Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,870
Galau Mutasi Sang Peneliti
Slice of Life

GALAU MUTASI SANG PENELITI


Hari-hari belakangan terasa semu dan panjang bagi Si Dudeng. Ia yang biasanya gesit mondar-mandir laboratorium dengan menjinjing sampel-sampel penelitian, kini hanya sering tercenungdi depan monitor laptopnya. Menatap kosong dokumen pdf berisi pemberitahuan bahwa para peneliti di kantornya harus segera mempersiapkan mutasi. "Anjinglah!" umpatnya lirih. Ia mengusap wajahnya; frustasi. Lalu berkali-kali menggosok tengkuk dan kening, menandakan dirinya sedang benar-benar bingung. Mungkin lebih tepatnya takut. Takut dimutasi.

Dudeng melonjorkan kakinya, menatap langit-langit, dan menghela nafas panjang. Dirinya mengingat-ingat lagi bagaimana "Bencana" ini bisa terjadi. "Ah... iya Si Rudi Runtah!" gumamnya. Rudi Runtah adalah kepala baru di kantor mereka. Awalnya Rudi Runtah bekerja sebagai peneliti di lembaga riset asing di Jakarta. Namun, mendadak tertarik untuk bergabung ke kantor tempat Dudeng bekerja. Dengan bekal kompetensi dan pengalaman riset internasional, tidak sulit bagi Rudi Runtah diterima via jalur khusus.

Pikiran Si Dudeng melayang ke 7 tahun lalu. Tiga tahun lalu atmosfer meneliti di kantornya sangat nyaman. Sampai-sampai dirinya seringkali pulang larut karena keasyikan meneliti dan bahkan tidak jarang menginap di kantor. Tujuh tahun lalu anggaran riset di kantor sangat besar. Cukup besar untuk ia potong dan pakai guna "Menunjang" keperluan selain riset seperti karaoke, bangun rumah, atau modifikasi mobil baru. Jangan salah! Peneliti juga insan biasa memiliki naluri yang sama.

Si Rudi Runtah baru masuk 7 tahun lalu. Kompetensi riset dan spesifikasi keilmuannya sama dengan Si Dudeng. Sama-sama bergelut di bidang konversi energi. Konversi energi ini terbilang sebagai tema penelitian yang cukup seksi. Bagaimana tidak! Pemerintah 'kan sedang gencar menggelorakan pemanfaatan energi-energi baru terbarukan sehingga tidak ragu menggelontorkan dana hingga ratusan milyar supaya bisa memanen energi dari surya, angin, atau air. Itulah kenapa Si Dudeng senantiasa bersemangat meriset. Dia tahu bahwa risetnya dibutuhkan; begitu pula uangnya sudah disediakan.

"Selamat pagi nama saya Rudi Runtah. Fokus riset saya di bidang konversi energi air dan limbah," salam Rudi ketika memperkenalkan dirinya 7 tahun lalu. Si Dudeng tidak acuh, dia hanya tersenyum dan isi pikirannya masih berkutat dengan penyerapan dana penelitian akhir tahun. Bagi Si Dudeng tidak penting dari mana atau apa bidang keahlian calon anggota baru tim risetnya; yang terpenting adalah harus bisa "berkolaborasi". "Selamat datang Pak Rudi, semoga perhari ini kita bisa menjadi rekan peneliti yang solid," begitu sahutnya. Si Rudi Runtah hanya menyeringai sembari sedikit menunduk.

Hanya butuh 2 tahun saja bagi Si Rudi Runtah untuk menonjolkan kehadirannya di kantor. Dalam tempo tersebut, pencapaian Si Rudi sebagai peneliti sangat mengagumkan dan kalau boleh dibilang mengkhawatirkan bagi para peneliti lama. Mengagumkan karena cukup dalam 2 tahun Si Rudi Runtah sudah bisa menghasilkan puluhan paper internasional berkualitas yang mendongkrak reputasi kantor di kancah penelitian tingkat internasional. Dia juga sukses mengembangkan 3 prototipe alat konversi energi dengan hak paten yang sudah diminati kalangan industri. Prestasinya ini membuat para pimpinan kantor ikut bangga dan memandang Si Rudi Runtah sangat berpotensi sebagai talenta unggul.

Hal sebaliknya justru terjadi pada tim riset konversi energi pimpinan Si Dudeng. Kegemilangan Si Rudi Runtah di satu sisi ikut menaikan pamor tim risetnya, tetapi di sisi lain justru menghancurkan ekuilibrum yang selama ini sudah terjaga. Tidak ada sejarahnya dalam 17 tahun pendirian tim riset konversi energi ada satu individu lebih berharga dari individu lain. Yang tim riset ini butuhkan adalah personal yang "Kolaboratif" bukan talenta jenius macam Si Rudi Runtah yang justru biang perpecahan.

Ketika menulis paper misalnya, walaupun penulis intinya hanya satu atau dua, tetapi seluruh anggota tim riset wajib pula tertera sebagai penulis. Walaupun sebuah prototipe diciptakan oleh 2 atau 3 anggota tim, tetapi seluruh anggota tim riset wajib pula tertera. Memang tidak ada peraturan tertulisnya, tetapi sudah menjadi "Budaya" di sini. "Maaf Pak Ketua saya tidak bisa karena selain menyalahi kode etik. Hal itu juga bukan kebiasaan saya selama ini," tolak Si Rudi Rentah dahulu sekali ketika Si Dudeng ingin ia menambahkan nama anggota lain di paper yang sedang disusun.

Watak keras kepala Si Rudi Runtah makin menjadi tatkala Pimpinan Kantor memutuskan mengangkatnya sebagai manajer riset. Manajer riset adalah orang yang mengatur para koordinator tim riset. Dengan kata lain, Si Rudi Runtah adalah bos Si Dudeng. Tidak butuh waktu lama, kurang dari satu semester sejak menjabat sebagai manajer riset. Si Rudi Runtah sudah memutarbalikkan aturan-aturan tradisional di kantor. Perubahan yang radikal ini nyatanya tidak hanya membuat Si Dudeng saja yang geram, tetapi juga koordinator-koordinator tim riset lainnya.

Demonstrasi pun pecah. Kantor penelitian negara yang biasanya terlihat obsolet nan ortodoks tiba-tiba penuh dengan warna-warni kepulan asap suar. Suasana kantor yang biasanya tenteram kini berubah bising dengan letupan-letupan orasi dari meja seberang. Para awak media memenuhi setiap sudut aula besar yang menjadi tempat agregasi. Salah satu yang keras mengutuk kepemimpinan Si Rudi Runtah tiada lain Si Dudeng. Dia berdiri gagah di atas podium dengan mengepal tangan dan meneriakkan seruan-seruan transformasi. "Turunkan Si Runtah! Turunkan pemecah belah kita!" pekiknya.

Kegaduhan kantor riset Si Dudeng rupanya sampai ke telinga para wakil rakyat dan presiden. Kurang dari 2 minggu sejak demonstrasi di kantor, para peneliti diundang untuk mengemukakan keberatan mereka terhadap kinerja kepemimpinan Si Rudi Runtah. "Dia sumber malapetaka bagi kemajuan penelitian kita Wahai Anggota Dewan Yang Terhormat," seru Si Dudeng. "Kalau begitu tolong Anda jelaskan apa yang menyebabkan itu terjadi?" pinta salah seorang wakil rakyat. "Ah... banyak sekali Yang Mulia Anggota Dewan. Kami sudah siapkan laporannya," jawab Si Dudeng sembari menyodorkan satu bundel kertas berjudul Laporan Kegagalan Penelitian. "Intinya kami ingin Dia diberhentikan sebagai manajer kantor!" tegasnya.

"Bisa Anda jelaskan maksud dari 'kegagalan efisiensi riset'?" tanya salah seorang anggota. "Ya Yang Mulia Anggota Dewan, sejak Si Rudi Runtah datang. Semua anggaran penelitian yang seharusnya kami terima justru dipotong. Kami tidak lagi bisa sewa alat, sewa asisten, sampai rapat di luar kantor pun menjadi sulit," terangSi Dudeng. "Di laporan ini Anda singgung bahwa peneliti selama ini menggunakan vendor untuk riset di lapangan? Apakah itu betul?" selidik salah satu anggota Dewan. "Betul Yang Mulia karena kan terkadang penelitian di lapangan menghabiskan waktu, kotor, dan..." suara Si Dudeng tercekat. "Oh... jadi selama ini dana riset dipakai pula untuk outsource," cetus salah seorang Anggota Dewan. Belum sempatnya Si Dudeng menyahut – seluruh ruang pertemuan riuh rendah menanggapi perkataan anggota dewan.

Pertemuan hari itu dengan para anggota dewan tidak memuaskan keputusasaan para periset barisan sakit hati. Tidak juga secuilpun memberikan menuntaskan substansi permasalahan yang mereka usung yaitu keberadaan Si Rudi Runtah sendiri. Justru selepas pertemuan itu, hanya 3 bulan kemudian Si Rudi Runtah diangkat menjadi kepala kantor riset. Dilantik langsung oleh petinggi negara dan dibebani tugas mengerek kemajuan riset di negeri ini. Si Dudeng dan kawan-kawan seperjuangan hanya bisa geleng-geleng 'tak percaya.

Promosi Si Rudi Runtah jelas merupakan sebuah bentuk kekalahan mereka yang kontra dengan Si Rudi Runtah. Si Dudeng dan kolega-koleganya tentu tidak langsung menyerah. Diteleponlah banyak orang-orang penting di negeri ini, ada pebisnis, politikus, hingga pembisik-pembisik negara yang semua tujuannya satu. Memveto pengangkatan Si Rudi Runtah sebagai kepala kantor. Namun, semua usahanya sia-sia. "Percuma... Si Rudi Runtah itu bekingannya penguasa dan pengusaha dari negeri seberang. Pemodal para politikus-politikus kita," ucap salah satu koleganya.

Hari ini adalah 17 Agustus 2045, tepat hari ulang tahun negara. Harusnya ia bersuka cita. Biasanya ia dan kolega-kolega tim risetnya bersuka cita. Merayakan kemerdekaan bangsa sekaligus sedang meninjau proyek penelitian di hulu Sungai Kapuas. Namun, apa daya. Seperti sudah diceritakan di awal bahwa seluruh proyek riset yang dianggap tidak relevan dan tidak berfaedah langsung distop. Tidak terkecuali program riset ini. Si Dudeng bahkan sudah menandatangani kontrak kerja sama riset dengan pemda setempat dimana ia berperan sebagai peneliti, narasumber, tenaga ahli, dan lain sebagainya. Pos-pos pengeluaran yang sudah dirancang sedemikian rupa pupus 'tak berbekas. Begitu juga semangatnya sebagai peneliti yang menguap entah kemana.

Satu-satunya yang tersisa hanyalah sepucuk surat elektronik di dasbor surelnya. Isinya kurang lebih seperti ini: "Sesuai dengan efisiensi anggaran riset maka peralatan laboratorium akan dipindahkan, maka tim riset yang ingin mempertahankan tugasnya sebagai peneliti bisa turut serta mutasi sesuai dengan area penempatan laboratorium. Jika tidak berkenan maka peneliti bersangkutan dapat melepaskan jabatannya dan berganti dengan jabatan lain." Si Dudeng tercenung sekali lagi. Ingatannya terbang ke 30 tahunan lalu ketika ia baru diangkat sebagai CPNS. "Kenapa dulu kutandatangi kesediaan ditempatkan dimana saja itu. Anjinglah!" lirihnya pasrah.

Bandung, 8 Desember 2022


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)