engko tidak pernah melupakan keberuntungan anehnya puluhan tahun silam. Kala itu ia bersaing dengan banyak pelamar dari banyak daerah di Indonesia untuk bisa diterima sebagai honorer. Formasi yang ditawarkan saat itu adalah pramubakti alias office boy. Tentulah ia sempat ngobrol dengan sebagian saingannya yang ternyata beberapa memiliki ijazah S1 dan D3. Engko yang saat itu hanya berbekal ijazah SMK justru lolos dan diterima menjadi pramubakti di tempat ini.

"Bukan aneh itu Ngko, itu mujur namanya," seru suara hatinya. Engko geleng-geleng kepala. Ia mendadak kembali teringat kepada penyebab kemalangan hatinya hari ini. Sebuah peraturan baru, peraturan dari pusat yang melarang tenaga honorer dipekerjakan secara langsung oleh negara melainkan melalui mekanisme tenaga alih daya alias outsourcing. Jika dirinya beruntung sempat diangkat menjadi PNS setelah 20 tahun mengabdi, maka banyak sekali karib sepekerjaannya yang harus menelan bulat-bulat kebijaksanaan pusat berdalih peningkatan kompetensi dan kesejahteraan itu.

Ada Bah Iwan pramubakti yang lebih senior darinya terpaksa menganggur karena tidak memenuhi batas syarat usia. Sekarang ia hidup menggandalkan warung kecil-kecilan istrinya untuk makan sehari-hari setidaknya sampai tabungannya habis. Ada juga Asep, juru mudi honorer yang tidak diperpanjang karena hanya bermodalkan ijazah SMP padahal keahlian dan pengalamannya menjadi supir sudah khatam sejak bangku SD. Dari grup WA kantor, Engko tahu Si Asep sudah beralih jadi mitra GoJek. Paling dekat dengannya Bernama Mardi. Satu Angkatan dengannya tetapi tidak jua diangkat sebagai PNS.

Baru saja ia memikirkan sohibnya itu, batang hidung Mardi terlihat dari jauh. Ia nampak baru keluar dari gedung baru yang masih anyar rampung. Tangannya menenteng ringan dua kantong besar sampah. Meskipun demikian Engko tahu Si Mardi pasti berat memikirkan nasibnya ke depan. Pesimisme itu menyeruak dari gelagatnya yang terus menunduk dan langkah-langkah kakinya yang menyeret. "Di! Mardi! Sini kemari!," lambai Engko setengah berteriak. Yang dipanggil, mengangguk cepat dan lekas menyusul Engko ke kantin.

"Buang sampah di lantai 2 Di?" tanya Engko sembari menyodorkan gelas kosong. "Iya saya gak ngerti dengan kemauan PT Outsource. Mereka kira gedung-gedung anyar itu bisa bebenah sendiri opo! Kan kita-kita juga yang beresin tapi kontrak malah diputus padahal kan kita masih kuat kerja ya toh Ngko?" ocehnya tersengal-sengal. "Dah minum dulu lah," ujar Ngko menenangkan. Mardi menurut. Disimpannya 2 gembolan kantong sampah di samping meja makan lalu duduk menghadap karibnya.

Seumpama hujan singkat yang terjadi kala cuaca panas, barangkali itu pula yang Mardi rasakan setelah meneguk habis air minum yang Engko sodorkan. Kerongkongannya basah sesaat tapi sekamnya masih padam menyala. Wajah Mardi mengeras tapi sejurus kemudian rautnya berubah sedih. "Aku ingat istri dan kedua anakku Ngko," lirihnya. Engko tidak bereaksi. Pasti pelik kalau urusan anak-istri jadi aduan apalagi ini urusan perut. "Kalau dipecat umur segini cari kerja dimana lagi coba." Lama senyap menghampiri sampai denting gelas beradu yang dibawa oleh Bi Ahun mendekat.

"Woi tumben kagak pada ngebul nih?" seloroh Bi Ahun. Engko hanya tersenyum kecut tapi Mardi makin masam. Bi Ahun duduk mengambil kursi di samping Engko. Baskom berisi gelas cuciannya ditaruh di bawah hanya beberapa centi dari bungkusan sampah. Disulutnya sebatang rokok yang tersimpan dari balik celemek. Fuhh... hembusannya panjang dan lambat seolah perlahan turut melepaskan beban yang tidak nampak menghinggapi. "Tadi pagi gue denger omongan Pak Aldi. Konon katanya honorer masih diperpanjang setahun lagi," cetusnya.

Mardi dan Engko kali ini bereaksi. Keduanya mengangkat kepala dan mendekatkan kursi masing-masing tidak percaya. "Jangan gitulah Bi, yang bener ini urusan dapur ini," kata Mardi sangsi. "Sumpah mati biar mampus orang laen," balas Bi Ahun. Kali ini sambil menuangkan air. "Mereka bilang demo yang ke DPR kemarin bikin gaduh sehingga kantor harus perlu itu poling don dulu," Poling don? pastilah maksud Bi Ahun Cooling down piker Engko. "Lah terus kalau sudah tidak gaduh apa kami tetap dipecat," ketus Mardi. Tidak ada yang menjawab.

Begitulah siang hingga menjelang sore obrolan mereka terus berlanjut. Aktivitas balai penelitian yang dilanda prahara membuat kehidupan riset di tempat itu tidak banyak berdenyut. Hanya sesekali para pegawai laboratorium datang memerika kondisi alatnya. Begitu pula Mardi dan Engko. Ruangan yang sepi tak membawa dan menghasilkan sampahnya sendiri. Cuma sesekali dirinya beringsut memeriksa bak-bak sampah di beberapa sudut lalu kembali lagi berkumpul di meja yang sama. Bi Ahun yang paling sibuk karena terkadang mesti melayani pegawai yang hendak membayar.

"Apalagi memang ini jelang tahun politik Di, pastilah Penguasa tidak mau kehilangan wibawa terus hilang suara," tutur Engko sambil menyeruput lagi gelas kopi kesekian. "Sebenernya gue juga dapat info dari Pak Kirman bagian TU hasil rapat evaluasi katanya honorer belum tentu dihapuskan tahun ini karena anggarannya masih ada," imbuh Engko. "Seandainya gue dulu ikutan elu sekolah D3 ya Ngko. Mungkin gue juga nasibnya bisa sebaguslu. Diangkat PNS," mendapatkan balasan begitu Engko terhenyak tidak siap.

Area parkiran yang terletak di samping kantin sudah kosong, hanya ada motor milik satpam yang mendapat jatah shift malam. Tembang pupujian sudah mengangkasa lalu mengisi sebagian relung-relung hati pengabdi-Nya. Tidak berapa lama kemudian, adzan Maghrib berkumandang dari mushala kantor. Suara adzan itu terasa begitu syahdu bagi hati yang kesusahan seperti Mardi. Mungkin ini waktunya ia menumpahkan ratapannya kepada Yang Punya Rezeki, pikirnya.

"Dah maghrib sono pada solat lu. Duit aja mao solat jarang," seloroh Bi Ahun. "Hayuk Ngko. Siapa tahu memang ini nasib karena gue jauh ama Tuhan. Gue mau solat ah. Gue yakin kalau Tuhan gak tidur," ucap Mardi berdiri. Wajah dan badannya gelap karena membelakangi cahaya bohlam, tapi Engko bisa melihat sekelebat senyum dari wajah Mardi. Senyum ikhlas. Engko merasa sedikit banyak obrolan dan diskusi hari ini bisa mengangkat sedikit beban mental Mardi.

"Hayuk, gue ambil wudu duluan yah," Mardi pun pergi meninggalkan kantin. Engko hanya mengangguk. Dilihatnya Sang Sohib setengah berlari menuju area abdas. Mungkin karena tak ingin ketinggalan saf paling depan, kira Engko. Dia sendiri sudah berdiri hendak menyusul kawannya ketika sebuah notifikasi WA mengalihkan perhatiannya. Dibacanya judul pesan tersebut: Daftar Pegawai Honorer Yang Tidak Diperpanjang. Namun Engko enggan melanjutkan, ia memasukkan ponselnya ke kantong dan bergegas menyusul ke tempat abdas.

Bandung, 25 Januari 2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)