Cerpen
Disukai
1
Dilihat
6,418
Pagar Depan Rumah
Slice of Life

PAGAR DEPAN RUMAH

dr. Rahma sama saja seperti kebanyakan bocah-bocah lainnya sewaktu kecil. Suka bermain lumpur, suka bermain di galangan sawah, dan bermain kejar-kejaran hingga maghrib. Ibunya Nyai Rukmini yang berasal dari Jawa anehnya tidak pernah marah sekalipun mengetahui kelakuan putri semata wayangnya yang lebih miri cah lanang. Mungkin karena itu; putri semata wayang. Nyai jadi enggan untuk melarang apalagi sampai memarahi Rahma kalau bandelnya sedang kumat. Didikan yang membuat Rahma tumbuh menjadi gadis yang tidak kenal takut dan cenderung penuh rasa penasaran.

"Dulu tuh kalau mau maghrib, mama pasti nyariin aku sampai ke dangau yang ada di sawah Pak Haji," kenangnya. "Ia terus kamu sembunyi kan di dekat pancuran tempat biasa mandi itu," sahut lelaki yang duduk di sampingnya. "Iya, mama sampai bingung kelimpungan hahaha," katanya terkekeh. Tawanya terhenti karena ia kemudian langsung batuk tak henti-henti. Urat-urat di lehernya mengeras. Batuknya mengejan seakan ingin membuang sesuatu yang tersangkut di kerongkongan, tapi sia-sia.

Si lelaki yang duduk di samping Rahma mengusap-usap punggungnya. Pelan sekali seakan ia takut menambah rasa sakit yang istrinya derita. Dia lalu membetulkan baju hazmat yang dikenakan dan membantu Rahma berbaring seperti sebelumnya. Ditatapnya muka Sang Istri lamat-lamat. Pucat pasi jelas menyelubungi wajah ayunya. Tidak ada keringat berlebihan pada wajahnya tapi ekspresi kepayahan dan sakit jelas tergambar di sana. Ia memalingkan muka, lelaki yang juga dokter itu tidak tahan juga. Terlebih pasien tersebut adalah orang terkasihnya.

Rahma sendiri belum terlelap dalam pejaman mata. Ia masih bisa merasakan suara suaminya beringsut dari Kasur dan mengecup keningnya meskipun terhalang oleh plastik hazmat. Ia merasa cukup dan bahagia sebagai seorang istri tapi juga merasa begitu menyedihkan sebagai seorang dokter. Ah... iya dokter. Itulah cita-citanya selama ini. Cita-cita itu sudah tertanam pada benaknya sejak lulus dari SMP dan menginjak SMA kelas 2. Rahma ingat betul betapa bungah dirinya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Entah mengapa kenangan-kenangan itu lalu muncul seakan baru terjadi kemarin sore.

Kabut-kabut tipis nan putih dalam benaknya lalu mewujud dalam rupa gadis cilik yang digendong seorang pria paruh baya. Ah iya dia ingat. Itu adalah pasien pertamanya ketika dahulu koas sebagai dokter di puskesmas. Anak itu kekurangan gizi yang nampak dari kulitnya yang kering dan perutnya yang buncit. Sebagaimana akar penyakit sesungguhnya kebanyakan orang pinggiran, tidak ada uang untuk cukup makan. Sang ayah yang kiranya masih sepantaran dengannya tidak punya pekerjaan sejak 4 bulanan silam. Selama itu pula anak malang itu diberi pangan seadanya.

"Bagaimana Bu dokter?" tanya Si Ayah cemas. "Sudah 2 hari ini Nurul tidak mau makan dan demamnya naik turun," sambungnya. Rahma yang saat ini berjaga seorang diri tidak berani mengambil mendiagnosis penyakit Nurul karena bisa jadi sakitnya gadis cilik itu karena komplikasi malnutrisi dan wabah musiman yang mendera. Namun Rahma hanya tersenyum dan terus melanjutkan tindakan medisnya dalam sunyi. Barulah setelah ia menyuntikan penurun panas, ia berbicara pada Si Ayah.

"Mengenai Nurul dia sudah saya beri penurun panas tapi saya tahu dari cerita Bapak tadi kalau Nurul kekurangan gizi," hening sesaat. Hanya sediki terdengar keriuhan dari luar ruang periksa. "Nurul juga harus diperiksa darahnya di RSUD untuk memastikan apakah benar ada penyakit yang saya duga ada pada tubuhnya.". "Apa diperiksa sama Bu dokter saja tidak bisa?". "Tidak Pak," jawab Rahma merasa bersalah. Ia sadar perkara cek darah di RSUD membutuhkan uang dan sebagai dokter koas, Rahma tidak diperkenankan membuat surat rujukan apapun. Penanganan ini saja atas izin dan supervisi dari dokter pembimbingnya. Maka dengan raut wajah terluka ayah dan gadis kecilnya itu meninggalkan ruang periksa.

Ingatan dr. Rahma lalu tiba-tiba melonjak seperti dari kursi lontar sebuah pesawat dan mendarat penuh keraguan pada satu memori di RSUD Ciawi. Rumah sakit pertamanya sebagai dokter CPNS. Entahlah. Mungkin Tuhan ingin menunjukan penyesalan-penyesalannya selama 15 tahun menjadi dokter atau justru memberkatinya. Karena kenangan kali ini berakhir bahagia meskipun penuh derita.

Masih jelas tergambar ekspresi Ibu yang sudah Rahma lupakan namanya itu. Ia datang dalam kondisi darurat karena air ketubannya sudah pecah bercampur. Kondisi kesadaran dan tanda-tanda vitalnya menurun. Rahma ingat bahwa denyut jantung janin sudah lebih dari 120 kali per menit yang menandakan pasien dalam kondisi takikardia. Keringat dingin membanjiri wajah Ibu muda tersebut, nafasnya tersengal-sengal. Rahma tahu penyelamatan hari itu tidak akan mudah.

Bunyi roda brankar memenuhi lorong-lorong rumah sakit. Suara berderak mesin infus berbaur sesekali dengan ramainya langkah kaki para perawat dan dokter yang berderap. Hanya di beberapa bagian hening dan bebunyian cicak yang merayap bisa terdengar, itupun terkadang diselingi erangan dari pasien yang mengaduh kepayahan. Tidak jauh dari ruangan itulah, Si Ibu muda dibaringkan. Dirinya sudah setengah sadar tapi bertekad untuk terus membuka mata. Demi hidupnya. Demi jabang bayinya.

Rahma bukan spesialis Obgyn tapi dia mempunya keahliannya. Lagipula tidak ada dokter spesialis yang praktik pada sore itu sehingga dr. Rahma yang bertugas di UGD berkewajiban mengambil kendali. Dibantu dua perawat berpengalaman, dr. Rahma cekatan membimbing Si Ibu muda tetap bertahan. Grafik di partograf sudah menunjukan angka 10. Bukaannya sudah sempurna. "Nafas yah bu, nafas tarik yang dalam hembuskan," bimbing Rahma. Salah satu perawat yang berumur memegang tangan Ibu muda tersebut dari samping brankar. Ia mengelap peluh-peluh yang bercucuran dari dahi leher Si Ibu. "Sabar yah neng yang kuat yang kuat demi dede," ucapnya welas asih.

"Ya... ngejen Bu... nafas tarik ngejen," seru dr. Rahma diamini pelan-pelan oleh para perawat lain. Di situlah, Si Ibu muda mempertaruhkan semua tenaganya. Hatinya keras oleh keinginan kuat supaya Si Jabang bayi selamat. Di benaknya hanya keikhlasan bahkan untuk menukar nyawanya sendiri untuk keselamatan anaknya. Wajahnya merah padam karena rasa sakit mengejan begitu keras. Pelan tapi pasti kepala Si jabang bayi menyembul, lalu badan mungilnya, lalu pinggul dan seluruh kakinya. Tepat 3 jam sejak kedatangannya ke UGD, bayi itu akhirnya lahir ke dunia. Linangan air mata tak dinyana membasahi pipi mereka.

dr. Rahma benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dialaminya sendiri. Karena tiba-tiba saja badannya Kembali terlontar kali ini kepada kebingungan. Ia terbangun dari tidurnya. Segar dan tidak kesulitan bernafas seperti sebelumnya. Kepalanya ringan dan matanya jernih. Rahma mencoba duduk tanpa kesulitan berarti. Hanya saja ia merasakan rindu yang amat menyesakkan dadanya. Ia rindu kepada rumahnya, kepada suaminya, dan kepada anak-anaknya yang berada di rumah. "Pah, jemput Mama Pah. Mamah sudah sembuh nih sepertinya," ujarnya menelepon.

Suaminya bengong di ujung telepon. Ia hanya menjawab singkat dan beberapa menit kemudian sudah ada kembali ke ruangan. "Benar udah sembuh?" "Udah seratus persen nih" jawab Rahma sembari melepaskan hazmat dan menggantinya dengan gaun berwarna kuning yang agak memudar. "Papah gak ingat Mamah punya gaun itu?" "Memang in ikan pemberian dr. Badri dua minggu lalu waktu ke Yogya," terangnya. Dengan percakapan singkat itulah mereka meninggalkan RSUD Ciawi. Hanya butuh 15 menit mobil melaju di jalan raya yang sepi untuk menuju rumah mereka.

"Alhamdulilah sampai!" pekik Sang Suami bahagia. Halaman parkir rumah nampak penuh oleh mobil. Sepertinya rumah mereka kedatangan kerabat ibu. Begitulah duga Sang Suami. Rahma juga turun, tetapi ia hanya berhenti di depan pagar rumah mereka. "Ayo masuk Mah! Ngapain di situ yuk," serunya. "Mamah... Mamah pulang yah? Mamah pulang!" teriakan sambutan itu berasal dari Hana dan Hani anak kembar mereka yang sudah kelas 3 SD. "Mah ayo masuk," tapi Rahma justru terduduk dan pandangannya terasa kembali terlontar.

Pemandangan gelap mengungkung penglihatan dr. Rahma, tetapi ia bisa mendengar sayup-sayup suara orang-orang di sekelilingnya. Mula-mula gumaman tidak jelas diselingi oleh bunyi tut-tut-tut peralatan medis, kemudian terdengar tangisan dari suara yang ia kenal; suaminya. Rahma tak kuasa membuka mata; bahkan bernafas saja sulit. Otaknya sebagai dokter memberitahu dirinya bahwa saturasi oksigen dalam darah serta denyut nadinya pasti sudah sangat menurun.

Anehnya, Rahma tidak merasakan sakit yang mendera kecuali rasa tidak nyaman akibat selang yang masuk ke mulutnya sebagai bagian dari intubasi. Ia justru merasa kasihan. Tangisan Sang Suami terasa semakin jauh dan bayangan anak kembarnya menghiasi pekat gelap pandangan. Semua perasaan itu kemudian senyap dan tandas oleh linangan air mata yang tidak bisa lagi ia rasakan.

Bandung, 22 Januari 2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)