Masukan nama pengguna
Namanya Run, aku biasa memanggilnya begitu. Nama aslinya Kairun, tanpa nama belakang atau depan. Satu kata itu saja yang membuat namanya mudah diingat.
Belakangan, aku merasa menjadi manusia tidak normal karena dirinya. Titik gejala awal, aku hanya mencuri pandang setiap kali melihat dia lewat di depan kelas atau kantin. Gejala kronisnya, aku menjadikan salah satu fotonya yang didapat secara diam-diam sebagai wallpaper ponsel.
Aku tidak tahu bagaimana penyakit yang membuatku tidak normal ini bermula. Yang jelas, aku dan Run adalah awal yang biasa saja.
Run terkenal introvert. Hawa keberadaannya tipis. Kadang, satu sekolah, kecuali guru-guru, bisa saja melupakan kehadiran dirinya. Tidak mencolok dari sisi mana pun, tidak pernah membuat masalah atau prestasi di sekolah sehingga tidak terkenal, dan dia jarang mengikuti ekstrakurikuler.
Soal tampang, dia biasa saja, itu awalnya. Namun, sejak penyakit ini datang, aku merasa dia yang paling tampan di sekolah.
Semua bermula di kantin. Aku lapar pada jam istirahat pertama dan memutuskan makan di salah satu kantin sekolah. Aku memilih tempat duduk paling ujung karena di sana tidak ada siswa lain yang menempati. Ketika menikmati mie dan bakwan, aku melirik ke samping dan sedikit menelengkan kepala untuk melihat dari sudut yang lebih rendah. Ada seseorang duduk di sampingku.
Masih dengan mie yang menggantung di mulut, aku memperhatikan siswa itu. Tag namanya Kairun. Jadi, aku tahu namanya Kairun. Dari dagu hingga dahi pada posisi menyampingnya, aku perhatikan dengan saksama.
Hidung siswa bernama Kairun ini mancung. Bibirnya yang menguyah nasi kuning sedikit berminyak dan mirip buah apel. Kulitnya putih dengan bulu mata lentik. Ada jam yang melingkar di tangan, juga tinta pulpen yang menodai jari jempolnya. Ada tahi lalat di dekat ekor mata kanannya yang benar-benar berkesan.
Lumayan ganteng menurutku.
Lama sekali aku melihatnya dalam posisi seperti itu. Parahnya, aku belum menyeruput mie dan masih menggantung di mulut. Fatalnya lagi, Kairun menoleh ke arahku hingga pandangan kami bertemu.
Sialan memang. Sepertinya aku ketahuan.
Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan dan melanjutkan makan yang sempat tertunda. Dia di sampingku juga sepertinya tidak peduli.
Selesai makan, kami keluar dari kantin dan berpisah begitu saja. Aku sangat menyayangkan kesempatan singkat, melihat siswa tampan yang seketika mengisi kepalaku. Ah, bodoh memang.
Sejak itu, aku mencari tahu semua hal tentang Kairun. Setiap kesempatan, aku mencuri lihat kepadanya. Paling aku suka ketika mata pelajaran PJOK sebab kelas kami akan berada di jadwal yang sama. Kami bertemu di lapangan dan berinteraksi lebih dari sekadar melihat.
Dari teman-teman, aku mengetahui bahwa Kairun suka membaca komik. Tempat favoritnya adalah perpustakaan. Dia lumayan pintar dan berada di peringkat tujuh sejak semester satu hingga sekarang; kelas sebelas, semester tiga masuk empat. Dia suka menggambar dan tidak pernah bergantung kepada orang lain untuk masalah tugas rumah atau sekolah. Menurutku, dia siswa teladan. Selain mengisi semua tugas, dia juga tidak pernah datang terlambat.
Ketika mengenalnya pada titik ini, idolaku bukan lagi Ketua OSIS atau Ketua PMR yang hampir semua siswa memuji mereka sebagai yang paling keren, ganteng, dan menjadi bintang. Bagiku, Kairun jauh melebihi mereka.
Aku mulai mencuri-curi kesempatan untuk bicara dengannya. Akan tetapi, Kairun benar-benar hemat kata, cuek, dan sering menghindar dariku. Karena itu, aku butuh alasan yang bukan saja sekadar kesempatan untuk dekat dengannya.
Anggap saja aku sedang pdkt.
Menurut informasi dari siswa dan guru, Kairun lumayan pintar. Peringkat tujuh rasanya memang tidak buruk daripada aku yang hanya menempati peringkat sepuluh. Artinya, pengetahuan Kairun lebih baik daripada aku.
Ini kesempatan.
Ujian semester empat tidak lama lagi. Guru-guru mulai membagikan kisi-kisi soal ujian. Kami mulai melengkapi tugas yang belum selesai. Seingatku, aku punya tugas di semester tiga yang belum selesai. Tugas itu sulit dan parahnya, meski mencari di internet, hasilnya tidak ditemukan.
Karena aku dan Run satu jurusan, juga dia lebih pintar, mengapa aku tidak meminta bantuannya?
Tempat favorit Kairun adalah perpustakaan. Tanpa mencari dari sudut ke sudut, aku langsung ke gudang buku sekolah. Benar saja; dia berada di sana dan sedang membaca ensiklopedia. Teladan memang.
Aku langsung masuk, mendekat, lalu duduk di depannya bersama buku yang aku letakkan di antara kami. Jangan tanya lagi bagaimana detak jantungku saat berhadapan, berdua di perpustakaan dengan Kairun. Aku bahkan merasa sekujur tubuhku sudah sedingin mayat, tetapi berkeringat. Apakah ini yang namanya berkeringat dingin?
Kairun melihatku tanpa ekspresi yang berarti. Tatapannya benar-benar membuat kekacauan dalam dada bertambah parah.
"Aku punya tugas dari UTS yang belum selesai sampai sekarang. Kalau nggak keberatan, boleh aku minta bantuan? Aku dengar kamu salah satu yang berhasil menyelesaikan tugas ini." Aku langsung ke intinya, takut dia pergi karena aku.
"Ada teman sekelasmu yang juga menyelesaikan tugas ini." Dia menjawab cepat, tetapi nadanya tidak enak didengar.
Dia kurang peka juga ternyata. Tidak tahu saja dia kalau aku sedang berusaha untuk menjadi dekat. Ternyata tidak mudah menyukai jenis manusia yang tidak peka seperti Kairun.
"Anis udah lupa katanya. Dia ngarahin aku ke kamu. Ibu Dias juga bilang buat minta penjelasannya ke kamu." Bohong, tetapi aku terpaksa demi kesempatan yang aku perjuangkan selama beberapa bulan ini.
"Mau, ya, Run. Nanti aku traktir, deh." Aku mode memaksa, mendesak, dan mengeluarkan jurus wajah memelas.
"Kairun." Dia protes karena dipanggil Run.
"Run aja biar singkat." Aku tersenyum paksa dan langsung membuka buku. Terima atau tidak, dia harus membantuku.
"Duduk sini. Biar bukunya nggak kebalik." Dia menepuk ruang kosong di sampingnya.
Tanpa dia suruh pun akan langsung ke sana. Tanpa ba-bi-bu juga aku duduk di sampingnya. Naksir orang begini ternyata rasanya. Aku jadi seperti cewek tidak punya malu.
Setengah jam dia memberiku penjelasan tentang cara mengerjakan tugas itu. Sayang sekali, fokusku hanya tertuju kepadanya. Rasa sialan ini membuatku melupakan banyak hal. Aroma darinya saja cukup membuatku membayangkan hal-hal manis jika dia mau menjadi pacarku. Keterlaluan memang.
Setelah tugasnya selesai, aku keluar lebih dari perpustakaan karena kelasku masuk. Saat itu, aku menggunakan kesempatan untuk mengambil gambarnya secara diam-diam dan aku jadikan wallpaper. Benar-benar sudah gila aku karena perasaan ini.
Sejak itu, aku selalu mencari-cari alasan untuk bertemu dengannya. Alasan apa pun, bahkan ketika itu bukan sesuatu yang penting. Dia kadang menolak, tetapi aku yang tidak mau mengalah dan anti penolakan selalu bisa menaklukkannya.
Seiring berjalannya waktu, dia mulai menerima kehadiranku. Bahkan tidak jarang dia menemuiku di kelas untuk mengerjakan tugas bersama atau makan di kantin.
Katakan saja pendekatan ini sukses. Aku berhasil menaklukan orang yang hawa keberadaannya saja setipis tisu.
Ketika semester lima, aku merasa bahwa kedekatanku dengan Run sudah cukup. Dia mengenalku, begitu juga diriku. Hingga aku putuskan untuk menyatakan perasaan duluan. Tidak masalah meski aku cewek. Tidak ada juga yang melarangku untuk menyukai Kairun. Aku rela membuang malu dan harga diri dengan niat menyatakan perasaan lebih dulu.
Namun, sebelum aku benar-benar melakukannya; menyatakan cinta dan rasa yang aku pendam selama tiga semester, beredar kabar bahwa Run memiliki pacar.
Aku tidak percaya karena tahu bagaimana sikap Run. Aku juga tidak pernah melihatnya dekat dengan cewek, selain aku di sekolah. Jadi, siapa pacarnya? Aku anggap kabar itu sebagai omong kosong. Namun, aku ingin memastikannya langsung dari mulut Kairun.
"Kamu benar-benar punya pacar? Nggak ada, kan? Aku nggak pernah lihat aku jalan sama cewek." Aku bertanya dengan hati yang mulai dingin ketika kami duduk berdua di perpustakaan.
"Iya. Aku punya pacar. Namanya Diandra. Dia kuliah sekarang. Aku dan dia pacaran sejak kami masih SMP. Udah lumayan lama. Kamu baru tau, ya? Aku dan Diandra memang nggak ketemuan di sekolah. Kami pacaran di luar sekolah aja," jelasnya yang membuatku merasa kehilangan setengah roh.
Jadi, Kairun benar-benar punya pacar. Sejauh yang aku tahu, hanya ada satu nama Diandra di sekolah ini. Dia memang sudah lulus dan katanya kuliah jurusan Kedokteran. Dia kakak kelas kami yang merupakan mantan anggota PMR dan aku pernah berada satu organisasi dengannya.
Kairun dan Diandra pacaran sejak mereka masih SMP. Aku tidak bisa membayangkan seberapa rapat mereka menutupi hubungan hingga aku yang menjadi temannya selama tiga semester ini tidak pernah tahu. Kabar itu pun datangnya dari Jesika, tetangga Kairun, yang tanpa sengaja mengungkitnya.
Hatiku ketika mengetahui fakta ini, hatiku mungkin tidak ada bentuknya lagi. Aku kecewa bahkan sempat menangis. Orang yang aku sukai selama satu tahun lebih nyatanya sudah punya pacar. Hubungan dekat kami nyatanya tidak pernah lebih dari sekadar teman. Sakit sekali.
Sejak itu, aku berinisiatif untuk menjaga jarak dengan Kairun, juga menjaga hatiku yang hancur ini. Namun, dia tetap bersikap biasa saja. Benar-benar manusia tidak peka.
Hubungan pertemanan kami berjalan seperti biasa hingga lulus sekolah. Baru setelah itu kami berpisah tanpa memberi kabar. Aku mencoba melupakan Run, mengubur perasaanku kepadanya dengan kuliah karena tahu bahwa dia mungkin tidak akan pernah membuka hatinya untukku.
Meski demikian, aku masih sering menanyakan kabarnya kepada Jesika.
Dari Jesika, aku tahu bahwa Kairun juga melanjutkan pendidikan di jurusan Arsitek. Kami berada di universitas yang sama, tetapi tidak pernah bertemu karena perbedaan jurusan.
Setengah tahun kemudian, aku dengar lagi dari Jesika jika Kairun sudah putus dengan Diandra. Kairun yang minta putus. Aku tidak tahu alasannya memutuskan hubungan dengan Diandra dan tidak bertanya juga kepada Jesika.
Tiga bulan kemudian, ada akun yang menghubungiku lewat pesan. Namanya Kairun Run. Profilnya adalah wajah yang aku kenal jelas. Aku membuka pesannya.
[Dhe, apa kabar. Ini aku, Kairun. Sudah lama kita nggak bertukar sapa. Masih ingat aku, kan? Aku masih]
Isi pesan pertamanya yang aku tidak aku balas. Kekecewaan dan sakit menerima kenyataan masih tersisa sampai sekarang. Perasaan suka masih belum sepenuhnya terkubur. Apa kabar move on dengan chat dari orang yang ingin dilupakan? Kurang asem dia.
[Dhe, aku minta maaf. Dulu, waktu kita masih SMA, aku sama sekali nggak tau. Aku harap kamu tidak sakit hati. Kalau ada waktu, kita ketemuan, ya? Aku kangen]
Ancur! Move on yang aku usahakan hampir satu tahun gagal total hanya dengan dua pesan yang diakhiri kata "Aku kangen." Sialan!
"Run, peka dikit bisa, tidak?!" Aku menjerit sambil melempar ponsel ke samping, membanting diri di tempat tidur, dan membungkus wajah dengan bantal.
Run keterlaluan, tetapi entah mengapa aku kembali memiliki harapan untuk bisa bersama dengannya. Jika bisa, bukan hanya sebagai teman atau pacar, tetapi pendamping hidup.
Tamat||
Wakai, 19 Agustus 2023.