Cerpen
Disukai
1
Dilihat
9,890
Putri Burung untuk Pangeran Kecil
Romantis

Alkisah, hiduplah seorang wanita bersama kedua putrinya. N'dai, nama wanita yang sehari-harinya bekerja di kebun. Kedua putri N'dai, Mori dan Kayine, tumbuh dewasa bersamanya tanpa seorang ayah. Menjadi ibu tunggal, membuat N'dai harus berjuang untuk memberi makan kedua anak gadisnya. 

Kayine, putri terakhirnya, selalu membantu N'dai di kebun. Pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mencuci piring dan baju, membersihkan rumah, juga dikerjakan oleh Kayine. Meskipun begitu, Kayine tidak pernah mengeluh pada ibunya. 

Berbeda dengan Mori. Satu pun pekerjaan N'dai tidak pernah ada campur tangannya. Mori hanya berdiam di dalam kamar, menenun benang-benang sutra menjadi kain-kain yang indah. Ia berniat menjual kain hasil tenunannya ke pasar setelah semuanya habis ditenun. 

Namun, niat Mori sama sekali tidak diketahui oleh N'dai hingga sering N'dai memarahinya. Berbagai macam perkataan keluar dari mulut N'dai untuk Mori. 

"Anak pemalas! Apa tidak pernah kamu berniat membantu Ibu dan adikmu, hah?! Lihat adikmu! Semua pekerjaan ia lakukan, tapi kamu tidak pernah membantunya. Apa kamu tahu, adikmu itu capek, seharian membantu Ibu. Di mana hati kamu, hah, Mori?" pekik N'dai saat mendapati Mori yang terus bergelud dengan benang-benangnya. 

Tidak ada sanggahan dari Mori, bahkan untuk membela diri. Dalam hati, ia juga mengaku salah. Namun, pekerjaannya sebagai penenun hingga memiliki uang banyak membuatnya memilih egois. Tidak mudah, sakit hati dengan ucapan Ibunya seakan membatu di hati Mori. 

Hingga sampailah pada batas kesabaran N'dai terhadap Mori yang di matanya terkesan tidak mengindahkan. N'dai berniat memberi pelajaran pada putri pertamanya itu. 

Selepas dari kebun, Kayine buru-buru memasak karena sudah lapar. Saat itu, N'dai memerintahkan Kayine untuk memasak seadanya saja, takaran beras untuk dua orang saja. Kayine tidak berani protes, apalagi bertanya. 

Gadis penurut dan pendiam itu menjalankan apa yang dikatakan Ibunya. 

Semua makanan telah masak, Kayine dan N'dai makan bersama. Memang sudah seperti ini, Mori tidak pernah makan bersama Ibu dan adiknya karena perasaan sungkan dan bersalah. Mori akan ke luar kamar setelah Kayine dan N'dai kembali ke kebun. 

Setelah makan, N'dai meminta Kayine untuk mencuci semua piring, sisa nasi di dalam belanga diberikan pada kucing peliharaan mereka, serta membersihkan rumah dari bekas makan mereka hingga tak satu pun makanan tersisa. Rumah kecil mereka benar-benar bersih dari makanan. 

"Biarkan saja kakakmu, biar tahu rasa dia. Begitulah kalau anak pemalas," gerutu N'dai setelah semua selesai dikerjakan oleh Kayine. 

Saat sore hari, di mana matahari masih hangat-hangatnya, N'dai dan Kayine kembali ke kebun untuk melanjutkan pekerjaan mereka. Sementara di rumah, Mori yang lapar ke luar dari kamarnya. 

Mori membuka tudung nasi, tapi tidak ada apa-apa di dalamnya, begitu pun dengan alat masak, benar-benar bersih tanpa bekas ataupun bau. Betapa sedih hati Mori dengan suara perut yang keroncongan. Mori menangis, rasa bersalah, dilema membuatnya tersungkur. Mori pun mengangkat tangannya, berdoa pada Sang Kuasa agar diberi petunjuk untuk kehidupannya. 

Sesaat kemudian, Mori bangkit. Dihapusnya air mata yang membasahi wajah cantik. Mori lalu masuk kembali ke kamar, merapikan kain-kain hasil tenunannya dan mengisi ke dalam sebuah peti. Hanya satu kain yang ia tinggalkan, kain paling indah dari hasil tangannya untuk Ibu dan adik tercinta. Ia berharap, kain itu bisa mengubah nasib keluarga kecilnya. 

Selesai mengisi semua barangnya, Mori ke luar dari kamar. Ia berjalan dengan melihat ke lantai kayu yang berlubang. Hampir setengah jam Mori mengelilingi rumahnya, sampai ia menemukan satu bulir nasi yang tersisip di antara papan rumah. Dengan gembira, Mori duduk di depan sebulir nasi itu, mengeluarkan peniti lalu mengambil bulir nasi dengan peniti tersebut. Penuh rasa syukur, Mori memakan nasi itu. Air mata kesedihan pun mengiringi. 

Tak ingin lagi menjadi beban ibu dan adiknya. Mori yang telah mengambil keputusan duduk di jendela rumahnya. Ia bernyanyi lagu sedih hingga burung-burung tertarik untuk mendekat. Setiap satu baru yang datang, Mori meminta satu helai bulunya untuk dijadikan sayap. Burung-burung yang iba pun memberikan bulu mereka, berharap Mori bisa menemukan kehidupannya. 

Pukul lima sore, helai-helai bulu dirangkai Mori menjadi sepasang sayap. Dengan keahlian Mori dalam menenun, Mori dapat menciptakan sepasang sayap yang indah dengan warna cerah. Siapa pun yang akan melihat sayap itu, pasti akan menaruh hati. 

Atas izin Tuhan, Mori menjelma menjadi seekor buruk yang cantik. Peti barangnya ia ubah menjadi kecil lalu menjepitnya di antara sayap. Mori pun terbang terbebas. Melewati pepohonan, sungai, dan bernyanyi bersama burung lain dengan gembira. 

Sebelum pergi untuk selamanya dari keluarga tercinta, burung Mori meninggalkan beberapa kain hasil tenunan yang indah, lalu terbang ke kebun ibunya. Ia hinggap di atas sebuah ranting di dekat sang ibu dan Kayine. Mori ingin menyampaikan salam perpisahan, dan keinginannya untuk pergi ke negeri Matahari. 

Mori menyanyikan lagu agar N'dai menyadari bahwa inilah dirinya sekarang, seekor burung cantik yang akan mengembara mencari kehidupannya. 

"Aku putri cantik, pengembara yang kelaparan, akan menjadi istri pangeran." 

Begitulah syair lagu Mori. 

Satu kali, N'dai tidak menghiraukan nyanyian burung itu karena ia tidak mendengar dengan jelas suaranya. 

Mori kembali bernyanyi sembari terbang lebih dekat. Namun, kali ini N'dai merasa terganggu dengan nyanyian itu. 

"Burung apa ini? Berani sekali menyebut nama pangeran!" kata N'dai emosi sambil melempar sebuah ranting ke arah burung itu. 

Ini untuk kedua kalinya Mori bernyanyi dan mendapat perlakuan seperti itu. Hatinya semakin sakit. 

Tiga kali, Mori terbang mengitari sang ibu dengan nyanyian yang lebih keras, tapi begitu mendayu. Tanaman di sekitar N'dai mendadak ikut menangis. Bergetarlah hati N'dai. Ia pun sadar, burung itu adalah jelmaan putrinya. 

N'dai berlari ke rumah segera dengan harapan bahwa firasatnya itu tak pernah benar. Ia pergi dengan air mata, lalu merengsek masuk sambil memanggil nama Mori. 

"Mori, di mana kau, Nak?" N'dai mencari keberadaan Mori di rumah kecil mereka. 

Namun, di dapur, di kamar, bahkan di sumur pun, N'dai tak menemukan putrinya itu. Hanya beberapa kain hasil tangan Mori yang tertinggal. N'dai terduduk di lantai bersama air matanya. Kiyane pun menyusul dan menemukan tangisan sang ibu. Keduanya sama-sama dirundung kehilangan ketika sadar jika Mori telah pergi. 

Sesal N'dai tersebab tidak memahami apa yang dilakukan Mori selama ini. Mori menenun untuk membuat kain yang indah sehingga ia bisa menjualnya ke pasar. Namun, N'dai tidak mengerti, mengira Mori bermalas-malasan dengan kain-kain itu. 

"Mori, pulang, Sayang! Maafkan Ibu. Ibu tidak memahamimu. Ibu gagal menjadi Ibumu. Mori, jangan tinggalkan Ibu," pinta N'dai diiringi tangis bersama Kayine yang juga merasa kehilangan kakak tercinta. 

Namun, apa hendak dikata? Mori telah memilih jalannya sendiri. Ia berharap, hasil tangannya bisa melunasi semua salahnya terhadap keluarga. Kain itu akan mengubah kehidupan keluarganya. 

Meninggalkan keluarga, berkelana menyusuri sungai, Mori begitu bebas sebagai burung. Ia selalu menyanyikan syair impiannya. Ada yang merasa iba dengan nyanyian itu, ada pula yang tidak suka hingga sering melempari Mori dengan batu. 

Mori tak menyerah, kehidupannya sebagai burung dengan tujuan mencari pangeran hidupnya adalah hal yang jalani dengan hati. Tidak peduli seberapa besar goda dan cobaan yang ia hadapi. 

Hingga pada suatu hari, dalam pencarian pangeran hidupnya, Mori mampir di pinggir sungai dengan maksud menanyakan letak Kerajaan Matahari. Mori menyanyikan syair impiannya hingga didengar oleh orang-orang yang sedang mencuci dan memancing. 

Mori bertanya pada seorang yang sedang mencuci, tetapi makian keras ia terima. 

"Burung tidak tahu malu! Jangan sebut nama pangeran. Kau hanya burung!" bentak wanita itu sambil melempari Mori dengan batu sungai. 

Mori pun pergi dan kembali bertanya pada seorang yang sedang menangkap udang. 

"Aku putri cantik, pengembara yang kelaparan, akan menjadi istri pangeran. Di manakah pangeranku?"

"Aku juga kurang tahu, wahai burung. Cobalah engkau tanya pada orang lain," jawab pria itu ramah. 

Dengan syair terima kasih, Mori meninggalkan pria itu dan memanjatkan doa kebaikan untuk si pria. 

Mori melanjutkan pengembaraannya hingga ia bertemu dengan seorang pemancing. Mori pun kembali bernyanyi dengan menanyakan pangerannya. 

"Aku putri cantik, pengembara yang kelaparan, akan menjadi istri pangeran. Di manakah pangeranku?"

"Oh, Pangeran Negeri Matahari, ya? Jika dikau sungguh-sungguh, susurilah sungai ini. Kau akan sampai di Kerajaan Matahari," jawab pak tua itu. 

Syair terima kasih dan doa pun diucapkan Mori untuk pak tua. Pak tua membalasnya dengan doa kebahagiaan yang serupa. 

Setelah itu, Mori pergi. Mengikuti kata pak tua, menyusuri sungai yang begitu panjang. Berbagai cobaan menghadang Mori, tapi dengan gigih, Mori melewatinya. 

Singkat cerita, Mori akhirnya tiba di hulu sungai yang merupakan perbatasan Bumi dan Negeri Matahari. Dengan hati gembira, Mori memasuki perbatasan. Ia terbang di wilayah Kerajaan Matahari yang makmur dan sejahtera. Betapa bahagia wajah-wajah manusia di Negeri Matahari, negeri yang dipimpin oleh seorang raja yang arif lagi bijaksana. 

Saat kedatangannya, kerajaan menyelenggarakan pertandingan olahraga untuk hari jadi ke-14 tahun pangeran mahkota. 

Halaman depan kerajaan begitu ramai dengan orang-orang yang bersorak gembira. Keseruan amat kentara dari tiap-tiap pertandingan. Terlihat juga raja dan ratu yang duduk di kursi kebesaran sambil menikmati dan memantau jalannya pertandingan, serta pengeran kecil yang begitu tampan nan rupawan. 

Di tengah sorak-sorak gembira, Mori menyanyikan lagu impian. Ia berharap, ada yang mendengar suaranya. 

"Aku putri cantik, pengembara yang kelaparan, akan menjadi istri pangeran. Di manakah pangeranku?"

Benar saja, raja yang begitu jeli, mendengar nyanyian Mori. Seperti seekor rubah bulan, raja menajamkan pendengarannya. 

"Tunggu sebentar. Hentikan sejenak pertandingan ini!" titah Raja Matahari pada semua orang di halaman. 

"Ada apa, wahai Raja?" tanya seorang hamba. 

"Dengarlah. Ada burung yang bernyanyi merdu sekali. Syairnya indah," jawab Raja Matahari sembari mencari asal suara itu. 

Para hamba pun ikut mencari. Sampai seseorang melihat burung Mori di atas ranting pohon kapuk. Mori bernyanyi dengan penuh perasaan. Sejenak, suasana hening karena mendengar nyanyian Mori yang bermakna mencari cinta, kerinduan, dan kesedihan. 

"Ayahanda, Ananda ingin burung itu," ucap Pangeran Kecil memecah keheningan. 

Apa yang tidak bagi putra tunggal kesayangan. 

"Oh, tentu," ucap Raja Matahari sambil membelai rambut putra kesayangannya. "Pengawal, tangkap burung itu dan persembahkan untuk putraku!" titah Sang Raja pada hamba.

"Laksanakan!" seru para hamba lalu bergegas ke pohon kapuk itu. 

Satu per satu mereka memanjat pohon untuk menangkap burung Mori yang terlihat jinak. Namun, semakin mereka mendekat, burung Mori semakin menjauh. 

Para hamba merasa heran, tapi terus memanjat hingga tinggi. Semakin tinggi, takut jatuh pun hinggap di hati. 

"Ada apa dengan burung ini? Mengapa dia tidak mau mendekat?" gumam salah seorang hamba yang mencoba mendapatkan burung Mori demi Pangeran Kecil. 

Raja yang menyaksikan pun jadi heran. 

"Wahai, hamba. Ada apa di sana? Mengapa kalian belum mendapatkan burung cantik itu?!" tanya raja dari kejauhan. 

"Maafkan kami, Raja-ku. Namun, burung ini selalu menjauh kala kami mendekat," terang seorang hamba yang lelah. 

Raja Matahari menatap putranya yang tiba-tiba bangkit lalu berjalan mendekati pohon kapuk. Para hamba memberi pangeran jalan. 

"Apa yang akan Pangeran lakukan?" tanya hamba sambil memperhatikan pangeran yang melepas jubah pangeran dan mahkotanya. 

"Biar aku saja yang memanjat. Mungkin, burung ini ingin aku sendiri yang mengambilnya. Aku yang menginginkan, jadi aku yang seharusnya memanjat," ucap Pangeran Kecil dengan penuh keyakinan. 

Tiada yang bisa membantah apa kata pangeran negeri yang begitu kentara sahajanya. 

Dengan sekuat tenaga, Pangeran Kecil memanjat pohon kapuk itu. Semua mata melihat perjuangan Pangeran Kecil. Peluh bercucuran, tangannya yang begitu mulus kini lecet karena goresan ranting. 

Senang hati burung Mori. Pangerannya adalah sosok yang begitu gigih atas apa yang diinginkan. Dengan nyanyian cinta, burung Mori turun mendekati Pangeran Kecil yang memanjat semakin tinggi. Pangeran Kecil tersenyum kala melihat burung cantik itu mendekat. Semua yang melihat pun tercengang. 

Tak berapa lama, burung Mori sudah berada di tangan Pangeran Kecil yang nampak bahagia. Pangeran kecil turun dan langsung menempatkan burung cantiknya dalam sangkar dari emas. 

"Sungguh hatimu memelihara burung cantik bersuara merdu ini, wahai Ananda. Jangan dikau biarkan ia lapar dan kedinginan," Pesan Raja Matahari pada putranya. 

"Baik, Ayahanda. Ananda akan merawatnya dengan baik sebagai teman," jawab Pangeran Kecil. Sang Raja tersenyum, kini putra kecilnya yang manja mulai tumbuh dewasa. 

Mulailah hari-hari burung Mori di istana yang megah bersama Pangeran Kecil. Mereka menghabiskan waktu bersama, bermain, dan menyapa rakyat yang sejahtera. 

Dalam hati, Mori tak menyesal telah menjatuhkan hatinya pada pangeran yang begitu baik. Meski Pangeran Kecil begitu manja, tapi kebaikan hati dan kesungguhannya menutup semua itu. Wajarlah bagi Mori kalau Pangeran Kecil bersifat manja, usianya juga masih terlampau muda. 

Malam hari yang dingin, ratu pergi ke kamar Pangeran Kecil untuk mendongenginya. Namun, kali ini Pangeran Kecil menolak. 

"Ibunda, Ananda sudah dewasa. Tak ingin merepotkan Ibunda. Tidurlah, Ibunda. Ananda akan tidur bersama burung cantik," ujar Pangeran Kecil pada Sang Ratu yang tersenyum dengan mata berbinar. 

Kini, putra kecilnya sudah dewasa. Berat hati karena terbiasa mendongengi Pangeran Kecil, tapi apalah daya, Sang Ratu harus melihat putranya dewasa. Ratu membelai rambut Pangeran Kecil. 

"Baiklah, ananda. Ibunda begitu senang melihatmu. Sekarang dikau begitu bijak seperti Ayahandamu. Tidurlah cepat," ucap Sang Ratu dengan mata berkabut. Tersentuh hatinya. 

"Terima kasih, Ibunda," jawab Pangeran Kecil lalu meletakkan sangkar emas burung cantiknya di dekat tempat tidur. 

Selesai mengecup singkat dahi Pangeran Kecil, ratu keluar dari kamar, membiarkan Pangeran Kecil bermain sebentar dengan burung cantiknya. 

Pangeran Kecil tersenyum pada Burung Mori, meskipun kantuk mulai menguasainya. 

"Burung cantik, bisakah engkau menyanyikan lagu indah untukku? Aku teringin dinyanyikan sebelum tidur," ucap Pangeran Kecil dengan mata yang sudah begitu berat. 

Senang hati, Mori menyanyikan lagu indah dengan suara yang begitu merdu. Dalam sesaat, Pangeran Kecil terlelap. Mori mengibaskan ekornya, bahagia. Berdoa agar Pangeran Kecil tumbuh sehat dan menjadi pangeran yang baik bagi seluruh alam. 

Saat Pangeran Kecil tertidur, menjelmalah burung Mori menjadi manusia. Sungguh, Mori kini begitu cantik dengan kain hasil tenunannya. Resah hati pun menghampiri. Bagaimana cara ia akan mandi, makan, dan sebagainya dengan rupa manusia? Mori tak ingin jati dirinya diketahui sekarang. 

Sedihlah hati Mori. Sesal ia rasakan, harusnya ia tak mendesak waktu, membiarkan waktu membawanya bertemu Pangeran Kecil. Biarlah ia menanti di gubuk tua, pula ranting-ranting bersama burung dan hewan lain. Sekarang, ia terkurung dalam kamar pangeran. Menjadi burung pun terkurung dalam sangkar. Tiada bebas baginya. 

Mori kembali berdoa, memohon agar diberi petunjuk atas jalan yang telah ia pilih. Tuhan pun mengabulkan doa Mori. 

Setiap hari menjelang subuh, maka tertidurlah semua dayang istana. Mori bisa ke luar kala itu untuk mandi dan makan sebagai manusia. Mori pun iklas menjalani atas jalan yang telah ia bulatkan. 

Pagi harinya, istana heboh dengan makanan dan air yang habis. Raja dan ratu teramat heran dengan kejadian ini yang membuat para dayang harus memasak dan mengumpulkan air lagi. 

Mori hanya bisa meratapi salahnya, ia terpaksa. Mori pun berdoa agar para dayang diberi kekuatan untuk mengerjakan tugas yang lebih berat. Ia menyanyikan lagu penyemangat untuk para dayang setiap paginya. Para dayang begitu gembira, terhibur sampai lupa akan lelah. Mereka menyukai burung cantik pangeran yang membuat pangeran semakin menyayanginya. 

Singkat cerita, tujuh tahun berlalu. Pangeran Kecil kini tumbuh menjadi pemuda yang gagah nan rupawan dengan kebaikan hati yang harum keseluruh negeri. Rakyat mencintainya, selalu mendoakan yang terbaik untuk pangeran yang sebentar lagi akan dinobatkan sebagai Raja Matahari. 

Ketampanan dan kebaikan hati Pangeran Kecil yang tersohor, membuat banyak putri-putri raja dan para bangsawan menaruh hati padanya. Dari negeri sendiri maupun negeri tetangga, memuji kesempurnaan Pangeran Kecil. Tak sedikit, raja dari negeri tetangga bertandang ke negeri Matahari untuk menjodohkan putrinya dengan Pangeran Kecil. Namun, Pangeran Kecil kerap menolak. 

Banyak hati yang resah, termaksud Mori. Takut ia kalau Pangeran Kecil akan menyukai wanita lain. Sementara raja, ia begitu prihatin dengan putranya yang tak ingin mempersunting satu pun wanita. 

"Ananda Pangeran Kecil, apalah gerangan hingga ananda tiada ingin menikah? Ayahanda dan Ibundamu ini teramat ingin menggendong cucu. Kau pun sebentar lagi akan menggantikan Ayahanda, menikahlah segera," pinta Raja Matahari begitu berharap. 

"Maafkan ananda, wahai Ayah. Belumlah ada rasa cinta ananda pada satu pun wanita sampai kini. Ananda tak ingin menikah tanpa ada rasa cinta," tutur Pangeran Kecil sembari melihat Mori yang bulunya semakin indah nan cantik. 

"Haruskan Ayahandamu ini meminangkan seorang dewi untukmu, wahai Ananda? Dikau telah dewasa, Ayahanda teringin dikau segera mempunyai istri. Kasihan Ayahanda dan Ibundamu ini yang sudah tua, amat ingin hati punya cucu darimu," ucap Raja Matahari, menatap lekat Pangeran Kecil. 

Gusar sudah hati Pangeran Kecil. Berat rasanya. Entah apa yang harus ia lakukan? Diam sejenak, lalu berpamitan untuk memikirkan permintaan ayahnya untuk segera menikah. Tak lupa, Pangeran Kecil membawa burung cantik. Sekadar ingin menyanyikan lagu keresahan hati untuknya. 

Di Taman Indah, Pangeran Kecil mencurahkan isi hatinya. Berharap angin membawa pesan resah pada cinta sejati yang entah di mana rimbanya. 

"Wahai angin, sampaikan pada cintaku yang tak kunjung datang perihal diriku yang teringin ia datang segera. Katanya dalam mimpi, ia akan segera hadir, lalu aku meminangnya. Teramat rindu aku," ucap Pangeran Kecil pada angin yang menyapa. 

Namun, apalah kata angin. Ia diam, menyapa Mori yang begitu tersentuh hati. Bicaralah angin pada Mori yang bersama Pangeran Kecil. 

"Mori, sudah saatnya engkau menemui Pangeran Kecil. Janganlah engkau biarkan ia lama menunggu, resah dan merana hatinya karena menantimu. Engkau telah berjanji, wahai Mori," kata angin pada Mori yang ingin menangis. 

"Wahai angin, apakah pantas diriku, seorang wanita yang meninggalkan ibu dan adik, bersama dengan pangeran berhati emas? Daku telah melakukan teramat banyak salah. Pastaskan, wahai angin?" tutur Mori bersedih hati. 

"Doamu pada setiap lagu, sudah cukup membalas semua salah. Dengarlah dariku, betapa ibu dan adikmu tercinta telah bahagia dan merestui apa yang teringin engkau lakukan. Akhirilah semuanya, wahai Mori," ucap angin menenangkan hati sedih Mori. 

Menangislah Mori hingga lagunya begitu sedih di telinga Pangeran Kecil. Pangeran Kecil merasakan sedih hati nyanyain itu. Sungguh, membuat air mata Pangeran Kecil jatuh. 

"Wahai Burung Cantik, apalah yang harus daku perbuat. Teramat sedih hatiku dengan syair lagu dukamu. Tertambah resah hatiku," ucap Pangeran Kecil sembari membasuh air matanya. 

Tiada jawab dari Mori yang juga dirundung pilu dan resah hati. Kini, mereka diam, bersama Angin yang tak bisa pergi membawa pesan. 

Berhari-hari Mori menyanyikan lagu gundah nan gelisah, syair sedih Mori ternyata juga terdengar oleh para dayang istana. Bersedih juga hati mereka hingga lelah begitu mudah menghampiri. Tiada semangat dalam memasak dan mengumpulkan air, sementara berlanjut hari, makanan dan air selalu habis setiap paginya. 

Raja pun tidak bisa membiarkan hal ini. Berkumpul semua menteri kerajaan untuk membahas masalah habisnya air dan makanan setiap pagi. Banyak cara diusulkan para menteri dan berbagai perangkap pun dipasang pada dapur dan tempat permandian. 

Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Mori yang masih bersedih hati. Setiap subuhnya, ia dengan mudah melewati perangkap di dapur dan permandian menggunakan wujud burung. Tiada berhasil rencana yang membuat penghuni istana semakin resah. 

"Siapa gerangan pencuri makanan dan air ini? Begitu lihai ia melewati perangkap," tutur seorang menteri. 

"Pastilah bukan mahkluk biasa," sambung menteri lainnya. 

Pangeran Kecil yang mendengar hal itu pun melihat Mori yang kerap menyanyikan lagu sedih, meski tak ada yang meminta. Kecurigaan hinggap di hati Pangeran Kecil terhadap burung cantiknya. Pasalnya, masalah ini mulai terjadi bersamaan dengan kehadiran burung cantik di istana. 

"Ayahanda, biarkan ananda menyelesaikan masalah ini," pinta Pangeran Kecil begitu kentara keseriusannya. 

"Atas izin ayahanda, lakukanlah!" jawab Raja Matahari pada putranya yang begitu sungguh-sungguh. 

Mulailah Pangeran Kecil mencari cara, meskipun begitu besar keraguannya kalau burung cantiknya penyebab semua masalah. Analisis dari otak cerdasnya, membuat curiga itu pada burung cantik. 

Malam hari, Pangeran Kecil enggan memejamkan mata. Dirinya mondar-mandir di kamar, memikirkan cara apa untuk membuktikan kecurigaannya. Mori yang dirundung resah, lengah atas hal ini.

Keesokan malamnya, Pangeran Kecil menutup matanya untuk tidur. Namun, bukannya berkelana di alam mimpi, Pangeran kecil menajamkan pendengaran terhadap setiap suara di kamarnya. Ia berniat menjebak burung cantik, kalau kecurigaannya adalah benar. 

Lewat tengah malam, belum ada yang terjadi. Sepi dan senyap kamar Pangeran Kecil. Burung cantik juga tertidur dengan pulas. Terkikislah kecurigaan Pangeran Kecil pada burung cantiknya. 

'Ah, tiada mungkin burung cantik adalah pelakunya. Ia hanya seekor burung bersuara emas. Apalah yang harus kulakukan untuk membantu Ayahanda?' 

Begitulah resah hati Pangeran Kecil yang terus mengawasi burung cantik. 

Kantuk menyerang, Pangeran Kecil memutuskan untuk tidur. Meskipun begitu, ia tak lengah. Tidur-tidur ayam Pangeran Kecil malam ini. 

Menjelang subuh, kala ayam mulai berkokok dan para dayang istana tertidur dengan pulas, mulailah Mori mengumpulkan nyawanya yang tadi berkelana di alam mimpi. Sebisa mungkin, setiap gerakan tidak menimbulkan suara. 

Perlahan, burung cantik membuka pintu sangkar emasnya. Ia lalu ke luar dari sana, mengibaskan ekor dan sayap yang indah. Pangeran Kecil yang tidur ayam, mendengar suara burung cantik. Dengan ujung mata, Pangeran Kecil melihat burung cantik yang telah di luar sangkar. 

'Dewata, apalah yang terjadi? Mengapa burung cantikku bisa ada di luar sangkarnya? Bagaimana ia keluar dari sana?' 

Mori yang tiada menyadari, mulai mengubah wujudnya. Dilepasnya satu per satu sayap yang indah itu hingga menyisakan wujud manusia yang jelita, dibalut kain tenun yang cantik. Sungguh, tercenganglah Pangeran Kecil. 

Tiada berlama-lama, Pangeran Kecil bangun dari ranjang, menyambar sayap burung cantik yang masih tercecer di lantai. Betapa terkejut Mori. Ingin mendahului Pangeran Kecil, tetapi kecepatannya tidaklah sebanding dengan kecepatan burung. 

Pangeran Kecil yang berhasil mendapatkan sayap burung cantik, langsung membuangnya ke luar jendela. Anjing penjaga istana pun langsung menyambutnya dengan sukacita, menjadikan santapan kala itu juga. 

"Pangeran Kecil! Apalah yang dikau lakukan? Kembalikan sayapku!" ucap Mori yang kini terbongkar rahasianya. Sedih hati melihat sayapnya dimusnahkan. 

"Jadi selama ini …." 

Tidak lanjut Pangeran Kecil bicara, Mori berlari menuju pintu, ia hendak melarikan diri karena merasa belum siap. Air mata pun bercucuran bersama langkah lemah tersebab telah lama menjadi seekor burung. 

Sigap Pangeran Kecil menahan tangan Mori, mengunci setiap pergerakan, lalu menjatuhkan tubuh mereka ke atas tempat tidur. 

"Aku tidak akan membiarkanmu melarikan diri," tegas Pangeran Kecil. Mori memberontak, mencoba melepas pegangan Pangeran Kecil. Namun, tiada berhasil. 

Suara gaduh dari kamar Pangeran Kecil, membuat raja dan ratu terundang, dan menerobos masuk ke dalam kamar. Betapa terkejut, teriris hati Sang Raja melihat putranya dengan posisi tak wajar bersama seorang wanita. 

Murka, raja mendekati Pangeran Kecil, memisah jarak antara putranya dengan gadis cantik yang menangis ketakutan. Tamparan keras dilepas begitu saja di pipi Pangeran Kecil. 

"Sudah butakah mata hatimu, Wahai pangeranku? Setan apa yang telah mengusai dirimu hingga melakukan hal tak senonoh seperti ini? Jelaskan pada Ayahanda!" pekik Raja Matahari dengan amarah yang meluap. 

Mori yang menyaksikan hal itu, kian dirundung sesal. Kekacauan ini disebabkan olehnya. Makin hancur hati Mori kala melihat air mata kekecewaan Sang Ratu menetes. Tiada habis Mori mengutuk diri, berdiam tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. 

Namun, beda dengan Pangeran Kecil yang nampak gembira. Gadis yang terisak di sudut sana, tiada lain adalah gadis yang berjanji dalam mimpinya. Telah dipertemukan ia dengan gadis pujaan hati, rindu pun terobati. 

"Ayahanda, dengarlah ananda menjelaskan. Aku tidak akan melakukan hal buruk seperti itu. Ayahanda, dialah burung cantik, orang yang telah menghabiskan air dan makanan kita selama ini, pula putri yang telah senantiasa berdoa untuk kita disetiap syairnya," jelas Pangeran Kecil pada Raja Matahari. 

Terheran-heran Raja Matahari dengan penjelasan tersebut, sedikit tidak masuk akal menurutnya. Namun, senyum Pangeran Kecil yang tidak menampakkan takut, membuat Raja terdiam.

Mendekatlah Pangeran Kecil pada ibundanya. 

"Wahai Ibunda, janganlah menangis. Berdosa nian ananda dengan air mata Ibunda," ucap Pangeran Kecil sembari membasuh air mata ibundanya. "Ibunda dan Ayahanda teringin ananda menikah, bukan? Hari ini, ananda akan menikahinya," lanjut Pangeran Kecil. 

Pangeran Kecil lalu mendekati Mori yang masih terisak. Diajaknya gadis itu berdiri, kemudian dipeluk dengan hangat dan penuh kasih. 

"Sudah, wahai Putri. Ini bukanlah salahmu, tiada salah pula takdir yang membuatmu lebih dulu dariku di dunia fana ini. Tersenyumlah, nyanyikan lagu bahagia teruntuk kita semua," ucap Pangeran Kecil pada Mori, kian tersentuh hatinya hingga tertumpah semua air mata kesedihan dalam pelukan Pangeran Kecil. 

Kini, tersambutlah hari bahagia bagi semua orang. Atas titah raja, ibu dan adik Mori, Kayine, diundang ke istana untuk menghadiri pernikahan Mori dan Pangeran Kecil. 

Begitu bahagia Mori, ia bisa bertemu lagi dengan ibunda dan adik tercinta. Berpelukan mereka, melepas rindu yang sekian lama menyesakkan dada. Kebahagiaan pun dirasakan Raja dan Ratu Matahari, kini putra tunggal mereka telah menikah. Lega hati mereka. 

Berbahagialah mereka, menjalani kehidupan di hari esok yang teramat penuh goda dan coba dengan hati ikhlas dan doa untuk sesama. 

Tamat. 

Wakai, 27 Agustus 2021.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)