Cerpen
Disukai
0
Dilihat
7,000
HRD Negeri Sipil
Slice of Life

HRD NEGERI SIPIL


Sungguh barang tentu kopi yang tersaji di depanku lebih nikmat jika diseruput pada waktu yang lengang, damai, dan santai. Menyesapnya sedikit demi sedikit; mencoba membaui dan mengolah cita rasanya dengan syahdu di lidah. Ah... khas kopi tubruk yang dibawakan langsung dari Gunung Puntang pastilah senikmat itu. Sayangnya waktu itu tidak pernah ada. Aku hanya berharap tuah kafeinnya bekerja dengan baik. Setidaknya hingga aku bisa menyelesaikan dokumen-dokumen digital yang terbuka di layar monitorku.

Dokumen-dokumen itu diburu tenggat waktu dan gagal memenuhinya bisa menancapkan kesedihan tak terkira bagi banyak orang. Hingga setengah hari, hanya setengah jendela dokumen yang bisa kuselesaikan. Kebanyakan terkait pengajuan cuti, kelengkapan BPJS, usulan pelatihan, dan persyaratan pensiunan. Sisanya masih banyak lagi termasuk dokumen perkawinan dan mutasi antarlembaga; antre menunggu giliran. Salah satu yang paling mengusikku, milik Abah Udin.

Dokumen-dokumen persyaratan kenaikan pangkat milik Abah Udin ini harusnya sudah selesai di kantor pusat tetapi ia kembali dengan catatan penolakan. Padahal tenggat waktu pengajuan ke kementerian sudah lewat satu hari lalu. Seingatku semua dokumen terlampir sudah lengkap. Ataukah memang ada yang terlewat? Batinku meragu. Penat. Kudorong kursi kerjaku menjauh dari meja. Bergeser sedikit ke arah jendela kaca besar yang berada di sampingku.

Dinding kaca lantai 4 gedung ini sanggup menahan terpaan angin yang kuat mendera di luar sana. Angin kencang yang berhembus sejak kemarin juga terus membawa hawa dingin yang membuat gigi bergemeletuk. Jarang-jarang suhu ibu kota bisa di bawah 25 derajat celcius kecuali pada awal-awal musim penghujan di Januari. Namun, pikiranku justru panas memusingkan dokumen kenaikan pangkat yang kini tertahan lagi di folderku.

Digerakan rasa tak puas dan dilecut penasaran, aku kembali bergeser ke depan layar; mengunduh dan membuka fail-fail pengajuan dari Abah Udin. Fotokopi Karpeg, SKP, ijazah, semua sudah tercentang biru alias lolos. Lalu mataku terkunci pada silang merah yang menandai dokumen gagal proses. Disitulah rupanya penyakitnya berasal. Abah Udin salah menyetorkan transkrip nilai! Ia keliru menautkan transkrip SMP hingga 2 kali pada sistem. Pasti karena terburu-buru, dugaku senyap.

Terburu-buru juga menjadi kambing hitamku. Ah bukankah harusnya aku bisa mengecek lagi dokumen yang disetornya sebelum finalisasi untuk dikirim ke pusat. Dongo! Pekikku. Tiada yang mendengar karena jam sudah hampir setengah 4 sore dan seorang pegawai SDM lain yang tersisa sibuk dengan penyuara jemala. Lagi kepalaku terasa panas. Sembari menyiuk kali ini tanganku merebah menopang kepala yang bersandar menengadah. Lalu bayang riang roman Abah Udin datang menyelinap. "Terima kasih yah Pak Rouf, saya bisa pensiun dengan tenang," katanya.

*

Sekejap saja buaian mimpi menghampiri dalam lelah. Aku terperanjat. Nyaris jatuh dari kursi kerja ketika dering alarm pengingat presensi kantor berbahana. Kupandang ruangan sudah sepi. Rekan pegawai dengan penyuara jemala sudah raib lebih dahulu. Kutengok keluar pun hujan deras nampak mengguyur ibu kota. Dingin makin merayapi dinding-dinding ruangan bercat putih ini. Kubikel-kubikel kosong tempat kami mengabdi terlihat tetap terang dalam cahaya magrib yang semakin temaram. Dan itu menambahkan niatanku untuk merampungkan pekerjaan yang kian malam.

Tuttt... tutt... tutt... ponselku bergetar. "Selamat Malam Pak Rouf. Tolong ini SDM bisa kerja gak sih--" hanya sekilas kalimat yang terpotong itu muncul dalam notifikasi Whatsapp ponsel. Sudah hampir jam 8 malam tetapi keluhan dan kadang makian tetap datang tanpa ada sopan santun. Aku menimbang-nimbang apakah perlu membuka penuh pesan itu sekaligus memberi tanda bahwa protesnya sudah kubaca. Namun, urung. Justru yang terbayang lagi kilasan roman Abah Udin.

Letih membangkitkan niatanku untuk pulang. Hanya rumah dan ingatan tentang para penghuninya yang membuatku bersegera. Tentu aku tidak membiarkan perihal Abah Udin menguap begitu saja. Aku sudah menghubungi kolega di kementerian untuk setidaknya menahan sistem tidak serta merta ditutup. Kolegaku tidak menjanjikan bisa tapi akan mengusahakan katanya. Sementara itu, data transkrip Abah Udin tidak ada pada sistem. Data itu baru kutemukan setelah mengorek-orek arsip fisik di kabinet data pegawai. Transkrip itu langsung aku kirimkan setelah dipindai.

Malam itu aku menerobos rintik-rintik sepanjang jalan TB Simatupang dengan lebih leluasa. Kemacetan sudah terurai satu jam-an lalu dan ibu kota yang anggun menampilkan sosoknya pada malam-malam bercahaya seperti ini. Gemerlap lampu-lampu meretas setiap sudut dan marka jalan. Menyeruak bersama petrikor yang menenangkan. Cukup menyenangkan untuk sesaat mengusir beban pikiran serupa notifikasi-notifikasi keluhan sampai besok kembali menjelang.

Baru saja kunyalakan PC setelah tiba lima menitan lalu tatkala gaduh-gaduh itu menghampiri. Serupa dengan notifikasi kerja di jam luar kantor yang tak kuhiraukan, sayangnya gaduh-gaduh ini justru datang tanpa ampun ke mejaku. Dengan ledakan suara yang bergetar, aku tahu bapak di hadapanku sedang murka. Ada apa gerangan? Otaku menerka. Namun, sesaat kemudian Si Bapak ini langsung melemparkan masalahnya. "Biro SDM ini gak becus kerja?! Sudah 3 bulan permohonan mutasi saya masih belum naik padahal deadline-nya habis 3 minggu lagi gimana ini!"

Bapak di depanku bernama Harman. Aku menjanjikan mutasinya diproses sesegera mungkin tetapi janji itu tidak mungkin terlaksana karena pimpinannya sendiri menolak menandatangani surat ijin mutasi. Bukan sekali dua kali aku pernah meminta dirinya melengkapi berkas itu; berbicara dengan atasannya langsung. Sungkan? Takut? atau benci barangkali? Entahlah yang jelas Pak Harman tidak pernah menyinggung permohonan mutasinya hingga berminggu-minggu kemudian. Lupa tergantikan permohonan dan ajuan-ajuan lainnya.

Tentu saja para kolega di ruangan berhambur mendatangi mejaku. Sebagian berusaha menenangkan Pak Harman yang masih berdiri tegang. Sebagian yang lain mengambilkan air untuk menyurutkan murkanya. Sejujurnya, mungkin aku juga membutuhkan air karena aku merasa wajahku memerah menahan marah. Gila saja! baru sampai kantor sudah diomeli. Namun, melihat keras di wajahnya memudar, amarahku pun meredup. "Pak. Maaf sebelumnya tapi kami kan tidak bisa meneruskan proses ke kementerian kalau surat ini belum ditandangani," ujarku sembari menyodorkan kembali ingatan tentang permintaan tanda tangan itu.

"Saya sudah pernah menyerahkannya ke beliau dan nanti akan dikirimkan langsung katanya, sekarang mana?" cerocosnya. "Bapak sudah konfirmasi apakah beliau sudah tanda tangan dan mengirimkan?" "Sudah! kalau tidak percaya ngapain saya ke sini!" "Tunggu sebentar kalau begitu," lalu membuka folder berisi dokumen-dokumen pengajuan. Tidak ada. Kubuka WA, tidak ditemukan. "Bapak yakin? Boleh ditanyakan sudah dikirim kemana?" pintaku penasaran.

Pak Harman kemudian bangkit dan menelepon seseorang. Atasannya mungkin karena ia berdiri tegak, tersenyum, dan membungkuk-bungkukan badan. Seakan orang yang ditelepon berada di hadapannya. Sebentar kemudian dia kembali. Duduk menghempaskan diri dengan ekspresi wajah yang tidak bisa kutangkap. "Pak," lirihnya. Nyaris aku tidak bisa mendengar ucapannya tetapi ia melanjutkan. "Saya sudah konfirmasi dan beliau mengirim via surel, aduh bagaimana yah. Ternyata alamatnya salah."

Hari ini juga sama dengan kemarin. Hujan masih deras mengguyur ibu kota meskipun terkadang reda sesaat untuk memberi kesempatan sinar surya mengintip dari kelabunya langit. Selepas waktu zuhur, para pegawai berduyun-duyun memakai payung menuju kantin, kedai, atau kafetaria terdekat. Aku sendiri lebih memilih menikmati bekal di ruangan. Rehat sejenak setelah serangkaian tugas; termasuk peristiwa pagi ini yang melelahkan hati.

Baru 2 suapan sementara video di layar berjalan 15 menit ketika nomor tidak dikenal nyaring memanggil. Sempat ragu untuk mengangkat, kudapati suara parau dan berat di ujung sana ternyata berasal dari Abah Udin. "Saya ini Pak Rouf, Udin," ujarnya. Aku bisa mendengar ada deru kap mobil dan gemercik merebak bersama suaranya. "Pak Udin lagi dinas?" tanyaku. "Saya lagi isi bensin nganter Bapak Pimpinan ke Bandung. Ini loh, hatur nuhun pisan Pak Rouf. Tadi saya dapat telepon dari teman supir katanya pengajuan naik pangkat saya berhasil. Saya jadi langsung ingat Pak Rouf yang selalu bantu saya lengkapin administrasi," tandasnya. "Sama-sama senang bisa membantu," balasku tersenyum. "Sekarang bisa saya pensiun dengan tenang, sekali lagi hatur nuhun Pak hehehe."

Selepas mengucap salam aku menutup telepon berbarengan dengan desiran kebahagiaan yang entah dari mana tiba-tiba menggumpal. Hampir saja aku terisak kalau tidak ingat ini di kantor. Malulah kalau ketahuan kolega Biro SDM lain. Bisa-bisa dibilang lebay cuma karena diucapkan terima kasih. Namun, bukankah terharu merupakan hal wajar karena kita manusia? Entahlah karena lagi-lagi ponselku bergetar. Kali ini yang muncul adalah notifikasi pribadi. Tenggat waktu setoran sasaran kinerja pegawai yang sama sekali belum tersentuh.

Bandung, 17 Februari 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)