Cerpen
Disukai
2
Dilihat
6,711
Mandi Lumpur
Slice of Life

MANDI LUMPUR


"Gimana sudah nampak menurutmu Lae?" tembak Bang Asron kepadaku. Aku tidak menjawab. Mataku masih mencari-cari pasal yang tepat untuk dakwaan kasus yang sedang viral ini. "Au* lihat di beberapa peraturan memang sulit ini dipidanakan Bang," jawabku. Bang Asron mengeryit. Ia mendekati mejaku dan ikut melihat KUHP yang terpampang di layar monitor. Selama beberapa menit dirinya menunjuk-nunjuk bagian layar ke paraghraf demi paraghraf. Sama denganku, ikut mencari-cari.

Ada mungkin dua jam lebih akhirnya kami berdua menyerah. Bang Asron keluar, katanya ia ingin membeli nasi padang. Aku sendiri masih termangu di depan layar monitor. Seorang pramubakti lalu masuk dan mengisi gelas kopiku yang sudah habis dari tadi. "Kerja keras tanpa batas," ledeknya menyebalkan. Bang Lindung bukan sembarang pramubakti. Dia juga lulusan fakultas hukum yang karena keadaan akhirnya jadi honorer di kantor ini. Aku sendiri selalu senang berdialog masalah hukum dengannya. Cuma seragam dan atribut saja yang membedakan. Aku PNS dan dia honorer tapi kalau urusan pemahaman hukum, Bang Lindung boleh diadu.

Seperti kasus viral yang saat ini ramai di kantorku. Kasus ngemis mandi lumpur. Begitulah narasi dari pelbagai media yang memberitakan. Isinya tentang seorang nenek atau terkadang kakek yang rela melakukan perbuatan nyeleneh demi mendapatkan gift yang bisa ditukarkan dengan uang. Nenek atau terkadang kakek dengan senang hati mengguyur dirinya di tengah deraian hujan demi like dari penonton. Ada pula pertunjukan menggunting rambut sendiri hingga plontos asal dihadiahi gift. Tentu paling ngetren adalah mandi lumpur hingga berendam di dalamnya.

Tren ngemis online ini merebak bagaikan cendawan di musim hujan. Mulanya dari satu desa miskin di Batang Toru, lalu menyebar ke berbagai kecamatan dan ramai hingga Sipirok, ibu kota Tapanuli Tenggara. Viralnya bahkan menjadi tayangan acara-acara gosip di ibu kota. Pesertanya tidak lagi hanya orang-orang uzur tetapi juga pemuda-pemudi usia belasan. Yang pria nekad memamerkan ketangkasan dan kekuatan fisik macam berlari tidak henti, kayang, sampai rela ditampar berkali-kali demi like dan gift. Yang perempuan bersolek kian menantang hingga belahan menjadi santapan mata-mata liar. Semua demi like dan gift.

Aku menyilakan Bang Lindung untuk rehat sejenak dengan menyodorkan kursi dan kacang. Suara lantunan pujian sudah mulai menggema dari masjid kantor, menandakan matahari sudah mulai turun. Aku baru tersadar suara lalu-lalang dan kesibukan Kejari Tapanuli Tenggara sudah menghilang. Hanya -suara deru ac yang membuyarkan kelengangngan. Hari itu dan beberapa hari sebelumnya aku dan Bang Asron lembur demi menyiapkan surat dakwaan untuk kasus viral ini.

"Seandainya di ruangan ini bebas ngerokok asyik kali yah," kelakar Bang Lindung sembari menyuapkan kacang. "Ya tak bisalah Bang. Kan ini ruangan ber-AC nanti protes orang-orang," kataku sambil berdiri melakukan peregangan. "Itulah masalahnya lae," sambung Bang Lindung. "Masalah apa?" "Ya masalah karena kita semua tahu bahwa semua orang di bagian Pidana Umum itu perokok dan paling sering lembur. Tetapi, kebijakan kantor yang melarang aktivitas ngebul jadi malah mengurangi efisiensi kerja kalian," cerocosnya.

"Coba kalau kalian saja di bagian ini dibolehkan merokok di ruangan. Pastilah kerja jadi lebih fokus. Tidak perlu sebentar-sebentar macam Bang Asron keluar untuk ngebul," ujarnya terkekeh. Meskipun aku cuma tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala, tetap saja sebagian diriku setuju dengan perkataan Bang Lindung. Ruangan kami berada di lantai 3 bagian terdepan gedung dan berisi 5 orang staf termasuk Bang Asron sebagai atasan. Kami semua juga perokok aktif sehingga repot saja kalau harus berjalan hingga ke lantai dasar demi merokok. "Ya tapi kan ini demi rasa keadilan bagi semua pegawai termasuk yang gak merokok Bang," tambahku.

"Keadilan tanpa kebijaksanaan adalah mustahil," timpal Bang Lindung sembari mencerup ujung rokok yang tak menyala. "Sulit terkadang kita harus benar-benar menelanjangi semua alasan orang-orang itu melakukan apa yang banyak orang bilang ngemis," sambungnya. Aku sedikit terhenyak mendapati pernyataan Bang Lindung tapi tetap memperhatikan. "Dari awal menurutku sulit menemukan unsur pidana di urusan ini lae. Tidak ada paksaan. Mereka malah dengan senang hati live demi dapat duit gampang. Coba kalau kau di posisi mereka. Pilih mencakul dari pagi ke sore cuma dapat upah puluhan ribu atau mandi lumpur beberapa jam dapat ratusan bahkan jutaan?" Aku tidak bisa menjawab. Lagi-lagi sebagian diriku setuju dengan argumennya. Sore itu kekagumanku terhadap sosok Bang Lindung lagi bertambah.

*

Dua hari telah berlalu, aku lalu ditugaskan Bang Asron pergi menuju tempat kejadian perkara. Untungnya, Bang Lindung yang juga sedang lowong bersedia kuajak menemani sebagai teman ngobrol. Butuh sekitar 2 jam melewati jalanan nasional untuk sampai di lokasi. Sepanjang itu kami saling bercerita banyak hal. Aku pun baru tahu kalau ternyata Bang Lindung sendiri berasal dari Batang Toru, daerah yang kami sedang tuju.

Mendekati tujuan, mobil kami melaju dengan kecepatan sedang diantara bukit-bukit terjal batu kapur. Daerah ini memang memiliki karakteristik pegunungan rendah dengan banyak hutan kapur dan berlumut. Sekitar setengah jam setelah melewati areal PLTA Batang Toru, kampung yang kami tuju sudah nampak. Deretan rumah-rumah panggung dan bangunan semi permanen banyak kami jumpai sepanjang jalan. Hingga sebuah belokan yang tidak bernama mobil kami lalu berhenti sepenuhnya.

Belokan ini berada tepat sebelum memasuki areal perkebunan milik PTPN. Aku dan Bang Lindung turun. Supir kami katanya mengantuk dan lebih memilih tidur di jok. Hujan yang turun beberapa hari terakhir menyisakan hawa dingin yang memberatkan bagi siapapun untuk beraktivitas di luar tetapi tidak bagi petani di kampung ini. Sering kami berpapasan dengan mereka yang hendak ke ladang atau sawah. Sesekali mereka yang penasaran bertanya maksud kedatangan kami walaupun kebanyakan hanya melempar salam dan senyum.

Rumah yang kami parani milik seorang janda bernama Fatimah. Usianya menurut KTP adalah 65 tahun dan hidup bersama anak perempuannya yang baru lulus SMP. Dalam surat dakwaan yang tengah kususun bersama Bang Asron, kami hendak mendakwanya dengan pasal 504-505 tentang ketertiban umum. Sungguh perilaku Fatimah dan anaknya yang meminta-minta di jagat online tidak patut. Tidah hanya mempermalukan daerah Tapanuli Tenggara tetapi juga Bangsa Indonesia. Begitulah tikan yang kususun.

Lalu kujumpailah rumah itu. Sebuah bangunan semi permanen berdinding setengah tembok dengan kayu dan bata tanpa plester. Atapnya terbuat dari seng yang sudah berubah warna karena karatan. Pekarangan rumah dipenuhi pelbagai barang rongsokan yang sebagian menjadi sarang nyamuk dan kecoa. Sepasang mata menangkap kehadiran kami tanpa terganggu. Ia malah terus sibuk bergoyang ria di depan ponselnya.

"Anggi* apa betul doi* ini rumah Bu Fatimah?" cakapku. "Betul Au anaknya, abang siapa ya?" "Hita* dari Sipirok dari Kejari mau tanya-tanya ke Umak* ada?" balasku. Anak perempuan itu lalu mengangguk dan segera menghilang di balik pintu. Aku bersitatap dengan Bang Lindung yang menggerlipkan mata menunjukan kode untuk memandangi kondisi sekitar. Persis di samping pekarangan adalah barang bukti berupa bak mandi berlantai semen. Bak mandi itulah yang kerap dipakai sebagai ajang ngemis.

Bu Fatimah keluar menyambut kami layaknya senyum ramah khas para petani tadi. Ia lalu mempersilakan kami masuk. Kulihat jelas bahwa sebagian lantai dan dinding di ruang tamu ditutupi oleh koran bekas serta terdapat kaleng-kaleng cat di pojokan. Rupanya ia sendiri tengah mencat rumah mereka. Noda-noda cat itu masih tertinggal kendatipun sudah terbasuh. Dari dapur pendar merah api menyala menerangi sebagian ruangan. Bu Fatimah sepertinya sedang memasak. Sedapnya ikan bakar semerbak terbawa hingga ke hidungku; tanpa sadar kami menelan ludah.

"Mohon maaf ini Bapak-bapak berantakan alhamduliah baru dapat rejeki untuk cat-cat rumah walau sedikit," tuturnya ringan. Tangannya juga ringan menuangkan teh ke gelas kami. Belum sempat kami menyatakan maksud dan tujuan. Bu Fatimah langsung menghambur kembali ke dapur. Takut gosong katanya. Sebentar kemudian ia sudah kembali membawa satu bakul nasi merah dan mangkuk berisi rebusan daun singkong. Anak perempuannya membawa Ikan Bakar Sinyarnyar. Tiba-tiba saja perutku terasa lapar.

*

Bu Fatimah menolak untuk memulai pembicaraan apapun sebelum kami berdua mencicipi makanannya. Sajian alakadarnya begitu ia bilang meskipun demikian tanpa kami banyak bertanya. Bu Fatimah cerita panjang lebar kehidupannya kiwari. Ia mengaku senang karena ini pertama kalinya ada orang kota jauh datang untuk bertamu. Sejak ditinggal mati suaminya beberapa tahun lalu, Bu Fatimah dan anak perempuannya belum pernah kedatangan kerabat barang sekali pun. Maklumlah karena mereka sejatinya adalah perantauan dari Jawa. Dan biaya transportasinya tentulah sangat besar.

"Jadi ya beginilah keadaan kami Bapak-bapak. Apa yang bisa ditanam dan dicari di hutan kami manfaatkan. Gusti ora sare," katanya. Aku merasakan kejelahan dan kejujuran dalam sanubarinya dan mendadak menjadi tak enak hati dengan maksud kedatangan kami sendiri. "Berarti Umak Fatimah sudah ada 15 tahun tinggal di sini? Betah yah Mak?" entahlah pertanyaan Bang Lindung lebih ke basa-basi daripada beneran bertanya karena data diri Bu Fatimah sesungguhnya sudah kami kantongi.

"Alhamdulilah dibetah-betahkan saja lagipula rumah ini juga dititipkan oleh pemilik PTPN kepada almarhum Bapak. Mudah-mudahan tuan yang punya PTPN tidak mempersalahkan kehadiran kami di sini," "Berarti bukan rumah sendiri Mak?" "Lah bukan Pak," seru Bu Fatimah tertawa. Entahlah, perutku tiba-tiba penuh dan kerongkonganku terasa kering. Kulirik Bang Lindung seperti memaksakan senyum yang pahit. Pastilah berat menjadi janda beranak satu dan tinggal di tepian hutan; di rumah milik orang dengan resiko terusir kapan saja.

Di luar, desau angin dan gemerisik pepohonan kini menyatu dengan gemericik hujan. Tidak besar tetapi cukup untuk membuat para petani di ladang berteduh di dangau mereka. Hawa dingin yang kembali menyergap alam meninakbobokan burung-burung jalak yang sedari siang berkicau, dengkang suara kodok kemudian menggenapi kesyahduan nuansa tepian hutan Batang Toru yang perawan. Namun, bahkan seduhan teh panas Bu Fatimah yang kuteguk seakan tidak mampu menenteramkan kegelisahan yang aku rasakan.

BangLindung yang sudah lebih dahulu izin keluar rumah sudah memotret beberapa bagian TKP mandi lumpur. Remaja putri buah hati Bu Fatimah sudah sibuk kembali dengan ponselnya; sungguh tak mengira kami yang datang adalah utusan hukum. Bu Fatimah sendiri tentu sempat bercerita tentang kegiatan mandi lumpurnya. Bisa lebih untung ia bilang daripada berladang seharian. Rupanya ide itu dibawa oleh putrinya sendiri. Aku mencatatnya dalam hati sembari sesekali mengangguk. Dengan alasan survei lalu aku beranjak pamit, tetapi Bu Fatimah menahan sebentar dan menghilang ke pawon. "Bawalah ini ombus-ombus yang Au beli dari pasar yah," pungkasnya.

Bandung, 29 Januari 2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)