Masukan nama pengguna
BALADA TES CPNS
Si Dudeng rungsing bukan main. Mukanya kusut dan matanya sering terlihat menerawang. Sesekali aku mendapati dia sedang melamun jauh menatap ke luar jendela toko. Bukan masalah sih, karena ketika ada pelanggan datang Si Dudeng sudah bersiap lagi. Namun tetap saja sebagai kawan kerja rasanya sedih juga melihatnya tidak bersemangat. Padahal, dulu Si Dudeng boleh dibilang sebagai motor penggerak toko. Beragam acara kreativitas toko muncul dari otak encernya. Kreatif, begitu kawan-kawan lain mencap Si Dudeng. Sayang beribu sayang kreativitas itu menguap bersamaan dengan kegalauan yang muncul setiap hari di romannya.
"Masuk apa kau besok Deng?" tanya manajer toko kami Bang Tigor. "Shift sore bang, persis seperti minggu lalu," jawab Si Dudeng singkat. Aku yang mendengar percakapan singkat mereka mengangguk. Hanya bisa berdo'a dalam hati supaya rencana Si Dudeng untuk legalisir ijazahnya berjalan lancar. Sebenarnya besok adalah jatah shift soreku tapi karena Si Dudeng harus ke kampusnya walhasil kami bertukar shift. Berat sih. Karena sebenarnya besok sore adalah jadwal bersih-bersih kosan tapi ya mau bagaimana lagi; demi kawan pikirku.
"Deng, besok lu jangan lupa! Keripik talasnya seperempat ye!" pintaku setengah berbisik. "Aman bos," jawabnya. Tentu saja aku tidak bertukar shift percuma. Imbalannya Si Dudeng akan membelikan keripik talas khas favoritku yang memang hanya ada di Bogor. Sejurus kemudian Si Dudeng melesat ke area penjualan. Aku masih asyik menyelesaikan sebungkus mi seduh dengan tambahan sosis hasil beli di warung dekat kosan. Beginilah, makanan sehari-hari pekerja metropolitan ibu kota. Bukan ibu kota sih, masih pinggiran Jakarta tepatnya Cibubur. Kalau tidak pintar-pintar mengatur uang, bisa-bisa gajian hanya jadi ampas tak tersisa.
Baru saja aku keluar pantry. Gaduh-gaduh suara Bang Tigor mampir di telingaku. Samar-samar kudengar kata resign, CPNS, dan komitmen. Waduh ada apalagi nih batinku. Mudah-mudahan tidak ada sangkut pautnya dengan Si Dudeng yang mau melamar CPNS. Perihal CPNS ini cuma aku yang tahu setidaknya itu kata Si Dudeng. Layaknya orang bingung yang pusing dengan berbagai pertimbangan, curhat Si Dudeng pecah juga kepadaku. Sebagai kawan kerja yang baik aku hanya mendengarkan keluh-kesahnya. Satu hal yang dia minta untuk tidak menceritakan kepada siapapun apa yang ia cakap. Satu hal yang membuatku ketar-ketir darimana Si Bang Tigor tahu seandainya bukan dari Si Dudeng sendiri.
Sejurus kemudian, suara pengeras toko berkumandang... "Panggilan kepada pramuniaga Ahmad Dudeng harap menuju Back Office sekarang juga," begitu bunyinya. Aku masuk lagi ke pantry. Kawan-kawan lain di dalam pantry hanya bengong melihat roman mukaku yang mungkin jelas terpampang gugup. Tak berselang lama, pintu back office terbuka. Si Dudeng masuk langsung menuju Bang Tigor. "Mampus nasiblu Deng," ucapku hampir tak terdengar. "Kenape lu Toni?" selidik mereka yang berada di dalam pantry. Aku tidak menjawab alih-alih langsung keluar dan menuju area penjualan toko. Apapun yang terjadi di back office sekarang aku harap tidak berdampak buruk bagi siapa pun; terutama Si Dudeng yang bercita-cita melamar CPNS.
*
"Gue pengen ngelamar CPNS Ton," ungkapnya. Waktu itu kami sama-sama sedang shift sore. Selepas jam 8 malam biasanya toko sudah mulai sepi kalau week days. Hanya 5 orang termasuk satpam toko yang bertugas. Aku dan Si Dudeng sedang duduk berhadapan di meja mainan berbentuk lego. "Ya udahlah mau ngapain lagi Deng? Lu kan udah enak kerja di sini. Gaji lumayan kerja di mall. Apa sih enaknya jadi CPNS? Paling-paling juga kerja di kecamatan," komentarku sok tahu. Sejujurnya pada saat itu aku tidak merasa sok tahu tapi memang tahu. Apalagi kalau jikalau melihat pekerjaan oknum-oknum PNS di kecamatan tempatku tinggal yang hobinya mengutip uang administrasi padahal seharusnya gratis. Emosi rasanya. Si Dudeng hanya mengangguk pelan dan tersenyum. Sambil menghela nafas panjang ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit toko yang berbentuk bulat dengan pelbagai warna.
"Bukan, bukan jadi PNS di pemda tapi PNS instansi pusat. Gue pengen jadi peneliti," begitulah jawabannya. Jadi peneliti? Memang apa pekerjaan peneliti sampai-sampai Si Dudeng ingin berhenti kerja? Berapa gajinya? Gede? Dan Kerjanya bukan cuma di laboratorium saja dengan pakaian serba putih? Ah... mendadak banyak pertanyaan menyeruak di otakku yang sempit ini tapi, tidak ada satupun yang terucap. Cukuplah aku tahu Si Dudeng ingin jadi peneliti bukan pegawai kecamatan. "Cuma kan lu tahu Toni, peraturan toko melarang pegawainya daftar CPNS. Itu sudah ada pas kita tanda tangan kontrak," lanjut Si Dudeng. "Gue harus gimana yah Ton?" lirihnya. Kali ini aku merasa ada keputusasaan dalam pertanyaannya itu.
Balada tes CPNS ini rupanya juga pernah terjadi beberapa bulan sebelumnya. Hanya saja ceritanya tidak sedramatis sekarang. Dulu ada pramuniaga toko bernama Sinta. Sama seperti Si Dudeng, Sinta juga ingin menjadi CPNS di salah satu kementerian di Jakarta. Satu hal yang berbeda adalah Sinta secara terang benderang menyatakan kemauannya untuk tes CPNS. Aku masih ingat saat itu selepas shift sore di gudang back office. Sinta, Bang Tigor, dan supervisor toko lainnya yaitu Bu Yuli; mereka "Menyidang" rencana Sinta tes CPNS.
"Kamu tahu kan toko ini melarang pegawai aktifnya melamar pekerjaan dalam bentuk apapun termasuk CPNS?" cecar Bu Yuli setengah melotot. "Lagipula ngapain sih kamu Ta? Kerja masuk ke toko ini susah loh tesnya. Baru juga setengah tahun terus tes CPNS itu saingannya ribuan. Gak akan berhasil kecil kemungkinan kamu itu!" tambah Bang Tigor pedas. Pedas dalam arti sebenarnya, karena dia mengatakan itu sembari memakan Samyang. Dari dalam gudang, sekilas nampak ekspresi santai Sinta. Raut wajahnya seperti tidak menampakan rasa takut. Cenderung percaya diri malahan. Aku yang saat itu sedang stock opname bersungut-sungut kagum tanpa sadar.
"Bu Yuli dan Bang Tigor yang terhormat, saya sama sekali tidak berniat melanggar peraturan perusahaan dengan diam-diam melamar kerja padahal masih berstatus pegawai. Ini saya sudah siapkan surat pengunduran diri saya perhari ini." Tegasnya. Dari balik kardus yang sedang aku buka jelas ekspresi gregetan Bu Yuli terpancar. Begitu juga Bang Tigor yang langsung mengelap mulutnya dengan tisu dan memandang tidak percaya kalau Sinta sudah menyiapkan semuanya. Si Sinta sendiri hanya tersenyum, membungkuk sedikit dan meninggalkan ruangan.
Kalau tidak salah Si Sinta gagal lolos CPNS. Itu kabar yang aku dengar dari Si Dudeng. Kegagalan Si Sinta nyatanya memberikan pelajaran berharga bagi dia. Jangan resign kalau belum pasti diterima. Begitu kurang lebih. Itu pulalah yang membuatnya diam-diam tetap persiapan tes CPNS sambil tetap bekerja. Aku sih sedikit banyak paham. Persiapan tes CPNS juga butuh duit. Fotokopilah, cetak dokumenlah, belum ongkos-ongkos lain seperti legalisir ijazah yang besok dia lakukan. Namun nampaknya panggilan Bang Tigor tadi memaksa Si Dudeng mengubah strateginya. "Gue disuruh milih kelarin kontrak terus dapat pesangon atau resign bulan ini juga kalau emang mau ikut CPNS," keluhnya.
*
Pokoknya suasana shift sore itu jadi sangat tidak menyenangkan. Kawan-kawan lain yang baru tahu situasi Si Dudeng hanya bisa menyemangati, ada juga sih yang nyinyir dengan pilihannya. Aku sih lebih khawatir jangan-jangan dia sangka akulah yang membocorkan rencana di ates CPNS. "Bukan Ton, gue tahu yang sebarin rencana gue itu Si Sinta," ungkapnya. "Serius Deng?" balasku tak percaya. Si Dudeng menaksir motif utama Sinta karena dia masih kecewa dengan kegagalannya jadi CPNS. Pernah dengar istilah 'Jika musuhmu menang itu pedih tapi jika kawanmu berhasil itu lebih menyakitkan'? kurang lebih seperti itu. Sinta membocorkan rencana tes CPNS ke Bang Tigor kemarin sesaat setelah Si Dudeng menceritakan rencananya tes CPNS. Sedih yah.
Keesokan harinya Si Dudeng ternyata tidak masuk. Harusnya kan dia bertukar shift pagi denganku tapi justru tidak datang. Aku baru tahu hal itu ketika baru tiba di toko tatkala sedang berganti sepatu. Bu Yuli yang jadi supervisor juga menanyakan hal yang sama; kenapa Si Dudeng tidak masuk tadi pagi. Tidak ada yang tahu jawabannya. Pun Bang Tigor yang mencoba menelepon dan mendapati nomor Si Dudeng tidak aktif. Aku sendiri hanya mengira Si Dudeng paling sengaja mematikan ponselnya agar fokus dengan urusannya di kampus. Tidak lebih. Ternyata perkiraanku meleset.
Selama 2 minggu setelah kejadian dengan Bang Tigor itu, Si Dudeng masih tidak masuk kantor. Nomor ponselnya tidak aktif begitu juga akun telegramnya hanya centang satu. Aku dan kawan-kawan lain di toko sejatinya mulai khawatir. Meskipun kami hanyalah sebatas rekan kerja toko tapi walau bagaimanapun kami sudah bersama-sama selama setahun belakangan. Ada rasa was-was ketika orang yang kita kenal tiba-tiba menghilang tanpa kabar, terlebih orang seperti Si Dudeng yang ringan tangan dan pintar bergaul. Baru saja kami hendak mengatur rencana mengunjungi alamat rumahnya. Tiba-tiba Si Dudeng menyeruak masuk ke dalam toko. "Guys, gue pamit yah!" tegasnya.
Hari itu ternyata Si Dudeng datang hanya untuk memberikan surat pengunduran dirinya. Ada Bu Yuli yang saat itu shift pagi dan Bang Tigor yang kebetulan datang lebih awal dari jadwal shift. Lagi-lagi aku menguping dari dalam pantry sembari menghabiskan bekal makan siang nasi kuning yang kubeli tadi pagi. "Tes CPNS itu saingannya ribuan Deng! Toko juga kebijakannya sudah jelas yah jangan sampai karena mau tes CPNS malah mengganggu aktivitas sales," kudengar suara Bang Tigor menasehati. "Tapi kalau sudah ada surat begini ya mau bagaimana lagi, mudah-mudahan usaha kamu dapat yang terbaik yah," timpal Bu Yuli.
Begitulah hari itu, Si Dudeng datang untuk memberikan surat pengunduran dirinya. Dia juga diberitahu bahwa sisa gaji 2 minggu terakhirnya akan ditransfer. Toko buku tempat kami bekerja memang tegas kalau urusan hak dan kewajiban. Itu juga yang membuat aku betah dan tidak terpikir mencari kerja lain setelah berada di sini. Sudah nyaman. Sore menjelang dan aku baru saja keluar toko ketika suara Si Dudeng memanggil. Ini bocah ternyata masih di sini. "Ngapain woi masih dimari?" tanyaku. "Besok aku kebagian tes pagi temenin yak!" jawabnya cengar-cengir. "Tenang gue tahu lu kan shift sore, sarapan gue yang traktir," sambungnya seakan membaca keengganan di wajahku.
*
Kantor tempat Si Dudeng tes CPNS ternyata ada di bilangan pusat Kota Jakarta. Tepatnya Gatot Subroto. Gedungnya megah dengan desain arsitektur yang unik. Gedung bundar beraksen perak yang khas ini sering aku lihat dari dalam bis transjakarta yang akan melintas ke arah Sudirman. Tidak pernah terbersitpun untuk masuk ke sini. Karena, aku selalu berpikir gedung ini cuma untuk orang-orang penting. Orang-orang berpangkat dan cerdas tapi di sinilah aku berada sekarang. Bukan ikut tes CPNS seperti gerombolan hitam-putih yang sedang mengantri di sana tapi menemani kawan baikku Si Dudeng yang tengah memperjuangkan cita-citanya jadi peneliti.
Aku menunggu malas sambil menikmati goreng pisang yang dibeli tadi di dekat kosan. Sambil sesekali kuteguk kopi panas dari termos yang kubawa, kulihat antrian peserta tes makin bertambah. Diantara mereka sosok Si Dudeng menyeruak keluar dari antrian. Dari kejauhan kulihat ia memanggilku untuk mendekatinya ke area para peserta berkumpul. "Aman coi alhamdulilah," serunya bergembira. Wajahnya sumringah. Nampaknya ia percaya diri dengan hasil ujiannya. "Tuh hasil barusan tes muncul bentar lagi di layar," ucapnya sambil menunjuk beberapa layar LCD yang terpasang di pilar-pilar gedung. Rupanya tes CPNS zaman now sudah benar-benar transparan. Tidak lagi oknum-oknum nakal bisa bermain karena nilai ujian peserta secara langsung bisa dipantau oleh semua orang. Canggih juga pikirku.
Nama Si Dudeng pun muncul di barisan kedua dari rangkaian peserta tes dengan total skor 450. Ini berarti Si Dudeng punya kans besar lolos ke tahap seleksi selanjutnya. Kata Si Dudeng, jumlah pesaingnya mencapai 1:25. Dan hanya mereka yang meraih skor minimal 311 akan melanjutkan ke tahap berikutnya. Perjuangan Si Dudeng yang rela resign demi ikut tes CPNS sepertinya berbuah manis. Setidaknya sekarang ia bisa melewati rintangan pertama dengan cukup sukses. "Ayo balik Cuy, kita rayakan dengan beli nasi padang di dekat kosanlu. Gue yang traktir," ujar Si Dudeng bersemangat. Makin semangatlah aku untuk balik. Sesaat sebelum pergi tiba-tiba mataku menangkap nama yang tidak asing tertulis jua di layar LCD. "Deng, lihat tuh! Tigor Hasibuan Turangga bukannya itu nama asli Bang Tigor!?"
*
Tidak jauh dari tempat mereka bergunjing, di sudut pilar lain Bang Tigor nampak bersedih. Matanya sayu dan nafasnya berat. Ia memperhatikan nama-nama yang terpampang di LCD pengumuman. Total skor 310 yang ia dapatkan hanya cukup menempatkannya di posisi ke 18 dari total 25 pesaing untuk formasi yang ia lamar sebagai peneliti. Padahal selama ini dia merasa sudah cukup belajar dari buku-buku soal tes CPNS dan bahkan mengikuti kursus online tes CPNS. Namun hasilnya masih nihil. "Cuma kurang satu lagi nilainya mamak, kurang satu lagi," lirihnya.
Bandung, 16 Februari 2021