Masukan nama pengguna
Setiap pulang sekolah, di belantara kebun cengkih, pandanganku selalu tertuju di rumah hijau di depan perumahan kosong dan di tengah barisan Gunung Anak Kembar. Di belakang rumah itu, ada bangunan lain yang warnanya seperti akan menyatu dengan daun-daun cengkih. Atap seng yang masih baru mengilap ketika terkena cahaya matahari dan membuatnya mencolok dari jalan. Mata akan silau ketika bertemu cahaya tajam dari seng.
Rumah itu sepi, tetapi sebenarnya aku ragu untuk itu. Lingkungannya bersih seolah-olah debu takut untuk mendekat. Aku tidak bisa menghitung jumlah motor dan truk yang lewat di depannya, tetapi kotoran tidak menodai jendela kaca yang selalu bening. Jelas, ada orang yang tidak pernah absen membersihkannya.
Rak sepatunya penuh. Ada tiga baris rak sepatu yang bisa dikatakan sebagai lemari tiga susun setinggi diriku. Dengan ukuran dan jumlahnya, ada banyak sendal dan sepatu dari berbagai ukuran, warna, dan jenis di sana. Jadi, seharusnya ada orang di sana.
Rumah itu seharusnya tidak bisa menampung banyak orang. Namun, jumlah sepatu juga sandal di sana membuatku berpikir bahwa ada seratus lebih manusia di dalam.
Namun, di mana mereka? Setiap kali aku berangkat dan pulang dari sekolah, tempat itu seolah-olah tidak berpenghuni. Selain suara angin, daun, dan kucing putih yang sering tidur di kursi rotan, tidak ada yang lain dan memberiku ilusi bahwa memang tidak ada siapa-siapa di sana. Aneh, bukan?
Aku jadi penasaran, tempat apa ini sebenarnya? Siapa pemiliknya?
Temanku, Ferdi, juga sering bertanya, apa yang ada di dalam sana? Apakah ada orang? Lebih tepatnya, kami memiliki pemikiran yang sama.
Kadang, Ferdi yang malas pulang ke rumah karena tidak punya rumah menawarkan petualangan.
"Samudera, mengapa kita tidak masuk dan melihat-lihat?" Ferdi selalu memiliki inisiatif seperti ini.
Sayang sekali, aku takut dengan hantu sampai ke titik tidak berani melewati kuburan walau siang hari. Jadi, dengan berbagai alasan, aku menolak ajakan Ferdi.
Sampai lulus dari sekolah, aku tidak mendapatkan jawaban mengenai rumah hijau itu. Diam-diam, aku mencoba melupakannya dan menganggap itu rumah hantu yang kosong. Mungkin, sendal-sendal dan sepatu di sana juga gaib, seperti penghuninya.
Tempatnya pasti mengerikan, angker, dan menakutkan, pikiran itu aku tanam jauh dalam kepala.
Dua tahun kemudian, aku mendapat tawaran pekerjaan di salah satu toko pakaian. Katakan saja aku sebagai pelayan toko yang memberikan solusi, penawaran, dan penjelasan kepada pembeli.
Ketika bekerja, aku bertemu banyak orang dengan wajah dan karakter berbeda. Salah satunya merupakan wanita yang sopan, bersuara lembut dan halus, anggun, juga sedikit pemalu yang datang sekarang. Sebenarnya, ini bukan kali pertama dia datang. Lebih tepatnya, dia sering datang untuk membeli pakaian. Karena itu, aku tahu bagaimana orangnya.
Wanita itu memang pemalu—menurut aku. Setiap kali bicara, dia menunduk; menyembunyikan wajahnya hingga aku hanya bisa mendengar suaranya yang samar-samar.
Dia menyebut pakaian yang dibutuhkan: sebuah dress mini dengan banyak belahan. Sebelum-sebelumnya, dia juga memesan pakaian demikian.
Aku pikir—pada awalnya dan berlaku sampai sekarang—pakaian itu tidak cocok dengan karakternya. Sebab, setiap kali ke toko, pakaiannya sangat rapi, tertutup, anggun, dan sopan. Namun, dia menginginkannya seperti terlalu mendamba setiap kali menyebut dress mini.
Aku pernah bertanya atau tepatnya beberapa kali. Aku tanya, mengapa dia memilih pakaian seperti ini? Namun, jawabannya cukup ambigu.
"Aku bekerja. Pemilik pekerjaan bisa mengambulkan semua permintaan. Apa kau tidak tertarik untuk ikut?" Kira-kira, begitu jawabannya.
Aku cepat menggeleng saat itu. Pekerjaan apa yang mengharuskan pekerjanya memakai dress kurang bahan seperti ini? Mencurigakan. Aku rasa, menjadi pelayan toko tidak terlalu buruk meski bos dia bisa mengabulkan semua permintaan. Aku pikir, itu mustahil walau memang, dari waktu ke waktu, perempuan ini menjadi semakin mampu dalam hal ekonomi. Aku pernah ke rumahnya yang berangsur-angsur membaik.
Kira-kira, dengan pertanyaan yang sama untuk kesekian kali dan jawaban nyaris serupa, aku mundur dalam usaha merekomendasikan pakaian.
Apa yang bisa aku katakan jika dia menginginkan model seperti itu beserta alasannya? Lagi pula, keinginan konsumen adalah yang utama.
Hari ini, masih dengan model dan jenis yang sama. Kami hanya berbasa-basi masalah sepele selama tatap muka. Tidak ada lagi rekomendasi gaun dariku, tentunya.
Namun, ada yang berbeda. Hari ini dia tidak membawa pakaian itu bersamanya, tetapi memintaku mengirimnya ke alamat yang disebutkan. Dia ingin pergi ke satu tempat lain, katanya.
Alamat rumah itu membuat hatiku dingin dan berdebar berat. Rumah hijau, dua tahun lebih aku melupakannya, mengapa sekarang muncul lagi? Rasa penasaranku tumbuh seperti jamur pada musim hujan.
Tanpa mengharap terima kasih, aku berbaik hati mengantarkan pakaian itu ke alamatnya setelah toko tutup pada pukul sepuluh malam.
Selarut itu, aku datang ke rumah hijau. Malam membuat bangunan di antara belantara cengkih dan barisan Gunung Anak Kembar sedikit berbeda. Apa yang berbeda, aku tidak tahu. Mungkin, ketika malam hari, daerah itu terbilang sangat sepi juga cahaya lampu yang minim sepanjang jalan. Suasana ini benar-benar mengingatkanku dengan setting horor dalam film-film. Sedikit menantang nyali pengecutku. Namun, demi tugas, aku tetap maju dan melangkah kaki untuk pertama kalinya di teras rumah hijau.
Aku mengetuk pintu beberapa kali, tetapi tidak ada yang membuka atau menjawab panggilan. Namun, rumahnya tidak terkunci. Karena harus mengantar pesanan sekaligus ingin lancang memenuhi rasa penasaran, aku masuk langsung masuk setelah membulatkan tekad dan menutup mata dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Resiko tanggung sendiri.
Di dalam, ternyata aku tidak sendiri. Seperti jumlah alas kaki di rak itu, ada orang di sini. Ada banyak wanita dan pria, di setiap sudut, dan sedikit ruang untukku disisakan. Mereka saling menemani, menghadap seseorang di kursi besar, bicara berbagai hal yang tidak aku mengerti, lalu melakukan penghormatan. Mirip sebuah persembahan yang ... sebenarnya aku juga tidak tahu atau memang tidak paham atau ... aku membodohi diri sendiri agar tidak tahu dan paham.
Setelah itu, seperti jam istirahat dari rapat malam, mereka mulai bersenang-senang. Seperti tercerahkan, aku mengerti sekarang, mengapa wanita itu memilih drees mini kurang bahan. Aku paham sekarang, tetapi sungguh tak bisa dijelaskan apa yang mereka lakukan.
Tidak ada yang menyadariku, kecuali seseorang yang duduk di kursi besar.
"Kau ingin bergabung?" tanyanya entah kepada siapa, tetapi aku pikir dia menatapku yang membuat aku terpaku dengan perasaan diteror.
Bergabung? Mustahil. Aku menggeleng, meletakkan pesananan di lantai, kemudian pergi. Aku bahkan rela mati daripada harus bergabung dalam perkumpulan di rumah hijau ini!
Motor aku bawa dengan gila di jalan setelah melarikan diri seolah-olah malaikat maut mengejar di belakang dari tempat laknat dan terkutuk itu. Jalanan gelap aku belah. Dengan napas memburu rakus, aku seolah-olah melupakan dunia ini karena perasaan takut dan ngeri.
Aku seperti kehabisan waktu. Ketakutan mengancamku: jika berhenti, aku akan lebih hancur dari kematian itu sendiri. Karena itu, tidak ada alasan berhenti! Mengebut seperti setan.
Akan tetapi, karena berkendara dengan gila, aku kecelakaan. Entah apa yang aku tabrak, tidak jelas lagi. Yang pasti, aku banting setir ke kanan saat melihat mahluk dengan mata menyala itu. Aku dan motor itu jatuh dan terguling jauh dari jalan. Punggung dan kepalaku terbentur. Aku bisa merasakan sakit yang luar biasa, kemudian aroma darah kuat di tengah kegelapan.
Aku pikir inilah hari kematianku. Dengan napas yang terengah-engah, aku menikmati segalanya—gelap, dingin, amis darah, dan sakit di sekujur tubuh. Meski demikian, hal-hal yang aku lihat di rumah hijau, itu ... aku tidak akan bisa melewatkan atau melupakannya. Kemudian, aku tidak lagi merasakan apa-apa.
Saat kembali membuka mata, aku berada di rumah sakit. Tepatnya, terbaring di ranjang pasien dengan selang infus dan alat-alat lain yang melekat di tubuh. Sakit yang luar biasa masih melekat. Aku tidak bisa bergerak bebas, bahkan untuk membuka mata rasanya seperti aku telah menghabiskan seluruh yang tersisa dalam napasku. Akan tetapi, aku masih tidak bisa melupakan kejadian di rumah hijau.
Selama aku tidak sadar, ternyata waktu sudah berlalu empat hari lamanya.
"Para pemberontak biadab itu berhasil menghancurkan pertahanan dan keutuhan tempat ini. Aku tidak tahu, apakah selanjutnya mereka akan menyerang rumah sakit dan mengambil nyawa yang sekarat? Tidak berperikemanusiaan."
Entah siapa yang bicara, tetapi suaranya tidak terlalu jauh. Mungkin orang bergosib di luar.
"Jika berhasil menangkap dalangnya, mereka bisa dihentikan. Sekarang kita hanya mendapatkan para antek yang kotor. Bawa saja manusia itu ke lubang dan kubur semuanya. Mereka tidak pantas hidup."
"Aku dengar dari rumor, pemimpin kelompok ini adalah setan. Setan manusia mungkin. Menakutkan."
Pembicaraan lain berlanjut dan aku mendengarnya dengan saksama. Namun, aku masih tidak mengerti, apa yang terjadi sekarang? Para pemberontak, dalang, antek kotor, siapa mereka? Atau ... tiba-tiba, aku tercerahkan.
Satu hal yang terlintas di pikiranku: rumah hijau.
Aku tidak tenang ketika berpikir sampai ke sana. Tempat itu memang tercela dan penuh rencana jahat. Pembunuhan yang kejam, apakah mereka melakukannya? Atas dasar apa? Perkumpulan apa mereka sebenarnya? Namun, jangan pedulikan. Aku jadi sangat takut sampai rasa dingin seperti membelai hatiku. Aku menggigil tiba-tiba.
Di luar sana, ketika aku tidak sadarkan diri, apa yang telah terjadi?
Aku tidak bisa tidur meski ada keluarga yang berjaga di luar dan dalam ketika memikirkan semuanya.
Keadaan di luar, menurut orang-orang, sama kacaunya dengan kapal pecah. Banyak orang mati, diteror, ditangkap, hingga bisa disebut kerusuhan atau tragedi yang menakutkan. Mayat di mana-mana. Darah berceceran. Tubuh yang tidak lagi utuh berserakan.
Di luar merah. Kota mati! Itu singkatnya.
Di rumah sakit ini, korban luka-luka akibat perlawanan terhadap kelompok setan itu dirawat. Ruangan penuh. Aku hanya beruntung karena berada di ruangan ini seorang diri tanpa pasien lain yang mengerikan. Ada yang kehilangan kaki, tangan, dan berbagai bentuk luka lain.
Aku percaya kata orang-orang yang aku tanyai. Sejak pertama kali melihat isi rumah hijau itu, aku sudah bisa membayangkan setan-setan macam apa di sana. Juga, bisa memperkirakan seberapa parah kiamat yang akan mereka timbulkan jika keluar. Ada juga pihak keamanan yang menjaga ketat rumah sakit. Mereka berpatroli.
Dengan keadaan seperti ini, bagaimana aku bisa tidur? Mungkin, aku akan dihantui mimpi buruk tentang kota yang damai, tetapi kemudian hancur berkeping-keping dan menjadi lautan darah juga mayat.
Benar. Kota ini sangat damai dalam ingatanku, tetapi itu sebelum para pemberontak ini datang. Dulu, memang pernah tadi tragedi berdarah di sini. Pembersihan Satu Kampung, itu namanya. Bukankah itu persis sama dengan sekarang?
Setahu aku, peristiwa Pembersihan Satu Kampung itu bermula dari penyebaran wabah yang menewaskan banyak orang. Wabah buatan lebih tepatnya. Wabah ini dibuat oleh sekelompok orang yang ingin melenyapkan kelompok lain di sebuah kampung karena dianggap membawa petaka. Lebih tepatnya lagi, istilah ini ada karena diskriminasi orang-orang sehat terhadap mereka yang mengidap penyakit menular.
Masa itu memang tragedi yang menghancurkan banyak hati. Aku memang bukan pendukung kelompok itu. Bagiku, meski mereka mengidap penyakit, tetapi membunuh mereka bukan pilihan. Bukankah mereka memiliki kesempatan? Kesempatan hidup, bahagia, bahkan sembuh, mereka memilikinya. Namun, kelompok itu kejam.
Orang tua Ferdi menjadi dua di antara banyaknya nyawa yang hilang. Ferdi di sini juga korban. Karena orang tuanya meninggal dunia, dia jadi tidak punya rumah untuk dijadikan tempat pulang. Ferdi sangat malang.
Ah, aku jadi memikirkan Ferdi sekarang. Akan tetapi, pikiranku mendadak kosong saat pintu ruang rawatku terbuka di tengah malam buta. Derap langkahnya sangat jelas. Aura kebenarannya terlalu kentara seperti hantu yang ingin menunjukkan wujud menyeramkan.
"Apa aku menakutimu?" Pertanyaan itu datang dari sosok yang masuk itu. Suara laki-laki yang ... tidak asing. Sama sekali tidak asing.
Ketika semua orang tidur seperti orang mati, pria yang pernah duduk di kursi besar di rumah hijau menghampiriku dengan sebilah pisau sabit di tangan kirinya. Itu benar-benar dia! Tuhan, tolong aku.
Dia pemilik rumah hijau. Dia dalang dari pertunjukan berdarah di luar. Memang dia.
"Samudera, jangan takut lagi. Aku akan mengakhiri mimpi burukmu," katanya sambil tersenyum.
Kemudian, aku mendengar tembakan beruntun di luar kamar. Suara yang menyakitkan telingaku, membangkitkan kepanikan, dan memaksaku meringkuk di tengah keterkejutan dan ketakutan.
Kaca pecah. Pecahan tajam berhamburan di lantai. Semua berantakan di mataku. Ada pun pria itu, tubuhnya terkunci dan perlahan-lahan garis darah turun dari sudut mulutnya. Lalu, pria itu ambruk seperti pohon membawa serta senyum kakunya yang masih hangat untukku.
"Sudah mati! Sudah mati! Dia sudah mati!" teriak seseorang, disusul orang lain dan lainnya lagi dengan kegembiraan dalam suara mereka.
Aku menatap pria yang disoraki ketika menjadi mayat. Wajah pria itu, aku ingat siapa dia. Ferdi, dia Ferdi!
•••
"Sam, seandainya kematian orang tuaku harus dibayar, apa yang bisa diberikan kota ini untuk membayarnya kepadaku atas kematian keduanya?" Ferdi bertanya kepadaku saat kami menatap rumah hijau di seberang jalan.
"Bukankah nyawa harus dibayar nyawa?" Aku menjawab meski sebenarnya itu lebih ke arah salah satu opsi yang membutuhkan persetujuan.
"Oh, iya. Kau benar." Ferdi mengangguk, lalu menatapku sambil tersenyum.
Namun, aku tidak tahu bahwa senyum itu adalah kekuatannya untuk menciptakan tragedi ini pun jawabanku yang dibenarkan olehnya.
Tamat||
Wakai, 27 Januari 2024.