Masukan nama pengguna
Aku mengetuk pintu rumah Nenek Zalda. Tiga kali. Setelah itu, pintu dibuka dari dalam. Nenek Zalda tersenyum menyambutku.
"Aku pulang," kataku tanpa memaknai dua kata yang baru saja lepas dari mulut, hasil produksi otak kosong selama seminggu ini.
"Masuklah." Nenek Zalda tidak pernah seramah ini sebelumnya, tetapi aku tahu hatinya sedang baik.
Kami masuk bersama di rumah yang memiliki dua belas koridor panjang dengan burung-burung murai bernyanyi di dahan-dahan barisan pohon apel. Oh, pantaslah Nenek Zalda senang membuat pie apel. Di rumahnya, itu bisa disebut rimbanya apel.
"Bayimu ...." Nenek Zalda mencoba bicara, tetapi terhenti begitu saja.
Mungkin ragu untuk membahasnya atau memang tidak sengaja otak tua dan hati kaca seorang sepuh tersentuh oleh diriku, seseorang yang seminggu lalu melahirkan bayi.
"Aku kemari untuk meminta kain kafan. Rasanya tidak pantas mengembalikan manusia ke tanah dengan pakaian yang tidak layak. Terakhir kali, aku mengambil baju dari tong sampah untuknya," kataku, berhenti melangkah, dan menunduk.
Tubuhku tiba-tiba saja gemetar. Di tengah koridor-koridor yang menyesatkan kewarasan, panjang tak berujung, dan menelan semua waktu dan massaku, aku membeku.
Nenek Zalda ikut berhenti. Keheningan memeluk kami, sepanjang koridor-koridor dengan barisan pohon apel di sisi kiri dan kanannya.
Murai mulai bernyanyi. Suara mereka padu, lembut, dalam, dan dekat. Seolah-olah berbisik di telingaku, nyanyian Murai mulai menggelitik hatiku. Melodinya sampai ke jantungku, meremas erat, mencabutnya, lalu menjatuhkannya tiba-tiba. Jantungku berdetak sangat cepat.
"Ibu, aku tidak bersalah. Selama berada dalam rahimmu, aku berharap kau mencintaiku, menyayangiku, merawat, dan menjaga aku setelah lahir ke duniamu.
Ibu, ini bukan salahku. Tetap bersamaku. Aku ingin tidur di atas pangkuanmu. Menatap matamu dan menemukan kebenaran. Ibu, jangan tinggalkan aku."
Nyanyian murai menyakitiku: telinga, mata, hidung, lidah, dan kulitku. Padahal, nyanyian murai tidak pernah sekejam ini atau sesekali kejam, tetapi tidak tajam sampai bisa menusuk paru-paru, hati, dan jantung, juga mencabik-cabik sampai saraf-sarafku putus. Tidak pernah sekejam dan setajam ini.
"Ini kain kafan. Kembalilah dan makamkan bayimu selayak-layaknya kau memakamkan manusia. Juga, jangan kembali lagi ke rumahku. Koridor-koridor ini tidak diperuntukkan untuk orang-orang yang sakit jiwa atau mental. Kami hanya menyelamatkan orang yang sakit fisiknya karena penyakit, kecelakaan, atau kekerasan," kata Nenek Zalda menjelaskan sambil menyerahkan kain kafan yang dia buat sendiri dengan kedua tangan tuanya.
"Nurael, kau wanita yang tangguh juga ibu yang baik," lanjutnya, lantas berbalik dan berjalan di salah satu koridor dengan buah apel paling banyak dan nyanyian murai paling lirih.
"Ibu, aku tidak bersalah. Selama berada dalam rahimmu, aku berharap kau mencintaiku, menyayangiku, merawat, dan menjaga aku setelah lahir ke duniamu.
Ibu, ini bukan salahku. Tetap bersamaku. Aku ingin tidur di atas pangkuanmu. Menatap matamu dan menemukan kebenaran. Ibu, jangan tinggalkan aku."
Nyanyian murai berulang-ulang, dekat, dan dalam seolah-olah suara mereka berasal dari dalam perutku, bilik-bilik jantungku, dan seluruh arteri dari kaki sampai kepala.
Aku sadar, koridor-koridor dengan nyanyain burung-burung mulai ini tidak cocok untukku. Jika setiap koridor memberi satu kesempatan bagi seseorang untuk memperpanjang kehidupan, bagiku satu koridor cukup untuk membuatku mati lebih cepat.
Aku berbalik dan keluar dari rumah koridor Nenek Zalda dan membawa serta kain kafan. Aku pergi ke tempat pembuangan sampah dan mengambil Inari, bayi kecilku yang berusia satu minggu.
Inari sudah mati. Aku berniat membuangnya ke tempat pembuangan sampah dan membiarkan anjing-anjing liar kelaparan menemukannya. Namun, aku ingat bahwa Inari itu manusia. Manusia yang aku lahirkan seminggu lalu, tepatnya.
Karena itu, aku ke rumah Nenek Zalda untuk meminta kain kafan. Pakaian yang dikenakan Inari bau dan kotor. Sangat tidak pantas jika dirinya bertemu Tuhan dengan pakaian seperti itu. Aku akan membuatnya layak agar Tuhan tidak menegurku.
Aku menggali tanah sedalam mungkin. Setelah itu, aku masukkan Inari ke dalamnya dan kutimbun lagi dengan tanah.
Ketika mengubur Inari, hujan turun dengan sangat deras. Akan tetapi, aku tidak basah.
Seseorang memayungiku dengan payung besar. Aku mendongak untuk melihat seseorang itu. Dia seorang laki-laki. Mungkin, aku mengenalnya atau tidak sama sekali.
"Entah mengapa, kadang aku merasa menyesal karena telah menikahimu," katanya, kemudian menangis seperti hari esok tidak akan pernah ada lagi untuknya.
Aku mengenalnya atau sama sekali tidak kenal. Dia dulunya seorang dokter. Aku hanya tidak tahu di rumah sakit mana dia bekerja. Lalu, kami bertemu di rumah Nenek Zalda. Saat itu, dia mengambil satu koridor dengan burung murai yang menyanyikan lagu klasik bernuansa romantik. Sementara aku, datang karena berusaha membujuk Nenek Zalda agar memberiku satu koridor.
Aku tidak diberi koridor oleh Nenek Zalda—dan, mungkin tidak akan pernah. Sedangkan dirinya keluar dari koridor diiringi nyanyian syahdu yang merdu dari murai di ranting-ranting barisan apel.
Kami bertemu saat itu dan bertemu lagi dan lagi di berbagai tempat. Terakhir, di rumah Nenek Zalda dan seterusnya aku tidak ingat lagi atau kami tidak lagi bertemu atau sesuatu telah terjadi.
"Inari yang kedua belas. Nurael, aku yang bersalah," katanya lagi dan aku tidak mengerti.
Aku bangkit dari posisi berjongkok dan tegap di hadapan pria yang kukenal atau tidak sama sekali itu. Rasanya dia memang tidak asing.
Namun, apa masalahnya? "Inari mati karena demam dan lapar. Aku tidak punya air susu untuk mengisi perutnya. Tidak punya apa pun. Bahkan selembar kain untuk menutupi tubuhnya. Karena itu dia mati," kataku menjelaskan.
Dia semakin menangis sampai aku jadi takut kalau-kalau air matanya akan membuat banjir ketika menyatu dengan air hujan. Akan tetapi, bagaimana membujuknya atau apa sebab dirinya menangis?
"Ikutlah denganku. Kita ke rumah Nenek Zalda. Aku ingin membuat permohonan di sana," katanya, kemudian menarikku untuk ikut.
Rasanya ... rasanya sangat tidak asing. Telapak tangan pria ini sangat halus dan dingin. Aku seperti membayangkan jika dulu telapak tangan halus ini yang membelai rambutku atau itu memang hanya halusinasi yang terus muncul dalam bayang-bayang.
Rasanya juga aman bersama dia. Aku tidak menolak. Lagi pula, kami sering bertemu di rumah Nenek Zalda. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari sesama orang di rumah Nenek Zalda. Orang-orang di sana semuanya hanya fokus untuk tetap hidup dan menghalau pendengaran dari nyanyian burung murai atau pandangan dari apel-apel merah di barisan sepanjang koridor.
Sesampainya di rumah Nenek Zalda, kami duduk di tengah-tengah dua belas koridor. Nenek Zalda sedang mengantar seseorang ke salah satu koridor yang tidak pernah aku tahu di mana ujungnya.
Kemudian, murai-murai di ranting-ranting barisan pohon apel mulai bernyanyi lagi.
"Ibu, kami tidak tahu dirimu yang mana yang telah membawa kami bertemu bertemu Tuhan kembali. Padahal, Ibu, kami sangat ingin kau cintai, kau sayangi, dan kau peluk. Kami sangat ingin kau merawat kami, membesarkan kami, dan menjaga kami hingga tumbuh dewasa. Namun, Ibu, kami tidak tahu dirimu yang mana yang telah membawa kami bertemu Tuhan lagi."
Liriknya lagi-lagi sangat menyakitkan. Sangat kejam atau sebenarnya tidak pernah sekejam ini, tetapi terlalu tajam, dalam, dan dekat seolah-olah itu berasal dari darah dan napasku sendiri.
Sejujurnya, aku sangat ingin salah satu koridor Nenek Zalda ini. Namun, nyanyian murai yang seperti hantu atau tentakel gurita berlendir dari toko tua, selalu membuatku sangat tersiksa. Aku membenci nyanyian murai di ranting-ranting apel itu.
"Nurael, aku hanya ingin meminta. Meminta dua belas koridor untuk dua belas anak kita. Jika salah satu dari mereka berhasil mencapai ujung koridor ini, aku berharap Tuhan segera mengambilmu atau aku yang akan mengirimmu pergi segera. Nurael, apa kau sepakat?" katanya.
Ah, aku sungguh tidak mengerti atau aku mengerti, tetapi tidak pernah bisa mempertahankan apa yang aku mengerti dari kata-katanya.
Tamat||
Wakai, 20 Juni 2024.