Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,699
Kami Membuat Ibu Tobat
Drama

Kami—aku dan tiga adik laki-lakiku—memiliki Ibu yang sulit dipahami. Dia wanita yang makin dipikir akan membuat kami makin bingung. Dia adalah Ibu yang berbeda. 

Kadang, aku berpikir bahwa Ibu bukanlah wanita yang melahirkan kami ke dunia ini. Namun, melihat bagaimana Ibu mati-matian di ranjang persalinan rumah sakit saat melahirkan tiga adik laki-lakiku, melihatnya yang berjuang dengan keringat dan air mata, aku merasa bahwa dia memang ibuku, ibu kami. 

Akan tetapi, perlakuan Ibu kepada kami layaknya orang lain. Kadang pun ibu tiri tidak seperti Ibu. Anak tetangga kami punya ibu tiri, tetapi dia selalu memiliki tawa yang menurutku sangat bahagia. Jauh berbeda dengan aku atau tiga adik laki-lakiku.

Sebelum tiga adikku hadir, aku yang lebih dulu merasakan cubitan, pukulan, tamparan, dan cambuk dari Ibu. Aku yang lebih dulu merasakan lapar ketika setan wanita itu muncul. Dia akan mengurungku di kamar ketika pekerjaan rumah tidak selesai atau tidak sesuai harapannya. Dia juga tidak akan memberiku makan atau minum. Aku harus menahan lapar, haus, dan rasa sakit. Ingin melawan pun, aku sangat takut dengan Ibu, juga tidak ingin menjadi anak durhaka. 

Aku masih ingat masa-masa itu dan setiap malam pun, mimpi dicubit, dicambuk, dan dipukul oleh Ibu menghantuiku tanpa henti. 

Adik-adikku merasakannya juga meski tidak begitu parah, menurut kacamataku. Aku sering memasang badan untuk melindungi Adik-adik yang masih kecil. Aku rela terkena cambuk demi mereka. Aku rela puasa agar mereka bisa makan. 

Ibu selayaknya wanita yang tidak pernah berjuang untuk menghadirkan kami. Tidak pernah ada sayang darinya, kecuali ketika Ayah di rumah. 

Itu kami ketika kecil. 

Beranjak remaja, aku dan tiga adik yang tidak mengerti apa-apa sering melihat Ibu membawa laki-laki lain di rumah kami. Mereka berdua—Ibu dan laki-laki itu—akan masuk ke kamar tamu. Aku hanya akan membawa adik-adik ke dapur dan mengatakan kepada mereka bahwa itu tamu ibu. 

Sayang sekali, adik-adikku tidak bodoh. 

"Tamu, kok, mainnya di kamar, sih, Kak? Tamu Ayah duduknya di ruang tamu." Si adik kedua yang masih berusia 9 tahun itu membalasku. 

Jika sudah seperti ini, aku yang bodoh akan kehilangan penjelasan. Belum lagi kalau adik pertama atau ketiga yang bicara. Mereka polos dan tidak mengerti hubungan orang dewasa. Pertanyaan mereka kadang membuatku sesak napas. 

Jangan tanya berapa bingungnya aku. Aku hanya terdiam dan mengalihkan mereka dengan setumpuk pekerjaan rumah. 

Setiap kali Ibu dan tamu laki-lakinya yang hampir setiap hari juga berbeda muka itu keluar dari kamar tamu, kami akan berakhir dengan ancaman. 

Ancaman yang membuat tiga adikku gemetar ketakutan dan memelukku erat-erat. 

"Jangan sampai ada yang Ibu dengar melapor kepada Ayah. Kalau berani melapor, Ibu racun kalian semua seperti tikus!" 

Begitulah setiap hari yang kami dengar dari Ibu setelah dia selesai dengan laki-laki lainnya. 

Perihal Ayah kami ... tidak perlu ditanya lagi. Kami tergolong keluarga dengan ekonomi kelas atas. Rumah yang dibuatkan Ayah memiliki dua lantai, punya beberapa mobil dan motor, tanah yang luas, dan kebun berhektar-hektar. Semua milik kami, kata Ayah. Meski kadang aku merasa bahwa kami tidak pernah butuh mobil atau motor karena lebih mengharapkan Ayah atau Ibu memeluk kami dengan sayang. 

Ayah penggila kerja. Meski sudah kaya, tetap saja dia pergi mencari uang ke sana-sini, bahkan sempat aku dengar kabarnya di luar negeri. Aku tidak mengerti juga dengan Ayah. Sebenarnya, untuk apa dia mencari uang seperti itu? 

Pernah suatu kali aku bertanya, "Ayah buat cari uang terus? Kita kan sudah punya segalanya?" 

Ayah hanya tersenyum, kemudian mengusap kepalaku. 

"Hari ini untuk hari ini. Ayah mencari uang untuk masa depan kalian. Biar tidak susah seperti Ayah dulu. Kalau Ayah sudah tidak ada, kalian bisa melanjutkan semua." 

Benar; Ayah memang memikirkan kami dan Ibu. Sayang sekali, bagiku Ayah adalah laki-laki bodoh. Dia banting tulang siang dan malam, tetapi istrinya bermain cinta dengan laki-laki lain dan anak-anaknya setiap hari ketakutan. Mata Ayah juga buta, barangkali. Tubuh kami yang penuh bekas pukul ini, dia tidak pernah memperhatikannya. Mata Ayah selalu tertuju di laptop. 

Ayah benar-benar membuat hatiku dan adik-adik seperti dijatuhkan dari ketinggian. 

Belakangan, kami—aku dan tiga adikku—sering berkumpul usai melakukan pekerjaan rumah. 

"Kak, kapan Ibu bisa bertobat dan sayang sama kita?" Yang terakhir tiba-tiba saja berkata. 

Kapan? Entahlah, aku juga tidak tahu. 

"Kak, aku tidak sanggup lagi. Kita pergi saja dari rumah atau kita usir saja Ibu dari sini." Si adik kedua menambahkan. 

"Memangnya kita bisa ngusir Ibu?" Adik pertamaku menimpali dengan wajah kesal. 

Ketiganya mulai bicara. Bicara omong kosong dan melantur. Aku hanya mendengarkan mereka dalam diam. Akan tetapi, kepalaku yang sudah sesak ini dipenuhi sebagai macam bayangan. 

Entah ide dari mana, hari itu juga aku ajak tiga yang kecil ini untuk membeli obat. Di antara kami, tidak ada yang tahu nama obat itu. Yang jelas, kami dapatkan mereka dari anak-anak yang juga butuh uang untuk membeli sebungkus makanan dibagi lagi menjadi dua atau empat. 

Ketika di rumah, Ibu seperti biasa; memarahi kami habis-habisan, bahkan melayangkan pukulan karena keluar cukup lama. Kami terima pukulannya. Toh, kami sudah biasa. Sakitnya tidak lagi seberapa. 

Setelah dipukuli, si adik kedua diminta untuk membuatkan Ibu dan tamunya minuman. Mungkin mereka haus setengah beberapa jam di kamar tamu. 

Aku meminta adikku itu memasukkan obat ke dalam minuman Ibu. Tentu saja dengan harapan Ibu bisa sembuh. 

Kami sangat yakin, Ibu sakit. 

Minuman dari perasan jeruk itu diminum Ibu sampai tandas dan entah mengapa kami tersenyum dibuatnya. Langkah awal berhasil. 

Hari demi hari sampai bulan berganti bulan. Kami rutin memberikan Ibu obat. Hingga berbilang tahun, Ibu mulai menunjukkan perubahan. Hanya sedikit memang. 

Ibu mulai mengeluh sakit dan cepat lelah. Laki-laki yang datang ke rumah lebih sering dia tolak. Karena kurang sehat, Ibu jarang marah dan kadang hanya melihat kami dengan sorot harimaunya. 

Kami begitu bahagia melihat Ibu yang tidak lagi memberikan pukulan. Aku dan adik-adik berencana untuk terus memberikan Ibu obat agar sembuh total. 

Beberapa tahun kemudian, aku sudah cukup dewasa dan adik-adik menjadi remaja yang penurut, tetapi sebenarnya keras. Saat itu, Ibu sudah sakit-sakitan. Tidak bisa marah, apalagi bermain cinta di belakang Ayah. 

Ayah, karena Ibu sakit, dia pulang lebih sering, bahkan berbulan-bulan memutuskan untuk bekerja dari rumah. Kami mulai punya waktu berkumpul meski hanya sekadar menonton TV di ruang keluarga atau makan malam bersama. 

Aku lihat adik-adikku mulai menemukan tawa bahagia. Dalam hati, aku hanya bisa menangis dan tertawa. Kami bodoh. Kami anak-anak yang gila kasih sayang hingga memperjuangkannya seperti ini. Aku merasa tidak salah! Kami tidak bersalah. 

Aku mulai bekerja setelah lulus strata satu di perusahaan yang Ayah bangun. Adik-adikku merawat Ibu yang sakit. Mereka merawatnya dengan baik dan sangat patuh. Mereka menyayangi Ibu tanpa menyimpan dendam. Ibu yang tidak main tangan dan ancaman adalah impian mereka dan tentu saja aku. 

Belakangan ini aku dengar dari mereka bahwa Ibu sering meminta maaf, memeluk, dan meminta banyak waktu untuk bersama. Ketika pulang kerja, Ibu juga mengatakan hal yang sama. 

"Dri, maafin Ibu, ya. Maafin Ibu kalau selama ini banyak berbuat salah kepada kalian. Maaf kalau Ibu dulu tidak memperhatikan kalian. Ibu ganas. Ibu tidak pernah memeluk kalian. Ibu minta maaf!" Itu yang Ibu katakan ketika memelukku. 

Aku menangis dalam diam. Hatiku sangat sakit. Namun, seperti adik-adikku, tidak pernah ada dendam di hati untuk Ibu. Ibu tidak bersalah. Dia adalah wanita yang melahirkan kami. Dia malaikat yang tidak pernah kami dapatkan gantinya. Tanpa Ibu, kami tidak akan ada di dunia ini. Karena itu, semua kesalahan Ibu tidak pernah aku simpan. 

"Dri maafkan. Ibu nggak punya salah. Kami semua sayang Ibu. Nggak perlu minta maaf," kataku, kemudian memanggil tiga remaja yang selalu menjaga Ibu untuk mendekat. 

Kami berpelukan dengan perasaan bahagia. Saat itu, menjadi momen yang paling berkesan. 

Namun, esok harinya Ibu harus dilarikan ke rumah sakit setelah pemberian obat itu membuat busa memenuhi mulutnya. Ibu drop. 

Menurut dokter, penyakit Ibu makin parah dan sulit untuk disembuhkan. Ibu juga overdosis obat. 

Mendengar penjelasan itu, aku meminta ketiga saudaraku untuk menghentikan pemberian obat kepada Ibu. Kami ingin Ibu sembuh dari sikap suka memukul, bukan sakit dan meninggalkan kami. Adik-adikku memiliki pemikiran yang sama. Kami akhirnya menghentikan pemberian obat kepada Ibu. 

Dokter bicara pribadi kepada Ayah perihal penyakit Ibu. Setelah itu, Ayah menemuiku. Ayah mengatakan bahwa Ibu terkena kanker hati dan sudah sulit untuk disembuhkan. Penyebabnya karena konsumsi obat berlebihan. Juga, masalah pada ginjalnya yang rusak. Ibu sakit parah. 

Aku merasakan sesak napas mendengar penjelasan Ayah yang dia dapatkan dari dokter. 

Hanya tiga hari dirawat, Ibu akhirnya tidak bisa bertahan melawan penyakit kanker hati dan kerusakan ginjal. Ibu kalah. Malaikat kami pergi selamanya setelah mengucapkan maaf kepadaku, Adik-adik, dan Ayah.  

Itu adalah saat paling menyakitkan yang aku rasakan. Aku melihat ketiga saudaraku menangis seperti orang gila. Aku pingsan satu kali kata Ayah ketika Ibu dibawa kembali ke rumah dan dimandikan. 

Rasa kehilangan ini ... jangan tanya lagi. Aku memang laki-laki, tetapi kehilangan malaikat bernama Ibu tetap membuat dunia ini runtuh. 

Adik-adikku tidak mengizinkan siapa pun membawa Ibu ke makam. Mereka melarang orang memakamkan Ibu. Jujur, aku sangat sakit melihat mereka. Sakit luar biasa. Namun, Ayah yang juga penuh air mata masih tenang dan akhirnya mengamakan kami ke rumah orang lain. 

Ibu dimakamkan tanpa kami yang sangat kehilangan dan tidak rela. 

Aku akui bahwa kamilah penyebab Ibu tiada. Kami memberikannya obat agar sembuh padahal sebenarnya Ibu tidak sakit. Obat itu berubah menjadi racun yang membawa Ibu pergi. Ini salah kami! Ini salah kami yang bodoh! 

Berbulan-bulan kami berkubang dalam kesedihan dan kehilangan. Setiap Jum'at kami akan membawakan bunga ke makam Ibu. Rumah kami hiasi dengan foto Ibu. 

Hingga berbilang tahun, kesedihan mulai berkurang karena kesibukkan yang dilimpahkan Ayah kepada kami berempat. Kami masih sering berkumpul. Tidak pernah tidak dan membicarakan masa-masa bersama Ibu. Namun, tidak pernah sekali pun kami membahas perlakuan buruk Ibu. Ayah juga pernah bertanya perihal keracunan obat yang Ibu alami. Saat itu, kami hanya diam. Untungnya, Ayah jarang dan hanya beberapa kali mengungkitnya. 

Suatu hari, Ayah berkata kepada kami bahwa dia ingin menikah lagi. Dia ingin menikah dengan wanita dari keluarga sederhana. Wanita yang dijodohkan dengan Ayah oleh keluarganya. Wanita yang lebih muda dariku. 

Aku pikir Ayah gila dan hanya bercanda. Namun, nyatanya Ayah masih waras dan parahnya dia serius. Tanpa persetujuan kami, Ayah menikah dengan wanita itu. 

Kami sangat takut dengan wanita itu karena dia tidak mencintai Ayah. Sangat jelas di matanya perasaan yang tidak pernah ada itu untuk Ayah. Kami pun tidak ingin Ayah memeluk cinta sendiri. 

Di sinilah kami berempat mencoba untuk melindungi Ayah. 

Tamat|| 

Wakai, 2 September 2023. 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)