Masukan nama pengguna
"Jie, tanam dan rawatlah bunga ini. Jika aku tidak bisa bersamamu lagi, biarkan bunga ini yang menemanimu. Biarkan ia mekar sebagai tanda bahwa aku selalu bersamamu."
Begitu! Begitu yang dia katakan ketika kami masih bersama atau saat dirinya belum pergi. Dia memberiku bunga tulip merah. Tanam dan rawatlah, katanya.
Sesuai permintaannya, aku menanam dan merawat baik-baik bunga itu di taman belakang rumah.
Aku merawatnya tanpa tahu bahwa dia akan pergi dan meninggalkan luka dan penantian selama ini.
•••
"Keanu!" Aku memanggil pemuda yang mencoba menggapai sebuah buku di rak paling atas.
Aku menghampiri pemuda itu. Namanya Keanu, teman yang tempat duduknya berada di sebelahku.
Dia menoleh, lantas tersenyum. Keanu, dia punya lesung pipi kecil di kedua pipinya. Saat tersenyum, bagian itu yang akan mencuri perhatian banyak orang, tidak terkecuali aku. Jujur saja, senyumnya yang paling memikat di sekolah ini—menurut kacamataku.
"Ada apa?" tanyanya setelah menggapai buku bersampul bunga tulip merah.
"Tidak ada. Hanya ingin melihat apa yang sedang kau lakukan," jawabku mendekatinya dengan tangan di belakang; menyembunyikan sepucuk surat merah muda berisi pernyataan cinta yang telah aku pendam selama lima tahun.
Oh, jangan tertawakan aku yang menanggung siksaan cinta sebegitu lama. Di antara cintaku dengan Keanu ada garis persahabatan yang membuat kami bisa bergandengan hingga saat ini.
"Aku ingin membaca. Mau? Banyak buku baru. Ada novel juga. Tertarik?" Dia antusias dan memang inilah hobinya sejak dulu—sejak aku mengenalnya di bangku kelas tujuh.
Aku mengangguk meski sebenarnya buku adalah musuh bebuyutanku.
Keanu mengambil satu buku kumpulan cerpen. Judulnya Blue Sugar. Dia kemudian menyerahkannya kepadaku bersama senyum yang memperjelas lesung pipi kecil itu.
"Aku pikir kamu akan suka, tetapi jangan memaksa, Jie. Aku tahu kamu tidak suka membaca. Jika kamu suka, bagaimana peringkatmu akan berada di posisi lima dari belakang." Dia tertawa pada akhirnya.
Aku menunduk, bukan karena malu. Akan tetapi, dia benar-benar tahu tentang diriku. Bagaimana aku tidak akan yakin jika dirinya adalah orang yang pantas untuk aku perjuangkan?
"Duduk." Di bangku panjang perpustakaan sekolah, dia mengajakku.
Aku duduk di sampingnya, diam-diam meremas surat merah muda yang telah kuberikan aroma stroberi, dan menatapnya dari samping.
Ada banyak hal di dunia ini. Aku telah berani mengambil beberapa dari kisah-kisah itu. Bolos mata pelajaran, ke bar dan menjadi DJ di sana, memimpin demo, memimpin pasukan perkelahian antar pelajar, dan masih banyak lagi. Mungkin, aku tidak bisa menyebutnya satu per satu karena jumlahnya yang bisa membuat poin pinaltiku di sekolah ini habis. Aku hanya memiliki lima poin tersisa. Satu kali bolos sudah bisa mengantarku ke gerbang sekolah tanpa bisa kembali lagi.
Namun, saat ini, aku ingin berusaha bertahan. Juga, berusaha memupuk keberanian untuk menyatakan perasaan lebih dulu dan mengambil resiko apa pun yang terjadi nanti.
Meski sebenarnya, aku sangat takut Keanu akan menolakku, lalu menjauhiku, dan kebersamaan kami berakhir. Itu mimpi buruk. Akan tetapi, lima tahun bukan waktu yang aku lewati tanpa disiksa oleh rasa cinta terpendam.
Biarlah!
"Keanu, aku ingin mengatakan sesuatu." Meremas lebih keras ke surat merah muda, aku berkata dengan sekujur tubuh mendingin.
"Apa?" Tanpa melihatku, dia bertanya.
"Kamu punya pacar, tidak?" Aku balik bertanya sambil menyingkirkan buku bersampul putih dengan gambar bunga tulip merah.
"Kata orang, pacarku itu kamu." Dia tertawa, melihatku, dan memiringkan kepala, lalu bertanya lagi, "Kenapa?"
"Tidak." Aku menggeleng, mengeluarkan surat merah muda beraroma stroberi, dan ingin langsung menyerahkan kepadanya.
Akan tetapi, seseorang segera mengisi ruang di bangku tepat di depan kami, di antara aku dan Keanu.
"Bee? Kelasmu baru selesai?" Keanu langsung bertanya kepada Bee.
Aku tidak ingin menjelaskan siapa Bee ini, tetapi dirinya lebih dari aku, bagi Keanu.
Bee, dia teman masa kecil Keanu. Artinya, mereka telah bersama sejak masih anak-anak, bahkan katanya sejak balita. Mereka bertetangga. Hanya sebuah tembok yang memisahkan rumah Bee dan Keanu. Setiap hari, sejak zaman di taman kanak-kanak sampai sekarang, mereka pergi dan pulang bersama.
Bisa dibayangkan, bukan, sedekat apa Keanu dan Bee? Karena itulah, aku berada di posisi nomor dua. Hanya beruntung, mereka selalu ditempatkan di kelas berbeda sejak SMP. Sayang sekali, itu tidak bisa membuat keduanya jauh.
"Iya. Ada tambahan tadi. Kita makan, ya. Lapar." Bee berkata manja—ala-ala adik kepada kakak sambil memegang dan menggoyang-goyangkan tangan Keanu.
Sangat manis dua sahabat ini sampai surat merah muda yang kembali ke tempat persembunyian koyak di satu sisi.
"Ya, sudah. Jie, bacanya nanti saja. Kita makan dulu." Keanu mengambil tanganku, menarikku untuk bangkit dari duduk, dan kembali tersenyum.
Selesai sudah kesempatanku. Suaranya sudah robek. Mengapa juga aku tidak menyelipkannya di tas sekolah Keanu seperti yang dilakukan Bianka kepada Roy atau Sobin kepada Angel. Bodoh, Jie!
Kemudian, aku sadar bahwa kesempatan itu tidak pernah datang.
•••
"Apa kamu ingin pergi? Mengapa harus?" tanyaku saat memegang erat sebuket bunga tulip merah yang aku petik dari taman belakang.
Itu adalah tulip yang pernah diberikan Keanu kepadaku, yang telah tumbuh setelah aku rawat beberapa bulan ini.
"Aku akan menikah. Dengan Bee. Sekarang Bee ada di Jepang. Rencana, kami akan menikah dan tinggal di sana. Aku juga sudah mendapat pekerjaan di sana," jawabnya, lalu memiringkan kepala saat menatapku dan bertanya, "kamu menangis?"
Keanu, dia buta!
Aku menangis. Aku mencintainya. Akan tetapi, dia tidak pernah melihat semua itu.
"Ya. Aku menangis karena bahagia. Selamat untukmu dan Bee. Aku tahu bahwa kalian akan bersama," jawabku dengan rangkaian kata penuh kebohongan yang menyakitkan.
"Terima kasih, Jie. Kamu memang sahabat terbaikku dan Bee. Oh, iya. Apa ini bunga tulip yang aku berikan waktu itu?" Keanu bertanya—masih dengan dirinya yang membuatku gila oleh kekecewaan.
"Benar. Terima kasih untuk bunganya. Cantik. Ambillah. Anggap saja ini sebagai hadiah." Dengan tangan gemetar, aku menyerahkan tulip merah yang menjadi saksi betapa diriku amat berharap bisa bersama Keanu.
Keanu tersenyum, mengulurkan tangan, tetapi tidak mengambil bunga itu. Dia menarik dan memelukku erat-erat. Sangat erat dan ... hangat.
Air mataku tumpah. Tangisku lepas. Aku menangis dengan brutal seakan-akan esok hari tidak ada lagi waktu untuk menangis. Aku melepas semua air mataku di pundak pemuda itu. Keanu, aku sangat mencintainya.
"Jie, semoga kau mendapatkan laki-laki yang lebih baik dariku, yang mencintaimu, menerimamu, dan bisa menghabiskan hidup bersamamu. Jie, maaf. Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku mencintai Bee," ungkapnya dalam bisik lirih.
Aku lemas seketika dan entah bagaimana, duniaku terasa seperti berputar, lalu menjadi gelap.
Seruntuh ini ternyata. Sakit ....
•••
"Jie, Hikaru dan Hikari ingin berlibur ke Indonesia. Ah, kedua cucuku itu memang suka mengelilingi dunia. Mereka seperti Bee. Jie, kalau boleh, biarkan mereka singgah di rumahmu." Pesan dari ponsel dibacakan Yuri, asisten rumah tangga sekaligus orang yang merawatku.
Empat puluh tahun sudah berlalu. Rambutku telah penuh dengan uban pada usia enam puluh empat. Mataku telah kalah sampai membaca pesan dari Keanu pun aku membutuhkan bantuan Yuri. Aku juga hanya bisa duduk di kursi roda sekarang setelah sebuah kecelakaan merenggut fungsi kedua kakiku.
Aku hanya tersenyum meski hati masih lebih nyeri lagi dari tulang punggung.
"Katakan saja iya. Hikari dan Hikaru bahkan boleh menginap di sini. Mereka berdua cucu teman sekolahku dulu atau ...." Aku berkata, tetapi tidak bisa melanjutkan pada akhirnya.
"Atau, apa?" Yuri menatapku dengan mata penasarannya.
Atau, cucu dari laki-laki yang sangat aku cintai hingga sekarang. Sayang sekali, aku memilih mengubur jauh-jauh semuanya dalam hati.
"Lupakan. Sekarang sudah sore, kau harus melihat taman tulip kita. Aku melihat ada yang tumbuh, tetapi bunganya keluar dari pagar," kataku.
Yuri buru-buru membalas pesan Keanu, kemudian bergegas ke taman belakang.
Aku melihat gadis itu yang keluar dari rumah dan memasuki lautan tulip merah.
Merah merona. Tulip yang diberikan Keanu telah menjadi lautan di halaman belakang. Mereka tumbuh subur, melewati musim demi musim tanpa lelah dan kalah.
Tulip itu, mereka seperti aku. Waktu demi waktu berlalu, nyatanya aku tidak bisa melupakan Keanu, tidak bisa sampai tidak ada laki-laki yang bisa menggantikan Keanu di hatiku bahkan hingga rambutku memutih.
Keanu, aku menukar kegilaan cinta ini dengan penantian seumur hidupku.
"Maaf, aku mencintaimu."
Tamat||
Wakai, 15 Juni 2024.