Cerpen
Disukai
0
Dilihat
10,449
Jabir dan Juhu
Romantis

Konon, ada raja yang senang menikahi wanita-wanita cantik. Hampir setiap hari, raja itu menjadikan seorang gadis sebagai istri. Pesta pernikahan tidak pernah selesai. Sang raja suka bersenang-senang. 

Konon juga, raja itu amat jelek rupanya dan menusuk bau badannya. 

Namun, konon raja inilah yang memiliki kekayaan tak habis-habisnya. Tujuh keturunannya pun tak akan mengikis seinci pun emas dalam kamarnya. Tanahnya amat luas. Kekuasaannya meliputi daratan dan lautan. Pelayannya ribuan dan prajurit tangguh di sisinya. Ialah yang dirumorkan sebagai titisan Dewa Kekayaan. 

Mendengar saja sudah cukup membuat hati seseorang bergetar ngeri. Jika dipilih oleh sang raja, mungkinlah untuk menjadi istri yang kesekian, pun mendapat percikan emas-emas di kamar berkilau megah itu. 

Amat banyak yang penasaran dengan kebenaran dari konon-konon tentang sang raja itu. Maka, warga negeri itu merawat putri-putri mereka agar menjadi cantik. Setelah cukup membuat seekor burung melambatkan kepakan sayap ketika lewat di depan rumah, si gadis akan dibawa ke istana untuk menghadap raja. 

Namun, dari sekian banyak gadis, hanya sedikit yang beruntung. Bukan hanya konon-konon di atas, ternyata sang raja amatlah pemilih. Ia punya batas-batas kecantikan yang dipakai untuk mengukur kelayakan menjadi istri. Gadis-gadis ini banyak yang pulang dengan kekecewaan dan sedikit yang bisa masuk ke istana. 

Adalah Juhu, seorang gadis yang tak ingin pergi ke istana dan bertemu raja, apalagi diperistri. 

Bukan tersebab ia memiliki kekasih hati atau membenci sang raja, tetapi dirinya memang tak mau. Menjadi istri kesekian tak pernah diinginkan Juhu. Baginya, satu lelaki hanya untuk satu perempuan. Juhu tak mau dirinya hanya disentuh sekali, dicintai semalam, kemudian dilupakan karena wanita lain. Ia benar-benar tak mau. 

Akan tetapi, kecantikan Juhu telah mekar dan membuat banyak pasang mata akan menatapnya. Burung-burung yang lewat bukan hanya melambatkan kepakan sayap, tetapi pingsan oleh kecantikannya. 

Kecantikan inilah yang membuat Juhu risau. Setiap hari, ketika melihat wajahnya di cermin, tak ada bahagia atau lega. Yang ada hanya kecemasan. 

Bagaimana jika sang raja mengetahui perihal kecantikannya? Bagaimana jika ia diminta menjadi istri sang raja? Memikirkan hal ini membuat Juhu tidak tenang, makan tak kenyang, dan tidur pun tak nyenyak. Mimpi buruk kerap mendatanginya. 

Karena ketakutannya ini, Juhu memilih mengurung diri dalam kamarnya. Tak mau ia keluar walau sekadar untuk membeli garam. Biarlah ibunya marah tersebab ia yang tak pernah lagi keluar kamar, kecuali untuk makan dan mandi. 

Di dalam kamar, Juhu senantiasa berdoa. 

"Ya, Tuhan. Tolong jangan jadikan aku cantik. Jika pun aku cantik, tutupilah kecantikan ini agar tak terlihat orang. Aku sungguh tak ingin dinikahi oleh sang raja. Ya, Tuhan. Tolonglah aku." Begitu bunyi doa Juhu yang tak berubah setiap malamnya. 

Juhu berdoa ketika hatinya terlalu resah dan takut. Ia benar-benar tak ingin menikah dengan raja itu.

Akan tetapi, takdir agaknya berkata lain. Kecantikan Juhu itu telah dibawa oleh angin dan burung-burung sehingga sampai ke telinga sang raja. Kecantikan yang langka, konon katanya. 

Ialah Jabir, raja negeri ini. Yang telinganya terangkat ketika mendengar cerita angin. Yang senyumnya melebar saat burung-burung mulai berkisah tentang kecantikan Juhu nun jauh di sana. Maka, tak ada alasan lagi, Jabir mengutus orang untuk membawa Juhu ke hadapannya. 

Mulai dari itu, pergilah selusin prajurit dan pelayan untuk menjemput Juhu. Mereka membawa titah raja agar Juhu ikut serta kembali ke istana. 

Sampailah ke telinga Juhu tentang utusan yang akan mengambilnya ke istana. Menangislah Juhu. Sungguh, tak terima ia dengan keadaan seperti ini. 

"Oh, Tuhan. Aku tak ingin menjadi istri kesekian sang raja. Tolong, aku minta kepadamu, jangan jadikan aku cantik." Sekali lagi, dengan berderai air mata, Juhu meminta. Amat lirih suaranya saat itu sampai bunga-bunga dan awan ikut merasakan kesedihannya. 

Maka, sampailah doa Juhu yang menyakitkan itu ke langit. Tersebab ketulusan dalam meminta, terkabullah keinginannya. 

Tepat ketika para prajurit dan pelayan tiba di kediaman Juhu, ia yang semula amat jelita berubah menjadi gadis dengan mata kecil sebelah, hidung bengkok, dan bibir bersariawan. Dalam semelam, ajaibnya, kecantikan Juhu itu hilang. Si cantik tiada lagi. Yang tersisa di kamar hanyalah si buruk rupa yang mengerikan dan menakutkan. 

Bahkan, burung-burung dan angin tak sanggup melihatnya. Serupa melihat hantu, mereka yang melihat Juhu lari terbirit-birit dengan wajah dipenuhi teror dan kengerian. 

Amat menakutkan Juhu saat ini sampai tak satu pun makhluk mengenali sosoknya, apalagi mendekat. Mereka terlalu takut sampai buruknya wujud Juhu mampu membawa siapa pun dalam mimpi mengerikan. 

Para prajurit dan pelayan histeris. Tak ada pilihan lain; semua kembali setelah mengatakan kabar angin adalah bohong dan cerita burung sebagai dusta. Mereka kecewa dan kembali tanpa Juhu. 

"Sungguh telah buta para burung itu sampai tak bisa membedakan bunga dan hantu. Aku amat menyesal telah melihatnya." Salah satu prajurit berkata dengan napas memburu setelah lari berkilo-kilo meter jauhnya. 

"Bagaimana kita akan mengatakan ini kepada Yang Mulia Paduka?" Prajurit lain jatuh dalam kebingungan. 

"Tentu saja. Katakanlah yang sejujurnya bahwa gadis bernama Juhu itu amat buruk rupa. Membawanya ke istana ditakutkan akan membuat sang raja tidak berselera makan dan disinggahi mimpi buruk." Prajurit lain menjawab ketus. 

Maka, mereka kembali dengan keputusan bulat itu. Dihadapan sang raja, prajurit dan pelayan mengisahkan pertemuan mereka dengan Juhu yang begitu buruk rupa. Sehari semalam mereka menggambarkan sosok gadis pedalaman itu dengan wajah yang dipenuhi ngeri. 

Jabir, ketika mendengar cerita ini, hanya mengangguk-angguk, kemudian meminta pelayan dan prajurit utusan itu pergi. 

Setelah ditinggal sendiri, Jabir berbaring di ranjang kulit harimau yang mewah. Napas resahnya lepas. Mata bermanik gandum itu menatap langit-langit. Ia tengah menerawang. 

"Sayang sekali ...." Jabir berkata diikuti senyum masam di bibirnya. 

"Aku jadi penasaran. Tak mungkin burung dan angin membohongiku. Lantas, bagaimana utusanku bisa bersaksi demikian?" lanjutnya mencoba menerka-nerka. 

Agaknya, Jabir tak puas dengan kabar angin atau kesaksian utusannya. Malam itu pun, ia yang sebenarnya masih belum beristri, keluar dari istana secara diam-diam. Jabir hanya meninggalkan rohnya untuk menjaga kekuasaan, serta sepucuk surat kepada para menteri bahwa ia akan pergi untuk mencari kekasih. 

Jabir melakukan perjalanan ke kampung yang ditinggali Juhu. Dimulai dari hulu sungai di bawah matahari pagi, disusuri kelokan demi kelokan sungai itu, hingga akhirnya ia tiba di hilir. 

"Wahai tuanku, ke mana engkau akan pergi?" Burung Nuri bertanya ketika melihat pemuda yang amat rupawan, pun wangi bunga mawar singgah di hilir dan minum air. 

"Aku ingin mencari kekasihku," jawab Jabir setelah hausnya menghilang. 

"Siapakah kekasihmu itu, Tuan?" Nuri itu bertanya lagi. Agaknya, ia amat penasaran dengan pemuda rupawan ini. 

"Juhu." Jabir menjawab, lalu tersenyum penuh makna. 

Nuri amat terkejut dengan jawaban Jabir. Maka, tanpa berpamitan, burung itu terbang cepat memasuki kedalaman hutan. Tak lupa pula ia mengabarkan kepada keisi hutan bahwa ada pemuda yang amat elok rupanya pun wangi tubuhnya, tengah mencari Juhu, si buruk rupa itu. 

Dengan bantuan angin dan kabar yang berpindah dari mulut ke mulut, sampailah kesaksian Nuri ini kepada Juhu. 

Juhu, saat itu amat terkejut. Tiba-tiba, jantungnya berdetak dengan kencang. Memanas wajahnya. Merona pula pipinya. 

"Ya, Tuhan, siapakah gerangan pemuda itu? Benarkah ia mencariku? Akankah itulah jodohku?" Dengan perasaan yang campur aduk, Juhu berucap. 

Akan tetapi, ketika mengingat wajahnya yang buruk rupa ini, Juhu tiba-tiba bersedih. 

"Hanya saja, wajahku telah jadi seperti ini. Mana ada lelaki yang bersedia mencintaiku? Bahkan melihat pun mereka akan lari terbirit-birit," keluh Juhu yang merasa putus asa. 

Juhu yang sedih kemudian berdoa lagi. 

"Ya, Tuhan. Tolong jadikan aku cantik seperti sedia kala agar pemuda itu mau mengambilku sebagai istri. Aku mohon, Tuhan." Begitu doa Juhu. 

Namun, sayang sekali, kali ini doa Juhu tak menyentuh langit. Malah, hari cerah berubah mendung dan hujan deras mengguyur bumi dengan gilanya. 

Ketika langit mencurahkan air, Juhu akhirnya menangis tersebab takut tak akan mendapatkan jodoh. Rupa ini terlampau menakutkan. Tak yakin ia jika seseorang mau menerimanya. 

Juhu yang menangis memutuskan untuk pergi. Ia begitu putus asa sehingga memutuskan meninggalkan kampung dan tak pernah ditemukan oleh pemuda yang dikabarkan burung. Di tengah hujan deras, Juhu menyusuri hutan. 

Derasnya air langit membuat sungai dengan cepat meluap. Jabir yang masih berada di hilir terkena imbas arus sungai. Pemuda itu mencoba menyelamatkan diri dari ketinggian air yang terus bertambah, pun arus deras. Ia mencoba keluar dari sungai. Namun, langkahnya terlambat seolah-olah seribu halangan telah mengikat kakinya. Ternyata, para ikan begitu jatuh cinta dengan ketampanan Jabir. 

Ikan-ikan yang bergembira itu ingin Jabir tetap di air. Maka, mereka dengan gabungan kekuatan, mencoba menahan Jabir di sana. 

Mengetahui akar masalahnya, Jabir begitu menyesal karena berlama-lama di sungai. Pun, betapa berbahayanya rupa ini. Jabir tak tahu harus berbuat apa, tetapi terus berjuang untuk keluar dari air. 

Di tengah perjuangan Jabir, Juhu yang telah basah air mata dan hujan hendak melewati hilir sungai. Saat itulah, ia melihat Jabir yang nyaris tenggelam oleh kedalaman dan arus. Pun, ikan-ikan yang berusaha menyeretnya lebih jauh ke tengah sungai. 

Juhu begitu terkejut. "Tuanku, ada apa denganmu?" teriaknya yang panik dan khawatir kalau-kalau pemuda itu hanyut. 

"Tolong aku! Tolong!" Dengan segala permohonan, Jabir berteriak kepada Juhu, sedangkan wajahnya timbul tenggelam dari air. 

"Ya, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?" Juhu bingung sebab jika ia maju, arus akan membawanya serta. Akan tetapi, jika tidak bertindak, pemuda itu akan mati. 

Si gadis dilema. Ia sayang nyawanya, tetapi takut nyawa lain hilang karena tidak mendapat pertolongan. Akan tetapi, di tengah kebingungan, Juhu kembali mengingat wajah buruk rupanya ini. 

"Ah, biarlah ...." Juhu menggigit bibirnya yang tebal hingga menyentuh dagu itu, lalu melompat ke sungai untuk menyelamatkan si pemuda. 

Biarlah ia—Juhu yang buruk rupa—mati di sini. Toh, tak ada lagi yang bisa ia harapkan dari wujudnya ini. Tak ada sesiapa yang menerimanya. Jadi, untuk apa dirinya hidup? Sepintas, beginilah Juhu berpikir saat itu sehingga mengambil keputusan. 

Juhu berusaha mengusir ikan-ikan yang menahan kaki si pemuda dengan rupanya. Setelah itu, dengan kekuatannya, ia mendorong si pemuda keluar dari sungai. Tepat pada saat yang sama, air bah menerjang. 

Juhu terbawa arus, tetapi tangannya dipegang erat oleh si pemuda. Tangan yang kuat dan kekar itu menarik Juhu tanpa henti. Dengan segala kemampuan, Jabir berusaha. 

Sehingga takdir menyelamatkan keduanya. Jabir berhasil menarik Juhu ke ketepian sungai. 

"Apakah engkau baik-baik saja? Ah, Nona. Terima kasih banyak atas pertolonganmu. Jika bukan karena engkau, aku mungkin telah hanyut oleh derasnya banjir ini." Jabir berkata diikuti senyum tulus, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Juhu berdiri. 

Namun, Juhu tak kunjung menyambut tangan itu sebab dirinya amat malu dan takut untuk menunjukkan wajahnya. 

"Tuan, mengapa engkau menyelamatkan aku? Aku tak ingin hidup lagi. Tak ada sesiapa pun yang menerimaku. Akulah si Juhu, buruk rupa itu." Juhu mengaku. 

"Oh, jadi engkaulah Juhu?" Jabir terkekeh-kekeh, kemudian berjongkok. Diintipnya wajah Juhu. Namun, ia menemukan kecantikan yang luar biasa. 

Itu bukanlah Juhu yang buruk rupa, tetapi gadis secantik bidadari. Akan tetapi, Jabir juga ingat sepintas bagaimana rupa Juhu sebelum menolongnya. Memang benar adanya, Juhu begitu buruk rupa. Jika tidak, bagaimana ikan-ikan nakal itu akan takut kepadanya?

"Ah, Juhu. Akulah Jabir, sang raja negeri ini. Maukah kau melihatku?" Jabir mengungkap jati dirinya. 

Juhu terkejut sampai tanpa sadar mengangkat pandangan. Kala itu, ia benar-benar melihat pemuda rupawan. Itulah sang raja yang diceritakan banyak orang, yang katanya beristri banyak, berwajah jelek, dan berbau busuk. Nyatanya, Jabir seorang yang tampan dan tengah mencari kekasih. Sungguh, Juhu amat tak menyangka. 

"Benarkah engkau tak ingin menikah denganku sehingga berdoa agar dijadikan buruk rupa? Oh, Juhu, tahukah engkau. Bukan rupa yang membuatku jatuh cinta kepadamu, tetapi keberanianmu. Keberanianmu yang tak ingin menjadi wanita semalam dan mengandalkan wajah untuk mendapatkan harta. Pun, keberanianmu menyelamatkan aku. Juhu, masihkah engkau menolak untuk mendampingiku?" Jabir berkata. 

Begitu tersentuh, Juhu menunduk dan menangis. Memang benar adanya, ialah Juhu yang tak ingin menjadi selir atau istri ke sekian, pun mengharapkan jodoh yang mencintainya selamanya, bukan semalam. 

Juhu tak punya alasan menolak Jabir. Maka, dibawa pulanglah Juhu oleh Jabir. Di istana yang megah, Jabir menikahi Juhu. Keduanya hidup bersama, berbagi suka duka, dan asam manisnya arus takdir. 

Tamat|| 

Wakai, 4 Juni 2024. 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)